1 1. Sang Individualis

Hey teman-teman semua :)

Selamat datang, bagi yang baru mampir atau bagi yang mau lihat-lihat aja.

Untuk menghargai tulisan penulis, aku berharap teman-teman semua, bisa memberikan vote maupun comment.

Karena setiap komen kalian, sangat berharga.

Sekali lagi terimakasih, bagi yang mampir.

***

"Itu siapa, ganteng banget?"

"Dia Gavin, si cowok perfect dari SMA Smartly!"

"Dia Gavin yang menang olimpiade SAINS se-Asia Tenggara itu?"

"Iya, itu dia."

"Gila sih, udah ganteng pintar pula."

"Pas pembagian ke-goblokan, gue yakin 100% dia nggak dateng!"

"Pasti dia nggak dateng juga, pas pembagian keburikan!"

Seorang cowok dengan hoddie berwarna hitam tengah duduk di sudut cafe. Sudah hampir satu jam lebih Gavin berada di sana. Kencan romantis dengan buku tebal khusus biology miliknya.

Gavin bisa mendengar jelas sekelompok cewek dengan seragam sekolah negeri, sedang berbisik-bisik begitu jelas mengenai dirinya.

Ia menyeruput coffe latte miliknya yang telah dingin, sambil menatap ke luar jendela. Gavin kemudian mengukir senyum kecil di bibirnya.

"Hari minggu yang sibuk," gumam Gavin sangat pelan.

Gavin menutup buku tebal yang memiliki ribuan halaman itu, lalu memasukannya ke dalam ranselnya. Gavin bangkit, ia mengambil kunci mobilnya dan ponselnya yang terletak di atas meja.

Dalam keheningan, Gavin meninggalkan cafe tersebut.

❤❤❤

Yup, Dia Gavin Malik Ardian. Cowok pemilik IQ 170 dan sukses jadi siswa paling pintar di  SMA Smartly.

Bagaimana tidak pintar? Kedua orangtua Gavin adalah sepasang dokter.

Ayahnya, adalah dokter bedah saraf. Sementara, Mamanya adalah dokter forensik. Terlahir dari orangtua dokter, malah membuat Gavin tidak tertarik dengan profesi itu.

"Vin, lo hari ini ada kegiatan?" tanya Iza--teman Gavin, sejak SMP.

Gavin bukannya tidak punya banyak teman, ia memang sedikit introvert, ia juga tertutup. Karena Gavin hanya ingin berteman seadanya.

Ia tidak ingin memiliki ikatan pertemanan kental, yang malah membuatnya lupa waktu dan tentunya akan bertampak pada nilainya dan waktu belajarnya.

Gavin menggeleng, "Nggak ada, kenapa?" jawab Gavin santai.

"Mau ngajak lo, ke pesta ulang tahun Ismi." sahut Iza jujur.

"Lo homo?!" tanya Gavin, ia menutup buku catatannya.

"Anj*ng lo, gini-gini juga gue normal, masih suka cewek." jawab Iza spontan. Iza adalah tipekal cowok yang mudah mengeluarkan kata-kata umpatan. Begitupun dengan Gavin sebenarnya.

"Kirain, habisnya ngapain lo ngajak gue sih."

"Iyasih, salah, gue. Jadi, lo bakal datang ke sana?"

"Belum tahu,"

"Datanglah, udah mau lulus SMA juga. Masa lo nggak mau senang-senang dan nikmati tahun terakhir di SMA."

Gavin menyinggung senyum di bibirnya, "Gue seneng kok, sama masa SMA gue. Buktinya gue menang olimpiade dan mengharumkan nama sekolah. Kurang seneng apa lagi gue? Coba lo jadi gue, pasti lo juga senang?"

Entah kenapa Iza malah merasa sedikit tersinggung dengan ucapan Gavin barusan? Namun Iza sudah paham dengan sifat Gavin, sehingga ia tidak perlu marah ataupun menyimpan dendam dengan ucapan-ucapan Gavin yang biasanya memang selalu menusuk itu.

"Datang dong Vin, Ismi tuh udah dari kelas 10 suka sama lo."

"Lo dibayar berapa sama dia?"

Iza berpikir sebentar, "Nggak dibayar sih, tapi dia janji mau ngasih gue, nomor hape Tiara."

"Demi nomer hape Tiara, lo jual gue."

"Kan, gue ini mucikari lo, Vin. Masa lo lupa?"

"Bangs*t!" Gavin mengumpat pada Iza. Namun Iza malah tersenyum puas.

"Bonjour-"

"Bonjour apaan?" Gavin mengerutkan kening.

"Terimakasih."

"itu merci, bego!"

"Oh, iya, merci." Iza segera bangkit, karena malu ia dengan cepat meninggalkan Gavin seorang diri.

❤❤❤

Gavin memarkirkan mobilnya di halaman rumah Ismi yang luas. Terlihat banyak sekali tamu undangan yang hadir malah membuat Gavin merasa lelah dan malas.

Gavin juga melihat wajah-wajah baru, mungkin saja teman-teman Ismi sejak SMP.

"Gavin datang...!"

"Demi apa Gavin datang!!!"

"Gavin si pangeran itu?"

"Wah, gilasih cakep banget."

Gavin menghela nafas berat, ia benci keramaian dan puja-pujaan yang terdengar norak dan murahan itu.

Ismi yang berdandan seperti putri dengan gaun biru malam, mendekati Gavin sambil tersenyum manis.

"Terimakasih, udah datang." ucap Ismi dengan senyum merekah.

"Makasihnya sama Iza, jangan sama gue." balas Gavin dingin.

"Ayo, Vin, lo makan-makan dulu. Gue antar." ucap Ismi lagi.

"Habede ya, gue nggak bawa kado." balas Gavin malas.

"Lo datang aja, udah jadi kado terindah bagi gue. Kita foto bareng, biar Daddy- gue yang motoin kita."

Gavin duduk sendirian, di sudut tenang seperti biasanya. Ia menikmati makanan penutup dengan sangat anggun seperti salah seorang pangeran kerajaan.

Beberapa orang cewek mendekati Gavin untuk berkenalan tapi Gavin menolak mereka dengan dingin.

Ia adalah orang individualis, Gavin percaya bahwa ia bisa hidup tanpa bergantung pada orang lain.

Orang-orang sedang menyanyikan lagu ulangtahun yang spesial untuk Ismi. Gavin hanya duduk sambil menatap sekeliling.

Harusnya Gavin membawa buku biologinya.

Ia lebih suka bergelut bersama dengan dengan buku-buku bahasa ilmiah daripada pesta membosankan seperti ini.

Byurrr!!!

Orang-orang berhenti bernyanyi, dan Gavin melihat dengan jelas apa yang terjadi.

Gavin bukanlah orang sosial yang berkeinginan tinggi untuk membantu orang lain. Gavin hanya diam, menonton dan bertindak seolah tidak terlihat.

Ia menatap sebentar, pada cewek dengan tubuh gendut, yang sedang berada di dalam kolam sambil menunduk lalu berjalan dengan kesusahan menuju permukaan.

Beberapa orang menonton, selebihnya menertawakan.

Begitupun dengan Gavin, ia sama sekali tidak tertarik dengan penderitaan orang lain.

Padahal Gavin melihat jelas, perilaku keji, yang dilakukan tiga orang cewek pada cewek gendut tersebut.

"Siapa kuat, dia yang bertahan?" Gavin bergumam, sambil menatap dingin pada orang-orang.

"Seperti Teori Darwin."

avataravatar
Next chapter