1 Prolog

Debu dan tanah halus beterbangan acak di sepanjang kota yang teramat sibuk, meliuk-liuk tertiup angin kering dan panas tanpa kelembapan. Debu dan tanah halus menyesakkan paru itu singgah di berbagai tempat: dinding apartemen, kaca gedung, kendaraan, tubuh manusia. Sejatinya di segala permukaan, kecuali tumbuh-tumbuhan dan air yang tidak lazim ditemukan di kota itu. Sesekali angin bertiup lebih cepat dua kali lipat, mengubahnya menjadi sebuah turbulensi, mengurangi drastis jarak pandang orang-orang yang berlalu lalang di sepanjang jalan.

Mereka yang tidak membawa masker dan tabung oksigen buatan tidak akan mampu bernafas, maka tak ayal dua benda itu selalu dibawa oleh siapapun, kemanapun, dimanapun. Setiap hari udara di kota itu mengalami badai debu dan penurunan saturasi ekstrem, dengan waktu-waktu kritis yang sudah penghuninya hafal diluar kepala: siang tengah hari, satu jam menjelang malam.

Petang ini, badai debu itu pun kembali terjadi, menyebabkan sebuah helikopter kesulitan melakukan pendaratan di helipad atap sebuah gedung pencakar langit sana. Helikopter itu bahkan sejenak terdiam, menunggu putaran angin kencang itu sedikit mereda. Lebih dari setengah jam kemudian, barulah Ia mendarat dengan selamat.

Dua orang laki-laki yang mengenakan masker dan penutup telinga berlarian dari dalam gedung, menjemput seorang wanita dengan gaun dan stiletto merah yang turun dari helikopter itu dengan hati-hati.

SRNGG!

Pintu menuju atap gedung tertutup tanpa perintah begitu si wanita telah masuk ke dalam. Segera masker oksigen itu dilepasnya, bahkan dilempar kasar entah kemana, "Astaga ... sampai kapan manusia akan terus hidup seperti ini?" keluhnya seraya menuruni tangga.

"Entahlah, Nona Rachel. Mungkin sampai Kau berhasil menciptakan sesuatu dengan tanganmu," ujar pria dibelakangnya: body guard.

Wanita glamor bernama Rachel itu tersenyum miring, "Tentu saja. Itu tak akan lama lagi," ujarnya arogan. "Dimana Sylvia?" lanjutnya bertanya.

"Dia ada di laboratorium utama, mungkin juga sedang menunggumu."

"Baiklah. Kalian boleh pergi."

Kedua pria itu mengangguk, sedikit membungkuk hormat kemudian berlalu usai mengantar Rachel sampai ke ruang kerjanya. Wanita itu lantas masuk usai memindai retinanya, menaruh barang-barangnya dari pertemuan penting tadi diatas meja. Sepatu hak tinggi itu dilepas, sejenak Ia biarkan kaki jenjangnya bernafas bebas di lantai marmer dingin ruangan sementara si empunya mengenakan jas laboratorium.

Suara pemindaian biometrik terdengar kemudian, seseorang yang memiliki akses baru saja masuk ke dalam ruangannya.

"Oh, Sylvia. Aku baru saja hendak pergi ke laboratorium. Bagaimana proses disana?"

Gadis peneliti bernama Sylvia itu mengangguk, lalu sebuah hologram muncul dari atas gawainya, "Gen dan chip baru telah disisipkan dengan sempurna, namun kita masih perlu melihat efek samping yang mungkin ditimbulkan."

"Berapa hari kau menguji efektivitas regulasi nutrisi automatis itu?"

"Sekitar tujuh hari pada mamalia. Apa itu cukup?"

Rachel tampak berpikir, tangannya memutar dan membolak-balikkan skenario percobaan dan analisis data dalam kurva hologram di depannya, "Aku rasa sudah cukup. Siapa resipien pertama dari gen dan chip baru ini?"

"Resipien pertama?" Sylvia mengerutkan dahi, pun tersenyum miring, "Bukankah kau sudah memiliki bahkan melakukan uji coba padanya sejak dulu?"

"Siapa yang Kau maksud?"

"Siapa lagi? Niels Geyer."

Rachel terdiam, tak membantah. Perasaannya sebagai perempuan kembali muncul pada Niels, pria yang disebutnya kuno dan kini berada di dalam gel restorasi akibat ulah serakahnya beberapa waktu lalu. Bersamaan dengan rasa bersalah yang menggunung, Rachel menelan salivanya dalam-dalam, tak bisa menundukkan kepalanya lebih lama. "Dia memang menginginkannya. Sudah nasib dan risikonya seperti itu."

Rachel berlalu, dan Sylvia sungguh tak habis pikir. Wanita CEO itu benar-benar tak punya hati sampai pria polos seperti Niels turut diperalat untuk memenuhi ambisinya.

"Isabel Geyer telah sampai di Hatemoor. Apa yang akan Kau lakukan?" tanya Sylvia, sukses membuat Rachel kembali terdiam, langkah cepatnya itu bahkan terhenti, "Untuk apa dia datang kemari?"

"Tentu saja mencari kakaknya, karena Niels pasti mengatakan akan pergi ke Hartermoor untuk menemuimu, teman dekatnya." Sylvia berlalu, ubah tak peduli dengan Rachel.

Rachel menghela nafasnya sejenak, lalu kembali Ia melangkah menuju Ruang Histologi. Sylvia hanya menggelengkan kepalanya miris, "Apa dia sama sekali tidak takut soal karma?"

"Sylvia!"

"Ya? Ada apa?" Gadis itu berjalan cepat.

"Sebaiknya kita lakukan hari ini," ujar Rachel dari balik mikroskop.

Sylvia menggeleng, "Tidak bisa, Rachel. Bagaimana jika terjadi se ..."

"Penyisipan gen dan chip itu tidak bisa ditunda lagi, atau pemerintah yang akan mengambil alih tempat ini. Aku tidak akan pernah sudi!" potongnya tegas.

Sylvia menggeleng, "Aku tidak bisa, itu terlalu berisiko bagi penerima."

"Gunakan saja Niels Geyer."

"Apa Kau gila? Dia manusia, Rachel!"

Rachel mengangguk, berjalan keluar dari Ruang Histologi, "Apa pernah sekali aku menyebutnya hewan?"

"Lakukan hari ini, Niels sudah tidak bisa merespon apa-apa ..." ujarnya, memandang tabung gel restorasi besar di sisi kanan ruangan agak pojok. Tampak seorang pria dengan tubuh polos melayang ditengahnya. "Barangkali jika chip dalam sumsum tulang belakangnya itu diganti dengan yang baru ..."

"Aku dapat melakukan sesuatu untuk memulihkan kesadarannya."

"Bagaimana caranya?"

"Kita tidak akan tahu jika belum mencobanya. Maka lakukan, sesuai perintahku, Sylvia."

Sylvia menggeleng dramatis, "Aku tidak mau kau berubah menjadi pembunuh, Rachel."

Rachel menggeleng, "Kau salah. Aku sudah membunuh begitu banyak orang dengan tanganku. Satu orang tambahan bukan apa-apa, lagipula dia sungguh sudah mati."

"Kau sungguh mengatakan hal itu seolah kau bukan manusia, Rachel Richmann. Aku membencimu, menyesal telah mengenalmu selama ini. Kau bukan peneliti, Kau telah menodai hakikat ilmu pengetahuan, dan Kau hanyalah seorang pembunuh ..."

"Lalu jangan lupakan dirimu!" Rachel, menarik kerah jas Sylvia kasar, membuat gadis itu tercekat, "Jika aku adalah pembunuh, maka kau adalah eksekutor dari pembunuhan itu sendiri. Sekarang apa yang Kau harapkan? Kita telah sama-sama berubah menjadi monster pembunuh ..."

"Itu bukan salahku!"

"Lalu salah siapa? Kau ingin menyalahkanku? Lebih baik kau salahkan Lore si wanita sampah itu!" Rachel semakin mengeratkan cengkeraman tangannya.

"Lepaskan aku ..."

"Tidak akan, sampai kau melakukan perintahku," tolak Rachel. Namun Sylvia tetap pada pendiriannya, "Aku tidak akan mau melakukannya, lebih baik kau saja. Kenapa Kau memintaku melakukannya padahal kau sendiri mampu, hah?" Sylvia menatapnya nyalang. "Apa kau sengaja mencari kambing hitam?" lanjutnya.

Amarah memuncak, namun Rachel tak bisa mengatakan apapun, hanya tangan dan matanya yang terus bekerja. Deru nafas mereka bersautan, seolah silih menyerang. Hingga akhirnya kedatangan seseorang melerai mereka.

"Ada apa ini?"

DUKK!

Sylvia terhempas membentur tiang, Rachel melepaskannya sangat kasar. Pria berpenampilan super formal yang baru datang itu tak bersimpati sama sekali, sudah terbiasa dengan pemandangan seperti itu.

"Apa kau sudah menemukannya?" tanya Rachel tanpa basa-basi.

Pria itu mengangguk, "Ya. Lore Hasenclever, dia telah tewas di Foxadon."

avataravatar
Next chapter