1 Prolog: Salih

Namaku Deniz Alacan. Banyak tentangku yang harus kujelaskan padamu; wajah payu, kepala tirus, rambut ikal kecil-kecil, dan memiliki fisik yang kurus—bukan berarti ini seperti korek api. Dengan itu, kaubisa membayangi seperti apa fisikku di kepalamu, tapi jangan sampai wajah payu yang terhias di depan kepalaku ini menjadi buruk bagimu.

Aku berkuliah di Universitas Istanbul, Turki, dan ber-SMA Koşuyolu. Selama bersekolah itulah diri ini berperan menjadi preman sekolah, suka menakut-nakuti pria yang—jika—lewat di hadapan. Namun, ada kecuali: Salih. Ya, kau membacanya dengan benar! Salih, Salih Yücel Akyıldız. Kenapa? Menurutku dia pria yang sempurna. Sekali lagi kautanya kenapa, akan kujawab dia punya fisik yang cacat; kepala jenjang, jalan pun pincang. Salih bilang waktu itu sering merasakan sakit di bagian leher dan pinggul, mungkin itu yang menyebabkan dia seperti yang sudah dijelaskan tadi.

Aku sering memujinya karena aku mencintainya seperempat abad, menahan cemburu, sakit hati, marah, dan menangis di depan dia yang saat itu didekati teman perempuannya, juga dia yang saat itu jatuh cinta pada cinta pertamanya.

Kukenal Salih sedari kecil—di mana saat dia diasuh oleh ibu dan ayah angkatnya. Namun, karena kedua orang tua angkatnya meninggal kecelakaan, Salih hampir bunuh diri di lantai atas rumahku. Dia tinggal beberapa hari di sini, kemudian pergi mencari orang tua kandungnya entah ke mana.

Salih masuk di universitas yang sama di jurusan sastra, karena Salih sangat menyukai puisi, menulis, dan menyukai berbagai kutipan. Selama di universitas, Salih sering diejek rombongan Uğur—musuh bebuyutan kami. Mereka mengejek, "Ganteng-ganteng banci!" yang membuat Salih membungkam, berusaha bersabar, tapi hebatnya dia menerima semua itu.

Salih pernah bercerita, setelah berhasil menemukan ibunya, banyak perjalanan yang harus dia tempuh. Berbagi cerita suka dan duka kepada ibu kandung yang baru ditemuinya. Kata ibunya, sifat Salih berasal dari kedua orangtua angkatnya, bukan orangtua kandungnya. Salih dikenal humoris yang menyukai hal berbau romantis, ramah, bijaksana, pelindung untuk temannya, penyabar, penyayang, dan cinta alam. Ia juga memiliki hobi bercerita, bercanda, menulis puisi, bermain futsal, dan masih banyak lagi.

Aku selalu memanggilnya dengan sebutan "Cinta", dan sebutan itu disebut setiap hari untuk orang yang kusayangi. Itu, terkadang sampai terciduk, membuat Süreyya—ibunya Salih—heran, selalu bertanya apa hubunganku dengan Salih, tapi aku mengelak dengan mengatakan tidak ada apa-apa, hanya bersahabat.

Bagi mereka, akulah gadis yang terkenal cantik dengan rambut ikalnya, tegas, dan juga romantis. Karena itu, mereka memberi kabar padaku bahwa ada banyak pria yang mengejarku, berusaha untuk mencuri hatiku. Lagi-lagi mengelak, tidak peduli akan itu semua, merasa nyaman dengan sahabat cinta—Salih.

"Cinta, setelah lulusan nanti, apa yang akan Cinta lakukan?" Kupandang wajah pria kesayanganku yang duduk di hadapan. Tampak ada makanan yang tak habis kami makan di atas meja yang ditutupi taplak meja polkadot bulat biru putih. Menopang dagu, mendekatkan pandangannya.

"Membahagiakan ibuku," katanya begitu, tersenyum samar kala aku menatapnya.

"Itu saja? Kau tidak menikah, Cinta?" Aku mengerutkan dahi.

"Bahkan orang yang ingin kunikahi pun jijik menatapku." Sembari dia menundukkan kepala. Ya, dia sering begitu orangnya. Ketika kutanyakan dia soal pernikahan ataupun cinta, dia minder. Maafkan aku, Salih.

"Jangan begitu, Cinta-ku." Kupegang dagunya dan tersenyum. Kami saling pandang. Jantungku mulai berdegup kencang. "Tuhan sudah mengatur skenario-Nya. Aku ini sahabatmu, aku sangat mencintaimu. Percayalah, ada aku di sini."

"Aku percaya pada-Nya, tapi aku tidak pernah mempercayai diriku sendiri. Aku tahu banyak orang yang mencintaiku, termasuk kau sendiri, tapi aku merasa tidak."

"Mungkin kalau Kristen mau menikah denganmu, kau tidak akan bicara seperti ini." Aku tertawa kecil. Kristen adalah cinta pertamanya, seorang gadis yang phobia para pria. Entah apa yang bisa membuat Kristen seperti itu. Pasalnya, setiap kali didekati pria, marahnya bukan main.

"Ah, kau ini." Dia tersenyum tipis.

Meskipun—katanya—aku incaran para pria, tapi diri ini hanya mencintai satu orang; Salih orangnya. Tapi, karena Salih menyukai Kristen, aku lebih baik diam, lebih baik menjadi sahabatnya. Semua itu asal Salih merasa bahagia dan nyaman saat bersamaku.

avataravatar
Next chapter