webnovel

Prolog

PROLOG

Suara bel rumah mengusik tidur siangnya. Oh ayolah, ini baru setengah sembilan pagi dan ada yang ingin masuk ke dalam rumahnya. Kemana lagi pemuda dua puluh tahunan yang biasanya di sebut 'abang' itu. Diri tidak biasa bertatapan langsung dengan seseorang yang datang ke rumahnya. Biasanya abangnya itu yang mengatasi ke orang yang disebutnya 'tamu' itu. Haruskah sekarang dia yang membuka pintu dan mendengarkan apa yang seharusnya abangnya dengar? Ah betapa malasnya dia.

"Ya?" ucapnya saat membuka pintu utama di rumahnya itu, dengan wajah bangun tidur yang terpampang untuk menyambut tamunya.

Terlihat wanita paruh baya dengan tas kertas di genggamannya. Wanita yang diperkirakan usianya mencapai kepala empat, memakai baju yang mewah dan juga perhiasan yang ia pakai secara berlebihan di tangan, jari, leher bahkan sampai ke telinganya. Bukan hanya wanita paruh baya itu saja yang bertamu kali ini, tapi remaja yang membelakanginya. Rambut pendek di tata rapi dengan kemeja kotak-kotak hitam merah yang berdominan merah, dipadukan dengan celana jeans biru dongker dan sepatu putih yang diperkirakan mahal itu terpakai rapi di kakinya yang lumayan panjang.

"Ah, kami pindahan dari Jerman. Mm.. Orang tuamu ada?" tanya wanita paruh baya itu membuat penerima tamu itu mengeryit

Orang tua? Pikirnya lalu ia tersenyum miris

"Mereka keluar kota," jawabnya di selingi senyum kecil

"Oh, kamu anak tunggal?" tanya wanita itu lagi

Banyak tanya.

"Ada abang, tapi dia lagi keluar," akhirnya ia berkata.

Wanita paruh baya itu hanya ber-oh ria dan kepalanya mengangguk-angguk kecil. "ah saya Berlina dan ini anak saya, Refan," ucapnya tersenyum ramah "Refan Tamawijaya."

Setelah menyebutkan nama lengkap itu, lelaki bernama Refan itu berbalik lalu melihat si tuan rumah. Tanpa senyum. Tanpa ekspresi. Dia hanya menatap datar si tuan rumah. Gadis yang di taksir berumur enam belas tahun dengan rambut di ikat asal, muka bantal dan baju tidur kaus kuning polos di sambung dengan celana pendek selutut dan sandal santai rumahan di pakainya.

"Oh iya kami tetangga di sebelah rumah," ucap wanita paruh baya itu sambil menunjukkan rumah sebelah kanan rumah gadis ini

Gadis itu hanya mengangguk tanpa mau menatap lelaki di sebelahnya. Dia tadi hanya menatapnya sekilas dengan tatapan oh iya.

"Ini ada sedikit oleh-oleh dari kami. Semoga senang bertetangga dengan kami," ucap wanita itu tersenyum

"Ah anak saya satu lagi perempuan. Namanya Erica Tamawijaya, dia sedang mengurusi sekolahnya, dia masih duduk di kelas delapan," ucapnya lagi

Gadis itu mengangguk dan bergumam terima kasih saat menerima oleh-oleh dengan bungkusan tas kertas itu.

"Ah, kami permisi kal-"

"Re-" perkataan tersendat itu memotong pembicaraan si wanita itu. Ah itu abangnya. Membawa tentengan belanjaan.

"Ah maaf, saya abangnya Re-" lagi. Perkatannya tersendat saat gadis itu menatapnya tajam. Lalu abangnya itu terkekeh paksa "saya Getra, Getra Abratama," ucapnya menyalami wanita paruh baya itu.

"Berlina Tamawijaya" wanita paruh baya itu menyalimi abang dari gadis itu.

Abangnya beralih menyalami lelaki seumuran gadis yang berdiri di sampingnya.

"Getra."

"Refan."

Sudah.

"Q, kenapa ga disuruh masuk tamunya?"

"Eh, saya mau pamit saja. Masih ada tetangga yang akan kami kunjungi," ucap Berlina

Lalu mereka pamit. Gadis dan lelaki remaja itu tidak sampai melihat tetangga barunya itu menghilang karena mereka langsung masuk dan menutup pintu rumah mereka.

"Bukan klien?" tanya abangnya saat memasuki rumah mereka

Gadis itu menggeleng lalu menatap kantong keresek putih transparan. Gadis itu merebut kantong keresek setelah melihat isinya adalah makanan ringan semua. Gadis itu berlari menaiki tangga, menuju ruangan pribadinya.