1 Pasangan Fiktif

"Tuan..." Vivi menahan dada Eric dengan kedua tangannya agar pria itu tidak semakin mendekat padanya. Namun Eric mengabaikannya dan semakin mempererat pelukannya di tubuh wanita itu sambil terus mengikis jarak mereka.

"Tuan, tolong jangan seperti ini. Jangan menentang dunia hanya untuk wanita sepertiku."

Eric menatap kedua mata Vivi dengan lembut. Keyakinan yang sangat besar terpancar dari kedua mata yang menatap Vivi dengan dalam itu. "Aku tidak peduli dengan dunia ini. Bagiku kau yang bukan apa-apa untuk dunia ini adalah duniaku. Kau sangat berharga, karena itu berhentilah merendahkan dirimu sendiri."

Kata-kata Eric membuat kedua mata Vivi mulai berkaca-kaca. Eric memindahkan tangan kirinya yang berada di punggung Vivi ke pipi kanan wanita itu. Ia memejamkan kedua matanya lalu mendekatkan wajahnya hingga bibirnya menyentuh bibir Vivi, memberikan ciuman yang sangat lembut untuk wanita itu.

Vivi menerima ciuman itu dengan kedua mata terbuka. Ia tidak mengedipkan matanya yang sudah sangat berkabut itu, hanya diam membeku di tempatnya.

Namun tiba-tiba wanita itu mendorong tubuh Eric dengan kasar hingga pria itu nyaris terjatuh. "Obat mata!" teriaknya yang membuat suara keluhan terdengar di mana-mana.

"Cut!" seru Dennis yang duduk di kursi sutradara dengan kesal. "Oi! Vivianne! Beraktinglah dengan benar! Apa kau ingin menjebak kita semua dalam adegan ini sepanjang hari?!"

"Kurasa dialog ini kurang menyentuh, karena itulah air mataku tidak mau keluar," ucap Vivi tanpa rasa bersalah.

"Kau ini... Hei! Cepat beri dia obat tetes mata!" seru Dennis kesal. Membuat Wendy langsung berlari menghampiri Vivi dengan membawa obat tetes mata.

"Nona, ini‒"

"Aku lelah," potong Vivi sambil mendorong obat tetes mata yang akan asistennya itu tuangkan pada mata kanannya. "Ini waktunya aku tidur siang. Aku harus istirahat setidaknya 30 menit sebelum mulai bekerja lagi," lanjutnya sebelum melenggang pergi dari tempat itu dengan Wendy yang setia mengekor di belakangnya.

"Anak itu... Hei! Siapa yang mengizinkanmu istirahat? Cepat kembali! Pengambilan gambarnya belum selesai!" Dennis bangkit dari kursinya, namun Vivi tidak menghiraukannya dan terus melangkah menuju mobil vannya.

"Oi! Vivi!" Eric berlari menyusul Vivi dan mencengkeram bahu wanita itu. "Kau sengaja melakukannya, kan? Kau ingin aku terlambat datang ke pesta ulang tahun temanku?"

"Pesta apa? Aku tidak tahu apa-apa soal pesta ulang tahun Andrew," sanggah Vivi sambil menggedikkan bahunya.

Eric mengejek Vivi dengan seringaiannya. "Aku bahkan tidak pernah bilang jika itu Andrew yang berulang tahun." Eric lalu melihat jam tangannya. "Hanya ada 2 jam tersisa sebelum pesta itu dimulai dan aku bahkan belum memilih baju pestaku." Eric lalu menatap Vivi dan kembali mencetak seringaian di wajahnya. "Jadi kumohon kerja samanya untuk menyelesaikan ini dengan cepat, Nona Vivianne."

"Menyelesaikan? Ya ampun! Eric!" Vivi berteriak terkejut saat tiba-tiba Eric mengangkat tubuhnya dan membopongnya di bahu pria itu, membuatnya merasa pusing karena kaki dan kepalanya yang berada di posisi terbalik.

"Cepat ambil gambar ini tanpa protes!" seru Eric. Ia menurunkan tubuh Vivi dan memeluknya dengan erat. Sebelum wanita itu sempat mengatakan apapun ia membungkam mulutnya dengan ciuman yang tak terduga. Vivi membelalakkan kedua matanya terkejut, benar-benar terkejut hingga lupa caranya bernapas atau mengedipkan matanya sementara kedua tangan Eric yang mendekapnya dengan sangat erat membuatnya tidak bisa bergerak ke mana-mana.

"Improvisasi," kata Eric setelah melepas ciuman itu sambil menatap ke arah Dennis yang menatapnya dengan mulut terbuka lebar, kelihatan tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi di depan matanya.

"Kurasa daripada ciuman yang lembut sambil menangis, ciuman yang seperti ini lebih cocok untuk menyampaikan emosi Tuan Muda yang terluka hatinya karena penghinaan yang diterima oleh pelayan tercintanya ini," jelas Eric.

"Ini adegan terakhir untuk hari ini, kan? Kebetulan aku sedang agak sibuk. Kalian semua telah bekerja keras hari ini, terima kasih." Eric melambaikan tangannya pada seluruh kru yang masih menatapnya dengan wajah tak percaya. Tidak percaya karena lagi-lagi pria itu bertindak seenaknya seperti ini saat mereka sedang syuting.

"Ckckck, kontrol wajah bodohmu itu, Vivi! Hanya ciuman seperti itu saja kau sudah seterkejut ini. Dasar payah!" Sebelum pergi Eric masih sempat melontarkan ejekan pada lawan mainnya itu. Vivi mengerjapkan matanya beberapa kali, dan saat menyadari apa yang telah terjadi ia mengejar Eric untuk memberi pria itu pelajaran karena telah seenaknya berimprovisasi dengan bibirnya.

"Pak Sutradara..." Juno, asisten sutradara yang berdiri di sebelah Dennis, menyentuh bahu pria itu. Dennis berdiri dari kursinya dengan kasar hingga kursinya terjungkal ke belakang. Wajah sutradara terkenal itu tampak memerah dan jelas ia sangat marah sekarang.

"Eric! Vivianne! Ini terakhir kalinya aku mempekerjakan kalian untuk filmku! Sialan kalian berdua!" serunya yang terdengar hingga ke penjuru lokasi syuting itu.

***

"Wah, kau terlambat lagi. Memang sulit sekali untuk bisa mendapatkan waktu dari aktor terkenal, eh?"

Eric memukul pelan lengan Andrew dengan kepalan tangannya saat temannya itu menyambutnya dengan nada mengejek. Ia lalu menyodorkan sebuah tas berukuran sedang pada pria itu.

"Kado ultahmu," kata Eric yang membuat kedua mata Andrew terbelalak lebar saat melihat isinya.

"Wah... Ini! Ini!" Andrew mengeluarkan sebuah album foto yang dipenuhi gambar Vivi dengan heboh. Bagi penggemar berat Vivianne, bisa mendapatkan album foto eksklusif yang bahkan belum dirilis secara resmi di pasaran itu benar-benar suatu kebanggaan. "Bahkan ada tanda tangannya juga. Album ini... Ada bekas tangan Vivi di sini. Album yang sangat wangi ini akan kujaga lebih baik dari anakku sendiri."

"Kau bahkan belum punya anak," ujar Eric yang membuat Andrew terkekeh.

"Pasti senang sekali jika bisa bekerja dengan Vivi setiap hari," kata Andrew diiringi helaan napasnya. "Jika tahu begini, aku pasti akan belajar akting saja daripada harus meneruskan perusahaan papaku."

"Tentu saja kau harus meneruskan papamu! Aku butuh sponsor yang banyak darimu, jadi jangan coba-coba berpikir untuk meninggalkan posisimu!" ancam Eric yang membuat Andrew mendecih padanya. "Aku lega karena ini jadi proyek terakhir kami. Dengan begitu kau tidak bisa memaksaku untuk mendekatkanmu dengan Vivi lagi."

"Kau yakin tidak mau bekerja dengannya lagi?" tanya Andrew dengan nada sedih. "Nanti kusponsori lebih banyak lagi jika kau masih terus bekerja dengannya."

"Tidak, tidak!" Eric menolak dengan tegas sambil menggelengkan kepalanya. Pokoknya ini adalah proyek terakhir kami! Apapun yang terjadi, aku tidak akan mau mengambil pekerjaan dengan Vivi lagi."

***

Di saat yang bersamaan dengan Eric yang sedang menikmati pestanya di tempat Andrew, di dalam kamar yang berada di rumah mewahnya Vivi duduk bersimpuh di atas lantai sambil memegangi kepalanya. Wanita itu menangis tertahan dengan suara yang terdengar menyedihkan sementara di dekatnya ada botol kecil berisi obat yang sebagian isinya tercecer keluar.

"Ini yang terakhir..." lirih Vivi. "Kumohon, biarkan aku menyelesaikannya sampai akhir. Ini benar-benar akan jadi yang terakhir untukku dan Eric."

**To Be Continued**

avataravatar
Next chapter