webnovel

BAB 2

Viola yang berpakaian seragam putih-abu-abu, lengkap dengan name tag berukuran 10x8 merasa lega, sebab ia ternyata satu gugus dengan Ina di gugus 3.

"Yah! Gue sendiri," celetuk Riri dengan nada lesu. Dari tiga serangkai itu, Riri terpisah di gugus 4. Total seluruh gugus di SMA BHANERA ada 9.

"Yang sabar." Ina menepuk pundak kanan Riri sebanyak dua kali. Dan hal itu malah membuat Riri mendengus kesal.

"Seluruh peserta MPLS segera berkumpul di lapangan. Sekali lagi, seluruh peserta MPLS harap segera berkumpul di lapangan, karena upacara pembukaan akan segera dimulai, terimakasih."

Mendengar pengumuman yang menggema di seantero SMA BHANERA (Bhakti Negara), Viola yang semula duduk sambil memastikan penampilannya dari layar ponsel pun segera menyimpan benda pipih itu ke dalam tas.

Tiga serangkai itu pun berjalan beriringan di tengah siswa-siswi SMA BHANERA yang tengah berlalu-lalang untuk menuju ke lapangan, setelah mengenakan name tag mereka masing-masing.

Tiga puluh menit setelah upacara berlangsung, para siswa baru digiring oleh kakak pembina OSIS yang telah ditugaskan.

Gugus 3—tempat regu Viola berbaris—kedatangan 2 pembina perempuan dan 1 pembina laki-laki.

"Vi!" Ina menyenggol lengan Viola yang baris di samping kanannya.

"Hm?" Viola bergumam. Sibuk mengibaskan tangan di depan wajahnya yang mengucurkan keringat.

"Itu, lihat siapa kakak pembina kita coba!" seru Ina.

Dengan malas, Viola melengos ke arah pandang Ina. Tepat saat itu, mereka digiring oleh para kakak pembina untuk memasuki kelas.

"Na, gue nggak salah lihat, kan?" bisik Viola sembari terus berjalan dan melihat ke arah sosok yang sedang mereka bahas.

"Kayaknya, sih, Vi."

"Berarti Kak Raka salah satu most wanted sekolah ini, dong?"

Viola menjawab dugaan Ina hanya dengan mengedikkan kedua bahu.

Gugus 3 sampai di sebuah kelas berplakat X-3. Viola dan Ina berjalan menuju bangku kosong yang bertengger di urutan kedua, deretan kedua dari meja pengajar.

Setelah memastikan seluruh anggota gugus 3 lengkap dan telah duduk rapi, para kakak pembina mulai melakukan rangkaian acara.

"Ekhm!" Seorang kakak pembina laki-laki yang sekarang sedang berdiri di depan kelas, berdeham—meminta perhatian seluruh penghuni ruangan.

"Nama saya Raka Senio, dari kelas dua belas IPS satu. Kalian bisa panggil saya Kak Raka. Di sini, saya bersama rekan saya, yaitu Tika dan Gea. Mereka sama-sama dari kelas sebelas IPA tiga." Raka menunjukan dua gadis yang berdiri di sebelah kanan dan kirinya. "Saya harap, di sini kita semua bisa bekerjasama agar MPLS ini dapat berjalan lancar sampai akhir."

"Nah, sekarang adalah sesi perkenalan," sahut seorang gadis yang bernama Tika. "Kalian cukup berdiri dan mengucapkan nama lengkap, nama panggilan, serta asal sekolah. Paham?"

"Paham!" sorak seluruh anggota gugus 3 dengan serempak.

Sesi perkenalan pun dimulai. Urut dari anak pertama di bangku paling depan, hingga yang paling terakhir di pojok belakang. Setelah itu, seperti biasa, tugas mereka adalah mencari sepuluh tanda tangan dari para anggota OSIS.

"Minta bantuan kakak lo aja boleh, nggak, Vi?" Suara Ina terdengar mengeluh.

Mereka sudah berkeliling untuk mendapatkan tanda tangan, namun yang bersangkutan selalu memberi tantangan yang menguras tenaga. Seperti berlari, mendatangkan seseorang—kakak kelas lain—yang tidak mereka kenal, dan masih banyak lagi.

Hingga 30 menit berlalu, jam istirahat pun tiba. Di sinilah Viola dan Ina sekarang, duduk berlindung dari terik matahari di bawah atap sebuah gazebo kecil dekat kelas yang mereka tempati.

"Emang lo udah dapat berapa tanda tangan?"

Ina menunjukkan lembarannya yang berisi 4 tanda tangan kepada Viola.

"Gue juga baru dapat lima," komen Viola.

Ina yang semula lesu, tiba-tiba tersenyum semringah. Seolah mendapatkan energi untuk menerka kembali semangatnya agar muncul ke permukaan.

"Ada cogan, tuh, Vi!" seru Ina yang membuat Viola mengikuti arah pandangnya.

"Oh, itu," gumam Viola. "Dia, kan, satu gugus sama kita."

"Oh, ya?" Kening Ina berkerut. "Kok, gue nggak tahu?"

Viola hanya mengedikkan bahu. Enggan merespon lebih lanjut.

"Samperin, yuk, Vi!" Viola menatap sahabatnya dengan sorot mata pertanda bingung.

"Ngapain?"

"Kali aja dia mau bantuin kita."

"Tapi—" Belum sempat Viola menyelesaikan kalimatnya, Ina telah menarik paksa pergelangan tangannya. Mau tidak mau, Viola pun mengikuti ke mana langkah Ina membawanya.

"Hai," sapa Ina sembari tersenyum ramah ke seorang lelaki yang tengah duduk bersandar di bawah pohon mangga.

...•••...

"Hai." Afkar menengadah. Melihat siapa orang yang baru saja menyapanya, atau benar orang itu menyapanya.

Melihat senyum dan tatapan gadis itu, Afkar berdiri. Ia membalas senyuman gadis itu dengan canggung.

"Ina," ucap gadis itu sembari mengulurkan tangan.

Oh, dia, kan, satu gugus sama gue, gumam Afkar dalam hati.

Afkar dengan segera menjabat uluran tangan Ina. Namun, matanya beralih fokus pada gadis berambut panjang sepinggang di belakang Ina yang sedari tadi sibuk memainkan ponsel di genggamannya.

Jantung Afkar mendadak tak keruan kala menatap gadis itu.

Aneh, batin Afkar lebih untuk mengomentari dirinya sendiri.

"Itu .... "

Seolah tahu apa yang akan Afkar utarakan, Ina segera menjelaskan. "Oh—" Ina menyenggol lengan Viola menggunakan sikunya. "—ini sahabat gue."

"Vi, say something, kek!" bisik Ina tepat di depan daun telinga Viola sembari tersenyum canggung saat manik matanya bersitatap dengan manik mata Afkar.

Viola mengamati lelaki yang berjarak dua meter di hadapannya dari ujung kaki, hingga ujung kepala dengan sarat menilai. Kemudian, Viola tersenyum singkat dan berkata, "Viola." Gadis itu kembali fokus pada ponselnya.

Udah? Gitu doang? Cuek banget! Minus kali, ya, matanya? Sampai nggak lihat gue sekeren apa.

"I love you."

"Gue takut, Kar."

Afkar menggeleng cepat. Menepis sekelebat ingatan yang satu bulan ini menghantuinya. Entahlah, namun Afkar merasa ada sesuatu dalam diri Viola. Sesuatu yang membuat rasa penasaran dalam dirinya bergejolak.

"Eh, iya!" Suara Ina melebur pengamatan Afkar akan gerak-gerik Viola. "Lo udah dapat berapa tanda tangan?"

"Gue?" tanya Afkar sembari mengarahkan jari telunjuk pada dirinya sendiri.

"Iya." Ina mengangguk.

"Udah lengkap."

"Wow!" Ina melongo sesaat. Ia kembali menormalkan ekspresi wajahnya ketika sadar bahwa ada cowok keren di hadapannya. "Cepet banget?"

Afkar hanya tersenyum nyengir. Menampilkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi.

Anjay! Senyumnya!!! pekik Ina dalam hati. Gadis itu sebisa mungkin menerka sikap noraknya yang terus meronta ingin diekspresikan.

"Mau gue bantu?" Pertanyaan Afkar spontan membuat Ina mengangguk.

"Yuk!" Ina segera mengikuti langkah Afkar yang telah lebih dulu membelai udara di sekitarnya.

Viola yang semula fokus membalas pesan dari mamanya merutuki Ina dalam hati. Sahabatnya yang satu itu memang begitu, sering melupakan sahabatnya sendiri saat berada di dekat cowok ganteng.

"Biasa aja," gumam Viola—meralat pendapat yang bercokol dari otaknya.

Suara bel yang berbunyi nyaring—pertanda jam istirahat telah selesai—bagaikan petir yang menyambar Viola. Ia segera berlari kecil untuk menyusul Ina yang telah cukup jauh beberapa langkah darinya.

"INAAA!!! TUNGGUIN GUE!!!"

Viola melihat Ina yang ternyata masuk ke kelas mereka. Ia pun segera melakukan hal yang sama dan mengambil alat tulis untuk mulai kembali mengumpulkan tanda tangan.

"Lo, tuh! Kebiasaan banget, sih, ninggal-ninggal!"

Gerutuan gadis di sebelahnya membuat Ina spontan menepuk jidat. Lalu, ia menatap Viola sambil menunjukkan cengiran seolah tanpa dosa. "Ya, maaf."

Mengingat waktu hanya tersisa 30 menit, Viola dan Ina segera kembali mengerjakan tugas. Berkat bantuan Afkar, kedua gadis itu telah mendapatkan tanda tangan lengkap dalam waktu kurang dari 20 menit.

"Thank's, ya, Kar!" seru Ina sebelum kembali duduk ke bangku yang semula ia tempati bersama Viola.

"Iya, sama-sama." Afkar menatap secara gamblang gadis yang baru ia ketahui bernama Viola beberapa saat lalu.

Viola yang sadar akan sarat menagih dari tatapan Afkar pun menghunus manik mata pria itu dengan tatapannya.

"Thank's," ucap Viola singkat dan tanpa ekspresi.

Jutek banget! Afkar kembali melangkah santai menuju bangku yang ia tempati. Tidak ada Alfa atau Reza di kelas ini. Afkar beserta kedua sahabatnya terpisah. Reza di gugus 2, sedangkan Alfa di gugus 4.

Tak lama kemudian, tiga kakak pembina yang ditugaskan untuk memegang kendali gugus 3 kembali memasuki kelas.

"Untuk memudahkan kita berkomunikasi, silakan tulis nomor WhatsApp kalian di samping tanda tangan pada lembar absensi," jelas Tika sembari mengarahkan pandangan pada Gea yang baru usai meletakkan lembar absensi.

Hm, kesempatan! Afkar tersenyum penuh arti.