1 Terjaga Tengah Malam

Satu, dua, satu, dua, satu, dua. Pandangan gadis itu terus tertuju pada jam dinding besar yang bertengger manis di dinding kamarnya. Ia mengamati detak jarum jam lamat-lamat sambil menghitungnya. Matanya awas memperhatikan setiap gerak pergantian waktu, dari detik menuju menit, dan menit menuju jam. Sudah lebih dari dua jam ia melakukan hal demikian.

Bukan kebiasaan yang tepat sebenarnya untuk terus terjaga di malam pekat dengan suara lolongan anjing menggelegar, bahkan terdengar hingga jarak lima ratus meter. Belum lagi kicau burung dan suara binatang malam lainnya saling bersahutan satu sama lain. Mereka seolah-olah enggan kembali ke tempat peristirahatan, agaknya mungkin memang ingin menemani gadis tadi untuk melewati malam yang tersisa.

Ia terjaga tengah malam. Mimpi buruk membuatnya tak bisa kembali merehatkan diri melepas penat di tubuh. Gadis itu memilih terus duduk di ranjangnya dengan selimut yang menutup tubuh hanya sebatas dada. Ia tak tahu harus melakukan apa selain menghitung pergantian jarum jam.

"Satu, dua, satu, dua, satu, dua," gumamnya perlahan. "Satu, dua, berjalan, berlari, lalu ... aaakh!" Ia tiba-tiba berteriak keras.

Gadis tersebut menutup kedua telinga dengan telapak tangan dan memejamkan mata. Degup jantungnya bahkan bisa terdengar oleh diri sendiri. Pikirannya terus menerawang membayangkan hal-hal di luar nalar manusia kebanyakan. Ia kalap. Kali ini tak lagi ketakutan, melainkan beringsut turun dari ranjang miliknya dan berlari menuju meja rias.

Dibantingnya semua benda yang ada, ia mencerca apa saja. Terus mengomel tanpa henti yang kebanyakan berupa kalimat tidak jelas, selebihnya kembali berteriak histeris seperti biasa.

"Tidak! Tolong jangan! Jangan ganggu aku! Mati kamu! Mati!"

Ia menjambak rambut sendiri, mengacungkan kuas rias ke arah depan seperti ingin menakuti seseorang di hadapannya supaya tak mendekat dan menyakitinya.

"Cristalline!"

Tiba-tiba terdengar suara lain. Seorang wanita berusia kisaran tiga puluh lima tahun datang sambil berlari tergopoh-gopoh. Ia masih mengenakan pakaian tidur, rambutnya bahkan masih acak-acakan. Bergegas saja wanita itu langsung memeluk sang gadis, menenangkannya dan mengatakan bahwa gadis itu akan baik-baik saja.

Mata si gadis kembali awas. Ia mengintai sekitar dengan liar, memandangi sudut-sudut kamar di balik pelukan wanita tadi. Keduanya kembali berpelukan lebih erat, tetapi tidak. Lebih tepatnya si gadis dipeluk dan ditenangkan oleh si wanita dewasa.

"Apa ia masih di sana?" tanyanya pelan—gadis bernama Cristalline tersebut.

"Tidak, ia sudah pergi. Kamu aman bersamaku," jawab si wanita.

Wanita yang merupakan ibunya akhirnya menuntun Cristalline bangun dan beranjak menuju ranjang. Meski sesekali gadis bertubuh tinggi semampai itu masih menengok kanan dan kiri untuk memastikan sesuatu.

Setelah duduk, Mariana— sang ibu—memberikan segelas air putih yang memang sudah ada di dekat ranjang. Cristalline menerimanya dan meneguk pelan. Gadis berambut pirang tersebut mulai tenang, ia berusaha mengatur napas dan degup jantung agar kembali normal.

Mariana diam saja, membiarkan putri semata wayangnya menenangkan diri terlebih dahulu. Seharusnya ia tidur dengan sang putri, bukan malah membiarkan gadis remaja ini tidur sendiri dan malah terjaga tengah malam lalu melakukan tindakan brutal macam tadi. Mariana mengembuskan napas pelan.

"Kamu baik-baik saja, Cristalline?" tanyanya setelah melihat sang putri mulai bisa menguasai diri.

"Aku baik-baik saja, tapi tadi aku melihatnya. Ia ingin mendekat padaku, ia berusaha meraihku," katanya menjelaskan.

Mariana menghela napas, ini sudah sering kali terjadi. Ia terkejar, ia ingin dibunuh, ia ingin dibawa pergi, ia ingin disakiti, dan segala macam hal lainnya adalah bentuk pengakuan Cristalline kepada ibunya setiap kali terjaga tengah malam. Padahal, Mariana sama sekali tak melihat apa-apa atau siapa-siapa di dalam kamar ini, tentu selain putrinya sendiri. Jika pun ada orang lain, itu pasti pembantu rumah tangga mereka—Madam Friska. Namun, wanita seusia dengannya itu tidur di lantai bawah, lagi pula ia tentu tak memiliki keperluan di lantai atas saat tengah malam begini.

"Itu hanya ilusimu saja, Sayang. Mungkin kamu kurang istirahat sehingga membayangkan hal yang tidak-tidak," jelas Mariana.

"Tidak, Bu! Aku sungguh melihatnya. Ia memakai baju serba putih dan membawa boneka Barbie di tangannya. Ia berambut pirang sama sepertiku, tapi wajahnya tak terlalu jelas terlihat," papar Cristalline berusaha meyakinkan ibunya. Ia sungguh tak berbohong, untuk apa pula berbohong pada ibunya sendiri?

Mariana terdiam, menatap lamat-lamat putrinya, gadis ini memang tidak berbohong. Namun, dirinya enggan mempercayai hal itu. Pasalnya, di dalam rumah ini tak ada anak perempuan lain selain Cristalline.

"Kamu istirahat saja. Ini sudah lewat tengah malam, sebentar lagi hampir pagi."

"Bagaimana jika dia datang lagi dan membawaku pergi?" Cristalline bertanya khawatir, wajahnya kembali pias membayangkan jika hal mengerikan itu benar-benar terjadi padanya.

"Baiklah, aku tidur di sini denganmu malam ini," putus Mariana.

Ia menaiki ranjang dan mulai merebahkan diri, meminta kepada putrinya supaya melakukan hal serupa. Lagi pun, dirinya harus tetap tidur sebab besok segudang pekerjaan melelahkan telah menanti untuk diselesaikan. Pikirannya benar-benar kacau dengan kondisi Cristalline, belum lagi tubuhnya juga butuh istirahat cukup setelah seharian sibuk bekerja di Kantor Pemerintahan.

Cristalline mengikuti instruksi sang ibu, menarik selimut berwarna biru laut miliknya hingga mencapai sebatas dada. Ia menoleh, mendapati ibunya sudah mengatupkan kedua mata dengan sempurna. Tinggal ia yang tak bisa tidur lagi. Kecamuk pikiran buruk terus menghantui setiap malam. Ia cemas, waspada, sungguh merasa takut.

Bagaimana jika gadis remaja yang dilihatnya benar-benar ada? Bagaimana jika gadis itu memang ingin mencelakakan dirinya? Mungkin juga ingin membunuhnya? Bagaimana jika semua itu nyata? Apa yang harus ia lakukan?

Tiga puluh menit kemudian Cristalline masih saja enggan menutup mata. Jarum jam telah menunjukkan pukul 04.21 dan itu artinya tak lama lagi pagi akan segera menyapa. Ibunya telah terlelap di samping. Sementara ia sibuk sendiri dengan berjuta pikiran yang sama sekali tak terjamah oleh manusia kebanyakan. Cristalline memikirkan banyak hal.

"Cristalline," panggil seseorang.

Si gadis bermata biru bangkit dari ranjang, ia duduk dengan tegap dan memperhatikan sekeliling ruangan. Tak ada siapa-siapa di sini, hanya ia dan ibunya.

"Cristalline, ikut aku. Sebentar saja."

Suara yang sama kembali terdengar, bedanya kali ini lebih pelan dan seolah memang sedang membutuhkan bantuan. Cristalline bimbang, apakah harus mengikuti panggilan tersebut atau tetap diam dan berusaha tidur? Namun, bagaimana jika seseorang sungguh tengah membutuhkan pertolongan?

Ah, akhirnya ia memutuskan bangkit dari ranjang. Turun perlahan supaya tidak membangunkan sang ibu. Hati-hati ia berjalan menuju pintu, keluar.

Hening menyelimuti. Fajar belum juga terlihat dari ufuk timur, sedangkan rembulan masih betah menunjukkan diri di atas langit biru tanpa bintang di kejauhan sana. Jika sebelumnya riuh suara binatang malam, maka sekarang suasananya sungguh berubah. Hening tanpa suara apa pun dan Cristalline memilih berjingkat supaya tidak menimbulkan suara.

Pandangannya menyapu sekitar. Memilih harus menuju ke arah mana untuk mencari asal suara tadi.

"Cristalline, aku di sini." Suara itu berasal dari bawah tangga.

Gadis berambut pirang panjang tersebut mengikuti asal suara, berjalan perlahan menuruni anak tangga. Di lantai bawah tidak terlalu terang, hanya menyisakan cahaya remang yang berasal dari lampu hias yang dipajang di dinding. Sementara lampu utama telah dimatikan ketika hendak tidur.

Cristalline tidak melihat siapa-siapa, kakinya masih tertumpu di tengah tangga. Masih setengah perjalanan lagi. Ia merasa seperti ada yang lewat di sampingnya, tetapi saat menoleh ia tak melihat seseorang. Gadis itu kembali melanjutkan langkah.

"Cristalline!"

"Aaa!!" teriaknya dengan tubuh kelimpungan mencari pegangan.

Suara panggilan mengagetkan barusahan membuatnya refleks menoleh dan tak sengaja tergelincir. Gadis itu ambruk dan berguling hingga anak tangga terbawah. Seseorang di atas sana hanya diam memperhatikan, tak berniat menolong.

Ia memegang pelipisnya, merasakan denyut perih menjalari kepala dan ada darah menguncur dari sana. Cristalline merasakan pusing teramat, tubuhnya sakit akibat berhantaman dengan anak tangga yang keras. Ia mendongak, melihat ke atas. Seseorang dengan senyum mengembang tengah memperhatikannya.

Lalu ... semua menjadi gelap.

avataravatar
Next chapter