1 Chapter 1

Ini ide yang buruk.

Untuk yang kesekian kalinya kalimat itu terngiang di dalam kepalaku. Sedikit rasa menyesal terselip di dalam hatiku karena menolak tawaran Oliver untuk mengantarku pulang.

Yah, sebenarnya sebagian harga diriku yang mencegahku untuk menerima tawaran itu.

Kami baru saja mengakhiri hubungan dua minggu yang lalu. Setelah dua tahun bersama dengannya, akhirnya beberapa minggu yang lalu seorang perempuan datang ke apartemenku dan menamparku begitu saja sebelum berteriak padaku untuk menjauhi Oliver.

Ia mengaku sebagai pacar Oliver, dan mengaku mereka sudah berpacaran selama satu tahun lebih.

Oliver sialan, Ia bahkan tidak terlalu tampan. Tapi si sialan itu sudah berselingkuh di belakangku selama satu tahun lebih.

Aku menoleh ke belakang lagi untuk yang ketiga kalinya, sementara kakiku masih terus melangkah. Instingku mengatakan sesuatu sedang mengikutiku, atau seseorang.

Semua ini karena Mr. Newman yang memaksa beberapa staffnya untuk lembur selama tiga hari belakangan ini.

Dan hari ini adalah yang paling parah, kami baru bisa pulang pukul setengah dua belas malam. Aku, Oliver, dan beberapa staff lainnya.

Sialnya tidak ada bus yang beroperasi di jam selarut ini, sedangkan menunggu taksi akan memakan waktu lebih lama. Jadi dengan bodohnya aku memutuskan untuk berjalan kaki.

Sekarang, ide berjalan kaki ke apartemenku seorang diri pukul 12 malam terdengar sangat bodoh.

Aku kembali menoleh ke jalanan sepi di belakangku. Daerah ini terlalu sepi.

"Ini benar-benar ide yang buruk, Ella." Gumamku pada diriku sendiri. Seharusnya aku bersabar dan menunggu taxi saja.

Aku pernah melewati jalan ini beberapa kali karena ini adalah rute paling cepat menuju apartemenku dengan berjalan kaki.

Jalanan ini dipenuhi dengan toko makanan dan barang-barang dari meksiko yang seingatku selalu ramai di siang hari. Sayangnya suasana saat siang hari sangat kontras dengan malam ini.

Seluruh toko sudah berhenti beroperasi dan ditutup rapat-rapat. Aku hanya bisa melihat cahaya dari beberapa etalase toko dan dari lampu jalan. Sisanya gelap gulita.

Suara heelsku yang tidak terlalu tinggi terdengar samar saat mengetuk trotoar yang kulalui. Entah kenapa bulu halus di tengkukku sedikit berdiri sejak memasuki jalanan sialan ini.

Kupaksa kedua mataku untuk menatap lurus ke depan, tinggal seratus meter lagi hingga aku keluar dari jalan mengerikan ini. Dan aku berjanji tidak akan pernah melewatinya lagi saat malam.

Tiba-tiba suara jeritan yang melengking memecah kesunyian di sekitarku membuat langkahku terhenti di tempat. Suaranya terdengar menyayat, seakan-akan pemilik suara itu benar-benar kesakitan.

Sangat kontras dengan keheningan yang sebelumnya kudengar.

Seluruh bulu halus ditubuhku kini berdiri bersamaan dengan insting di dalam kepalaku yang berteriak untuk lari. Tapi sebagian hati nuraniku menyuruhku berbalik dan menolong pemilik suara itu.

Inilah salah satu kelemahan manusia; terlalu mempercayai hati nurani daripada otaknya. Jika ini film horror, aku pasti jadi yang pertama mati mengenaskan.

Jantungku berdebar keras di dalam rongga dadaku saat aku berbalik lagi. Tidak peduli betapa keras instingku berteriak di dalam kepalaku, aku melangkah ke arah sumber suara itu.

Suara lengkingan itu kembali terdengar kali ini terputus-putus. Sambil berjalan, tangan kananku yang sedikit gemetar menyusup ke dalam tas tanganku, mencari handphone.

Langkahku terhenti dengan ragu-ragu di depan sebuah gang gelap yang kemungkinan jadi tempat sumber suara itu. Kini teriakan itu sudah berhenti total dan kembali menyisakan kesunyian.

Kusipitkan kedua mataku ke arah gang gelap itu, berharap bisa melihat lebih jelas. Gang ini tidak terlalu besar, persis seperti gang-gang di dalam film horror dimana Jack the Ripper keluar dari balik kegelapan dengan pisau berdarahnya sehabis menjagal korbannya.

Dengan tangan masih sedikit gemetar jari-jariku menekan 911, lalu dari sudut mataku aku bisa melihat sebuah bayangan bergerak di antara kegelapan.

"Halo?" tiba-tiba suara seorang pria menggema di gang itu, hampir membuatku menjatuhkan handphoneku dari tanganku karena terkejut.

Aku mendongak menatap siluet seorang pria yang sedang berjalan ke arahku. Kali ini aku menuruti instingku, kakiku melangkah mundur beberapa meter.

Pria itu mengenakan kemeja berwarna putih dengan jaket kulit hitam dan celana jeans. Yang jelas ia tidak terlihat seperti Jack the Ripper.

"Kau tidak apa-apa?" tanya pria itu sambil tersenyum kecil. Senyuman di wajahnya terlihat sedikit aneh, jadi aku kembali melangkah mundur.

"Suara apa itu?" tanyaku dengan suara sedikit panik. Jantungku berdebar sangat cepat hingga aku hampir bisa mendengar debarannya di telingaku.

Pria itu berhenti beberapa meter di depanku tepat di bawah lampu jalan, cahaya menyinari wajahnya dengan jelas.

Rambut hitamnya yang sedikit panjang menyentuh kerah kemejanya. Kedua mata hitamnya yang janggal menatap ke arahku, Ia masuk ke dalam kategori tampan.

Atau sangat tampan jika kami bertemu dalam situasi yang normal.

Tapi ada sesuatu yang aneh—sesuatu yang salah darinya. Pria itu kembali tersenyum saat melihat ekspresi wajahku.

"Suara apa yang kau dengar?" Ia menelengkan kepalanya ke kanan sedikit, suara beratnya terdengar hampir menyenangkan.

Seperti suara Santa Claus sewaan yang biasa dipajang di mall-mall untuk berfoto dan memberikan bingkisan Natal pada anak-anak.

Hanya saja yang ini terdengar seratus kali lebih berbahaya dari suara Santa Claus.

Mulutku terbuka untuk menjawabnya, lalu kututup lagi. Jika Ia pembunuh, maka memberitahunya bukan ide yang bagus. Tanganku menggenggam handphoneku erat-erat.

"Ummm, kurasa aku salah mendengar." Gumamku sambil bersiap-siap berbalik.

"Tunggu dulu, Nona." Suara itu terdengar memerintah saat memanggilku, membuatku kembali terpaku di tempat.

"Apa seseorang sedang mengikutimu?" tanyanya dengan nada khawatir sambil melirik ke belakangku.

Refleks, kepalaku menoleh ke belakangku juga untuk melihat, tapi tidak ada apa-apa disana.

"Ah, kurasa aku salah melihat." Tiba-tiba suara itu terdengar sangat dekat, hingga membuat jantungku terlonjak di dalam dadaku. Saat aku menoleh kembali, Ia sudah berada tepat di depanku.

"Tsk. Nona manis, aku sedikit menyesal harus melukaimu." Ia mengucapkannya dengan suara malas sebelum menyeringai sedikit, sepasang taring muncul dari balik bibirnya.

Tangannya bergerak bersamaan dengan mulutku yang terbuka untuk berteriak. Dan hanya dalam satu detik, bibirnya yang hangat dan basah menyentuh leherku.

Sepasang taring yang tajam merobek kulit leherku dengan sangat menyakitkan. Mulutku terbuka untuk berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar dariku.

Hal terakhir yang kuingat adalah cahaya terang dari lampu jalan dan suara tegukan keras yang mengerikan.

***

(6 bulan kemudian)

"Aku sudah meminta Oliver untuk memesankan tiket pesawat untukmu, Eleanor." Suara Mr. Newman terdengar final. Aku hanya bisa memandang managerku dengan tatapan putus asa.

"Tapi Sir, saya benar-benar tidak bisa-"

"Kau adalah salah satu auditor terbaik di perusahaan ini. Seharusnya kau merasa senang karena aku menganggapmu sebagai salah satu karyawan terbaik disini." Mr. Newman mengalihkan pandangannya ke dokumen di mejanya, isyarat untuk mengusirku dari kantornya dengan halus.

Aku berdiri dari kursiku dengan tenang. Bagaimanapun juga aku tidak akan berbuat kekanak-kanakan seperti memohon pada Mr. Newman lagi. Satu kali sudah cukup.

Tanpa memandangnya lagi aku berjalan keluar dari ruangannya, lalu berjalan menuju meja Oliver.

Oliver Sheldon Wright adalah mantan pacar sekaligus asisten manager di perusahan akuntan tempatku bekerja. Aku ingat saat pertama kali bertemu dengannya, saat aku masih sebagai pegawai magang dan Oliver adalah akuntan junior.

Aku pernah berpikir aku benar-benar mencintai pria ini, sebelum selingkuhannya datang ke apartemenku dan menamparku.

Si sialan itu. Dasar laki-laki brengsek!

Kukepalkan kedua tanganku erat-erat lalu berhenti di depan meja asisten manager. Oliver sedang fokus menatap layar komputernya, beberapa helai rambut coklat terangnya jatuh ke dahinya yang berkerut, lalu dengan perlahan Ia mendongak ke arahku dan tersenyum kecil.

"Ada yang bisa kubantu, Els?"

Els. Ia selalu memanggilku dengan nama menyebalkan itu saat kami berpacaram.

"Mr. Newman bilang kau yang mengurus tiket pesawatku." Aku berusaha memaksa suaraku agar terdengar senetral mungkin.

Kami sudah mengakhiri hubungan lebih dari 6 bulan yang lalu, walaupun aku masih ingin meninju wajahnya setiap kali melihatnya tapi aku harus bersikap profesional di kantor.

Ia mengambil sebuah amplop dari laci mejanya lalu menyerahkannya padaku, masih sambil tersenyum. "Sorry, Els. Sebenarnya Mr. Newman memintaku untuk pergi tapi aku tidak bisa, jadi terpaksa kau harus menggantikanku. Well, selamat bersenang-senang, kudengar di Manhattan akan ada festival besar."

Aku menatapnya dengan pandangan tidak percaya. Ia hanya membalas tatapanku dengan senyuman menyebalkannya.

Kedua matanya coklatnya menatapku, seakan menungguku untuk bereaksi. Aku menahan keinginanku untuk melemparkan vas porselen di depanku ke wajahnya lalu berbalik menuju mejanya sambil menggumamkan terimakasih.

Aku tidak akan bersikap kekanak-kanakan lagi. Kata-kata Oliver, setelah aku memberitahunya tentang wanita yang datang ke apartemenku dan menamparku, kembali terngiang di dalam kepalaku.

'Kau terlalu mendramatisir, Els. Jangan kekanak-kanakan.'

Kubuka amplop di tanganku dengan marah. Isinya dua helai tiket dan reservasi hotel, kedua mataku menatap tanggal berangkatnya dan tujuannya; Manhattan.

Aku benci Manhattan.

Kumasukkan tiketnya kembali ke dalam amplop lalu menarik nafas dalam-dalam. Sebagai auditor, sebenarnya aku tidak keberatan dengan perjalanan bisnis seperti ini.

Hanya saja biasanya Mr. Newman mengirimkan tim, jika Ia hanya mengirimkan satu auditor seperti ini maka pekerjaannya bisa dipastikan akan menyebalkan. Pekerjaan seperti ini biasanya akan memakan waktu paling cepat 2 minggu. Tergantung pada besar kecil perusahaan yang akan diaudit.

Kuhembuskan nafasku lagi, aku benci pergi seorang diri. Tepatnya sejak 6 bulan lalu aku benci jika harus sendirian. Pikiranku kembali lagi ke malam itu, jalanan sepi dan suara jeritan kesakitan yang tiba-tiba memecah keheningan.

Bulu-bulu halus di leherku kembali berdiri. Walaupun aku tidak terlalu mengingat wajah pria itu, tapi aku masih mengingat suaranya. Dan aku ingat kedua mata hitamnya yang aneh.

Perutku terasa mual ketika mengingatnya lagi. Aku tidak bisa mengingat apa yang terjadi setelah pria itu mendekatinya, tapi anehnya aku terbangun keesokan harinya di apartemenku seperti biasa.

Satu-satunya tanda yang membuatku yakin itu bukan mimpi hanya dua titik merah dan lebam di leherku, hingga saat ini luka itu belum sepenuhnya menghilang.

Tentu saja aku sudah melaporkannya ke polisi, tapi mereka tidak menemukan mayat atau pun laporan orang hilang jadi mereka menghentikan penyelidikan.

"Ella, kau mau ikut makan siang?" sebuah suara membuyarkan pikiranku.

Aku mendongak ke arah Christine yang berdiri di depan mejaku sambil mengapit dompet di lengannya, tangannya sibuk mengetik sesuatu di handphone. Salah satu sudut mulutnya mengulum ujung rambut pirangnya.

"Oh, okay." Balasku sebelum mengambil dompet dan berjalan di sebelahnya. Christine memasukkan handphonenya ke sakunya kembali.

"Mr. Newman menugaskanmu sendirian?" tanya Christine tiba-tiba. Aku mengerang mendengar pertanyaannya.

"Ouch. Kukira Ia akan memberi tugas itu ke Oliver." Lanjutnya. Kami berhenti di depan lift.

"Seharusnya memang seperti itu, tapi Oliver melemparnya padaku." Balasku sambil melipat kedua tanganku di dada. "Aku bahkan belum tahu siapa kliennya."

"Kau belum tahu? Shaw&Partner. Aku mendengar Mr. Newman dan Paul membicarakannya. Mereka sendiri yang menolak untuk dikirim tim dan meminta satu auditor. Kurasa Shaw&Partner ingin melakukan audit rahasia." Balas Christine sambil menaikkan kedua bahunya.

Aku kembali mengerang. "Apa perusahaannya besar?" tanyaku sambil melangkah ke dalam lift yang kosong.

Christine menoleh ke arahku dengan kening berkerut, "Kau tidak tahu Shaw&Partner?"

Yah, aku hanya familiar dengan nama bank dan perusahaan keuangan, jadi aku menggelengkan kepalaku padanya.

Ia memutar bola matanya, "Kau harus lebih sering menonton berita. Kau yakin tidak pernah mendengar nama Nicholas Shaw? Gregory Shaw?"

Aku kembali menggeleng.

"Tentu saja, aku lupa seleramu sekelas Oliver." Gerutu Christine, "Ia dan saudaranya adalah pengacara. Mereka mendirikan Shaw&Partner. Beberapa tahun belakangan perusahaan mereka melesat, sekarang Nicholas dan Gregory Shaw adalah pengacara dengan bayaran termahal. Kau harus membaca wawancara mereka di majalah GQ. Ya Tuhan."

"Apa mereka sehebat itu?"

"Mungkin. Tapi mereka berdua sangat..." Christine berhenti sejenak, seolah-olah mencari kata yang tepat, "Sangat yummy."

Keningku sedikit berkerut mendengar deskripsinya. Yummy terdengar menjijikan bagiku.

"Tapi kau harus menjauhi Nicholas Shaw. Beberapa tabloid mengatakan Ia gay, Ia memang tidak pernah terlihat dengan wanita. Sangat berbeda dengan saudaranya, Gregory." Lanjutnya.

Kuputar kedua bola mataku saat mendengarnya, aku tidak pernah peduli dengan pilihan seksual seseorang, lagipula kemungkinan besar aku tidak akan bertemu dengan mereka.

Auditor hanya akan berurusan dengan manager keuangan dan sebangsanya. Bukan bos. Dan aku benar-benar tidak peduli jika klien ini sangat amat tampan, pekerjaan tetap pekerjaan.

Satu hal yang aku tahu dengan pasti, pekerjaan yang sedang menungguku di Manhattan akan menjadi sangat menyebalkan.

avataravatar
Next chapter