webnovel

Chapter 4 Red Hyacinth : Play

Hari selasa, masih subuh. Tepatnya jam tujuh pagi.

Jenira akan pergi bersama Jonathan. Kini ia sedang bersama adiknya, bermain di dalam kamar Hannah. Ia sangat yakin ia akan menang melawan kakaknya dini hari sambil menunggu Jonathan datang. Kemarin, hari senin mereka sekeluarga pergi ke taman. Berpiknik untuk terakhir kalinya. Dan sekarang, Hannah ingin sekali saja menang dalam permainan kartu dengan kakaknya.

''Hehehe, aku menang loh kak''

''Oh ya?'' goda Jenira

''Oh ya!''

Hannah pun memperlihatkan kartunya pada kakaknya

''Aku dapet flush!''

Dengan bangganya dia mengucapkan kata flush pada kakaknya yang tertua. Jenira hanya tersenyum melihat adiknya yang puas dengan kertas yang ada ditangannya. Bergambar dengan satu as sekop, raja sekop, Sembilan sekop, tujuh sekop dan enam sekop. Flush.

Jenira pun memperlihatkan kartunya di hadapan adik kecilnya. Lima keriting, lima berlian, lima hati, lima sekop dan dua berlian. Four of a kind.

''Maaf ya''

Kakaknya khawatir jika adiknya akan menangis karena telah kalah berturut-turut. Selama Hannah ada dirumah, ia tidak pernah menang melawan kakaknya dalam permainan kartu poker, yang ia bisa hanya bermain monopoli dan ular tangga. Selain itu, catur dan poker adalah keahlian kakak dan ayahnya.

Jenira hanya tertawa kecil. Ia sedih dengan apa yang ia lakukan pada adiknya. Rambut Hannah yang pirang perlahan menyapu wajahnya yang ayu dan muda. Matanya bagaikan warna langit cerah disiang hari melihat ke arah kakaknya.

"Ayo main lagi! Kakak harus kalah!" serunya.

Wanita pucat yang ada didepannya hanya bisa mengalah dan bermain lagi.

Sedangkan anjing kecil mereka dengan senang hati menjadi kasur hidup untuk kartu yang sedang dimainkan. Sesekali Ci menguap dan menggerakan ekornya saat salah satu pemiliknya mengelus-elus kepalanya sambil memuji tanpa kata.

''Aku gak akan kalah lagi dari kakak!''

Semangatnya muncul kembali. Ia percaya ia akan menang melawan kakaknya yang sudah seperti hantu didepannya. Ia memakai baju terusan putih dan lengkap lah sudah, ia seperti hantu yang sedang bermain kartu bersama seorang perempuan muda. Tidak hentinya Hannah terus mengatakan bahwa ia tidak akan kalah melawan sang kakak yang dengan diam bermain bersama adiknya tersebut. Namun tentu saja pada dalam dirinya, suara-suara asing muncul kembali.

''Mungkin kita harus mengalah'' ucap salah satu suara dari dalam dirinya.

Suaranya yang tenang menggema dalam diri Jenira. Wanita itu pun sependapat dengannya. Adiknya terlihat sedih saat ia kalah darinya. Mungkin aku harus-

''Tunggu dulu! Hannah kelihatannya semangat sekali! Apa benar kamu mau mengalah begitu saja? Dia kelihatannya ingin terus berduel denganmu''

Ia juga setuju dengan suara yang agak tinggi tersebut.

Apa benar ia ingin membuat adiknya merasa terkhianati saat ia tahu bahwa kakaknya sengaja mengalah untuk melihatnya senang? Agak manis sih tapi, apa benar ini yang Hannah mau?

''Ingat, besok adalah hari kita pergi dari rumah. Apa kau ingin diingat sebagai kakak yang mengalah atau ingin terus menang?'' suara manis tanpa getir terdengar. Memberikan pertanyaan yang berarti. Apa benar ini yang Hannah inginkan? Ia tidak mau membuat adiknya sedih. Ia ingin adiknya melihat bahwa kakaknya kuat dalam apapun. Ia ingin menjadi contoh yang baik demi adiknya. Apa yang ia harus lakukan? Mengalah? Menang? Tapi jika ia ketahuan mengalah Hannah akan marah, tapi jika ia menang lagi Hannah akan sedih dan mungkin ia tidak mau bermain lagi bersamanya. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk adiknya. Walau itu hanya hasil kibulannya demi membawa adiknya ke arah yang lebih baik.

''Kakak?'' suara Hannah terdengar

''Ya? Ada apa Hannah?''

Adiknya terlihat khawatir dengan wajah kakaknya yang mulai menjadi datar. Tidak ada emosi saat mereka mulai bermain. Adiknya tidak tahu bahwa kakaknya sedang mendengarkan suara yang ada didalam dirinya, atau pun tahu tentang keberadaan suara asing yang ada didalam dirinya. Faktanya, tidak ada satu pun seseorang yang tahu bahwa Jenira mendengar suara yang ada didalam dirinya.

''Enggak, aku kira kakak ngelamun''

''Hahahahah enggak kok! Ayo giliran kamu kan?''

Hannah mengambil kartu ketiganya. Entah kartu apa yang terlihat.

Ditangan Jenira hanya ada dua pasang sepuluh sekop dan hati, beserta empat sekop. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

''Aku bakal ngalahin kakak!'' semangat Hannah

Ya tentu saja. Adik kecilnya tidak mudah menyerah begitu saja. Ia terus mengejar dan melakukan hal yang sama seperti kakaknya. Ia mengikuti langkah kakaknya dari dekat.

Mungkin terlalu dekat.

Ia ingat saat Jenira sedang memakan kue bersama Hannah yang masih balita tersebut hampir jatuh saat ia merengek menginginkan kue yang ada di tangan kakaknya. Jenira tidak bisa memberikannya karena Hannah saat itu belum mempunyai gigi.

Atau ia sangat ingat betul saat Jenira sedih oleh pembulian di kelasnya, ia hanya bisa menangis tanpa suara di dalam lemari bajunya. Orang tuanya sibuk didalam toko sehingga tidak terlalu memperhatikan perasaan Jenira saat itu.

Namun yang datang menggedor pintu lemari dengan tangan kecilnya adalah Hannah yang baru bisa berjalan. Kakaknya panik, bagaimana bisa adiknya yang sedang tidur di dalam tempat tidur bayinya bisa keluar dan berjalan kedalam kamarnya.

Ia melupakan apa yang telah dideritanya oleh orang lain, yang saat itu ia pikirkan adalah apa adiknya terluka saat ia kabur dari tempat tidurnya. ''Eni!'' adiknya tersenyum lebar saat kakaknya memeluknya dengan erat sambil memeriksa apa adiknya terluka atau tidak. Ia terus mengecup kepala kecil adiknya saat itu. Seperti ia menemukan harta karun yang tidak ternilai.

''Heheheheheeh siap-siap kakak bakal kalah!'' Semangat adiknya menderu. Seakan ia siap dengan apa yang ada ditangannya. Ia pun memperlihatkan apa yang ada ditangannya.

''Three of a kind!'' Serunya bersemangat. Wajahnya yang sumringah terlihat, pipinya merah tertarik oleh otot yang membuat wajahnya tersenyum. Jenira pun tertawa melihat betapa senang adiknya tersebut. hingga membuat anjingnya terbangun sehingga kartu yang ada di punggungnya bertebaran di lantai.

''Hahahaha iya deh Hannah menang'' Jenira memperlihatkan kartunya one pair. Ia kalah.

''YAAAAAA!!!'' teriak Hannah. Ia pun merayakan kemenangannya dengan menari-nari sambil menggendong Chi. Sesekali berputar menari membuat baju terusannya melayang. Baju berwarna merahnya melayang-layang saat ia melakukan loncatan-locatan kecil.

Jenira hanya tertawa melihat tingkah laku adiknya tersebut sambil merapikan kartu yang berserakan dilantai.

''Karena kakak kalah, kakak yang bikinin aku kopi!''

''Kopi apa?''

Hannah berpikir sejenak

''Es kopi enak kayaknya. Jangan pake susu tapi!''

''Iya sebentar yah''

Jenira pun keluar dari kamar tersebut menuju dapur untuk membuat pesanan adiknya.

Rumah tersebut tidak terlalu kecil. Lantai pertama dijadikan toko dan dapur utama. Sedangkan lantai dua adalah kamar pribadi.

''Ma, ada es kan?''

''Ada, kenapa ka?''

''Hannah minta dibuatkan es kopi''

''Tumben''

Jenira mengambil es dari lemari es dan mulai membuat es kopi.

Entah kenapa Hannah menyukai kopi hitam. Biasanya hanya Jenira saja yang meminum kopi hitam dirumahnya. Biasanya adiknya lebih suka meminum teh buatan ibunya dibandingkan cairan hangat hitam ini. Aroma kopi hitam menyeruak. Perlahan-lahan Jenira mencampur kopi kentalnya dengan air didalam gelas pelastik untuk menghindari pecahnya gelas kaca yang akan ia pakai. Sambil mengaduk pula gula kedalamnya. Ia menuangkan dua sendok teh gula kedalam gelas tersebut.

''Oh…ada tamu'' ucap suara yang agak dingin.

Orang-orang yang datang ke toko biasanya hanya akan datang dan pergi saat adanya demo diluar. Namun sepertinya dini hari ini para tetangga dari toko-toko lain berkunjung untuk membicarakan soal jam malam bersama ayah Jenira.

''Kau tahu ini menyebalkan sekali! Orang luar suka sekali membuat rusuh di kota ini. Gara-gara mereka aku tidak bisa berjalan malam dengan tenang. Polisi lokal sampai mengira tongkat berjalanku adalah tombak! Apa-apaan ini! Sungguh!''

''Tapi sangat beruntung anak pertamamu bisa mendapatkan pekerjaan di rumah sakit. Mungkin dia bisa mencari rumah di tempat lain untuk keluarga ini jika ada kerusuhan besar''

''Oh! Ayolah jangan berpikir yang mengerikan! Tidak akan mungkin kota ini akan mengalami kerusuhan yang terlalu mengerikan selain ucapan-ucapan kasar''

''Tapi kemarin aku dengar kabar bahwa di jembatan kemarin ada seorang wanita tua yang di tarik dari mobilnya oleh pendemo, ia tewas setelah di pukul dari belakang''

''Waduh, mengerikan sekali''

''Brutalnya…''

Jenira hampir ketakutan atas apa yang ia dengar. Kejadian itu saat ia pulang bersama Jonathan.

''Jeni, fokus! Kopinya!''

Ah..dia lupa atas kopi adiknya sendiri.

''Jangan dipikirkan''

''Ayo, segera selesaikan kopinya''