7 Kristen

Di dalam mobil, Kristen mengadu semuanya pada kami tentang pria yang mengasarinya dan membuatnya takut. Pria itu datang tiba-tiba, berkata bahwa dia ingin menjadikan gadis itu sebagai selingkuhannya. Kristen berkali-kali menolak, lalu itulah yang terjadi. kautahu apa tanggapan Salih setelah mendengar aduan gadis di sebelahku ini? Simpati. Ya, demikian seperti yang kautahu bahwa dia sangat mencintai Kristen.

_______________________________

Mobil Salih berhenti di gerbang universitas. Kami turun dari mobil, sementara Salih membuka kaca mobil itu, kemudian memandang kami berdua yang menghampirinya.

"Aku akan memarkirkan mobil ini sebentar, sementara kalian masuklah duluan. Oh ... ya, antarkan Kristen ke teman-temannya, dan beritahu mereka jangan membiarkan anak ini pulang ke rumahnya untuk sementara, biarkan anak ini mengadar di rumah temannya untuk beberapa waktu jika mereka mengizinkan," ujar Salih padaku.

Kami menganggukkan kepala. Salih menunjukkan senyum manisnya pada Kristen, sedangkan gadis itu tersenyum tipis ke arah Salih. Lagi, cemburu, tapi tetap diam. Itulah aku.

"Ayo," ajakku, merangkul Kristen sembari membalikkan badannya, berlalu masuk ke gerbang universitas.

Salih menutup jendela mobil, kembali mengendarai mobilnya menuju parkiran universitas. Belum beberapa langkah, tapi terhenti hanya karena ingin memandang mobil Cinta-ku yang semakin menjauh. Namun, gadis di sebelahku mengejutkan diri ini secara mendadak, bertanya ada apa denganku. Aku menggeleng, tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan maksudku berdemikian. "Tidak ada. Ayo."

Kita berdua berjalan memasuki ruangan. Mengisi beberapa obrolan untuk menghilang kejenuhan. Aku meliriknya sesekali. Tampak wajahnya murung dan masih ada rasa takut. Aku menghela napas panjang, memulaikan pertanyaan penting bagi dia mengenai Cinta, Salih-ku.

"Kristen," sahutku sebelum memulai pertanyaan. Gugup. Kuharap dia tidak tersinggung.

Dia menoleh sejenak. "Ya?"

"Setiap kali banyak pria yang mendekatimu, bahkan Uğur dan Salih pun perhatian padamu, sayangnya kau langsung memberi tanggapan marah," ujarku. Ini adalah pembukaan kata supaya dia tidak terkejut dengan pertanyaan yang kuberi berikutnya.

"Aku memang seperti itu," katanya. Kepalanya sedikit menunduk.

"Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Masa laluku yang gelap nan lacur," jawabnya menggumam dengan nada yang dingin tanpa memandangku.

"Gelap nan lacur?" Aku mengerutkan dahi. Bingung, pikiranku jadi ke mana-mana. Aku merasa bahwa dia ini dulunya pelacur atau bagaimana, sih? Sungguh, ini membingungkan. Deniz, jangan berpikir aneh-aneh, tolong! Oh iya, masih ada Salih yang ahli sastra, dia pasti paham maksudnya ini.

"Benar."

"Memangnya apa yang terjadi denganmu di masa lalu?"

Nah, panjang umurmu, Deniz! Hendak Kristen menjelaskan, sayangnya kebetulan salah satu temannya datang menghampiri kami berdua. Ya, dia terkejut dengan keadaan Kristen yang lesu dan berantakan. Melangkah cepat menghampiri gadis di sebelahku ini sembari kemudian memegang pipinya.

"Kristen, apa yang terjadi denganmu? Astaga!" ujarnya sambil mengecek seluruh badan gadis itu. Kristen berbisu. Dia pun menoleh padaku. "Apa yang terjadi dengannya, Deniz? Aku sangat mengkhawatirkannya sekarang. Dia terlihat lesu dan takut. Katakan, apa yang terjadi padanya?"

"Seorang pria di dekat rumahnya mengganggunya. Dia menelepon Salih untuk menjemputnya di rumah, kemudian membawanya ke sini." Aku menjelaskan.

Dia terkejut. Menoleh pada Kristen, memeluknya, merangkulnya. "Bagaimana ini bisa terjadi padamu, Kristen? Ya Tuhan!"

"Aku tidak apa-apa, Melek. Ini sudah lewat. Jangan khawatir," lirih Kristen.

Aku menambahkan, "Salih juga berpesan padaku kau harus menemaninya di saat-saat seperti ini di rumahmu."

Melek menoleh, mengangguk antusias. "Tentu saja, ini ahsan untuk kami. Terima kasih telah membawanya ke sini."

"Iya." Aku tersenyum. Mereka berdua berlalu dariku di mana saat ini juga tengah memandangnya pergi. Ah, sial! Aku tidak sempat mengajukan pertanyaan tadi!

_______________________________

Aku berjalan-jalan di sekitar universitas. Saat ini tengah melamuni Salih akan Kristen; mulai dari di depan gerbang, dan sekarang liburan yang gagal karena ulah gadis itu. Antara benci dan kasihan, itulah aku padanya. Aku cemburu! Cemburu! Pokoknya cemburu! Haduh!

Terlihat Salih melangkah cepat menghampiriku, aku pun juga begitu. Kita berhenti berhadapan. Aku memandang wajahnya yang indah itu, dan sekali lagi ... itu membuatku gugup. Andai dia seperti pria lain di hadapanku, di mana dia setiap kali memandang wajah ini, dia menciumnya, termasuk bibir yang merupakan bagian paling kusuka. Deniz, jangan berkhayal terus!

"Bagaimana dengan Kristen sekarang?" tanyanya antusias. Bagus! Hanya pernyataan konyol begini saja semakin cemburu aku dibuatnya.

"Dia sudah kuantarkan ke teman-temannya seperti yang kaukatakan tadi," jawabku sembari menyilangkan kedua tangan. Ekspresi menahan cemburu.

"Lalu, apakah mereka mengizinkan Kristen mengadar di rumah salah satu dari mereka?"

"Itu ahsan buat mereka."

"Syukurlah." Salih bernapas lega. "Oh ... ya, apa kita melanjutkan liburan yang kemarin?"

Salih sayangku, seharusnya memang begitu. Seharusnya kita berduaan sekarang kalau tidak ada gadis itu, tapi sayangnya kita tidak bisa pergi karena sudah masuk ke universitas ini! Salih, mengertilah, sebetulnya aku ingin selalu berduaan denganmu apa pun dan bagaimana pun caranya!

"Kita tidak bisa pergi lagi, Cinta!" Aku mencetus, mengeluh.

Salih mengerutkan dahi. "Hah? Kenapa? Karena masalah yang semalam, begitu? Ayolah, Deniz, jangan—"

"Cintaku Salih, kau tidak lihat kita di mana? Universitas! Kita tidak bisa keluar dari sini." Aku berlalu dari Salih dengan kesal. "Kalau kita keluar dengan paksa, Pak Dosen akan mengadu pada orangtua kita."

"Ah, iya, kau benar." Suaranya terdengar dari belakang. Dia melangkah cepat, berhenti di hadapan. "Tunggu dulu."

"Apa?" Masih ekspresi kesal.

"Ke taman?" tawarnya. Aku masih cemberut. "Cari udara segar."

"Tidak!"

"Berdua," tambahnya polos. Ini membuatku diam, tersenyum perlahan.

_______________________________

    Kami berjalan-jalan mencari udara segar di pagi hari, di taman universitas. Kulihat Salih—segalanya bagiku—tersenyum sembari memejamkan mata. Aku tersenyum awalnya. Namun, karena teringat kedekatan antara Salih dan Kristen membuatku menderita karena kecemburuan yang berat ini. Otak ini menyarankan untuk—sebaiknya—memberi pertanyaan itu pada Salih daripada Kristen. Aku tahu dia akan mengontrol emosinya jika aku begitu. Baik, pertanyaan pun dimulai.

"Boleh aku bertanya sesuatu? Ini soal Kristen yang kaucintai."

"Tentu saja." Dia tersenyum percaya diri, matanya masih terpejam.

"Aku harap kau tidak tersinggung." Aku melirih di tengah kepala yang agak menunduk.

"Beri saja."

"Oke. Dengar, seberapa besarnya kau mencintainya, Cinta?" Pertanyaan Deniz membuat Salih membuka matanya, langsung menoleh antusias arasku.

"Lebih dari diriku," jawabnya, tersenyum.

"Oke. Lalu, apa kau tahu cerita yang İpek tulis mengenai wanita yang mencintai dalam diam selama sepuluh tahun untuk orang dicintainya?" Mulai menunjukkan kode padanya, mulai mengungkapkan perasaan cinta ini yang dipendam selama seperempat abad. Ya, seperempat abad maksudnya, aku mencintainya selama 20 tahun, dan itu beda sangat dengan cerita yang dia tentang wanita yang mengalami cinta dalam diam selama 10 tahun lamanya untuk orang yang dicintainya.

"Aku tahu."

"Bagaimana pendapatmu jika cerita itu nyata adanya untukmu?"

"Aku beruntung karena memiliki wanita seperti itu, sangat bersalah apalagi baru kuketahui akan demikian sekarang. Tapi kurasa itu tidak mungkin, tidak ada wanita yang seperti itu padaku," jelasnya. Ia menghentikan langkahnya, berdiri di hadapanku sambil memegang pipi ini. "Tapi aku juga percaya bahwa cintanya yang tulus belum tentu terbalas, dan kau bisa melihat contohnya ada pada diriku."

"Itu yang kurasakan sedari dulu hingga sekarang, Cinta. Aku mencintai seseorang dari kecil, dari dua puluh tahun lamanya. Aku ada di kisah itu, Cinta." Aku memegang tangan Cinta yang memegang pipi ini.

Dia tampak terdiam. Jantung dan hatiku kompak berdegup kencang. Sangat berharap dia tahu bahwa itu ditunjukkan untuknya sendiri. Dia juga harus mengerti kode cciuman yang semalam tanpa sengaja kulakukan untuknya, ditambah lagi dengan sebutan 'Cinta' ini yang spesial untuknya sebagai bukti perasaan cinta tulusku padanya. Airmata menetes. Apakah dia tahu? Apakah dia mengerti? Apakah dia menerimaku? Bahkan menikahiku? Cinta sendiri pernah mengakui bahwa dia tidak seistimewa Uğur, tak seromantis Burak, tak sebaik Şükrü, tak sehumoris Selim, dan tak setegas Emir. Dia bahkan menyarankanku untuk mendekati salah satu dari mereka berlima dan yakin itu sempurna untukku, sayangnya aku justru mencintainya! Apa dia juga berdemikian? Kuharap dia segera mengatakan sesuatu. Ah, jangan! Aku takut kehilangannya! Aku sangat mencintainya! Tuhan, aku tak ingin dia menjauh! Aku takut!

"Cinta? Kau baik-baik saja?" tanyaku gemetar saat menatap mata pria itu.

Salih antusias mengusap air matanya, tersenyum. "Aku baik-baik saja."

Kita kembali melanjutkan langkah. Setidaknya angin segar di pagi ini cukup menenangkan rasa tegang kami.

"Apa kau benar-benar mencintainya?" Demi Tuhan, kau tidak mengerti atau bagaimana, Salih?!

"Apa perlu kuberitahu padamu? Cintaku ini lebih dari diriku sendiri."

"Mengapa kau mencintainya?"

"Dia orang yang asketik, altruis, tapi istimewa untuk semua orang. Kau tidak perlu tahu siapa orang itu, karena aku sedang berkaca untuk memantaskan diri dengannya. Aku harap, semua tidak sia-sia saat aku berkaca sambil memantaskan diri untuk menjadi orang yang istimewa di matanya."

"Aku suka tipe yang kausebut."

"Salih!" Kami mendengar suara seorang perempuan yang menyahut nama Salih. Kami menoleh aras suara. Tampak ada seorang pria bersama Aslı melambaikan tangannya, tersenyum lebar. Pria menoleh ke belakang. Hal itu membuat mereka berdua saling terkejut. Aku merasa kontak batin mereka bersahutan.

"Paman?" gumam Salih melirih, memaku.

"Salih, anak kekasih," lirih Sancar—ayah Aslı dan Uğur, tersenyum bahagia.

"Beliau ayahnya Uğur dan Aslı." Aku memperkenalkan Sancar pada Salih.

"Aku tahu, Deniz."

"Kau mengenalnya, Cinta?" Kepalaku menoleh pada Salih.

"Dia Sancar. Aku merasakan kehadiran belahan jiwaku yang sudah lama hilang." Salih melangkah pelan menghampiri Sancar.

Mereka berdua saling menghampiri, saling memandang dengan matanya merah berkaca-kaca, saling menunjukkan senyum sebagai bahagia rasa bahagia layaknya anak dan ayah.

"Paman!" panggil Salih untuk Sanskar, langsung memeluk pria itu dengan eratnya.

Ada haru saat Salih memeluk Sancar. Ini pertama kalinya aku melihat Salih memeluk seorang pria tua selain teman-temannya. Dugaanku yang tersimpan selama ini—bahwa mereka berdua adalah ayah dan anak—mulai keluar. Kalaupun benar apa yang kupikirkan, tidak mengerti lagi bagaimana perasaan kedua anaknya yang lain jika mengetahui hal ini.

"Aku sudah menemui Ibuku, Paman. Terima kasih," lirih Salih, menundukkan kepalanya di atas pundak pria itu. Memecahkan tangisan tanpa suara di pelukan Sancar.

"Apa?" Hanya itu yang bisa kuungkapkan. Apa Sancar membantu Salih mencari ibunya? Bagaimana bisa? Ya Tuhan, ini aneh.

avataravatar