webnovel

Tak Biasa

Echa kira, yang suka menghilang itu hanya sinyal, tapi ada sesuatu yang lain. Ini tentang temannya.

Xena, gadis itu telah menghilang entah ke mana, padahal tadi saat jam terakhir guru tengah membagikan buku tugas mereka, dan yang sudah dapat boleh pergi, kebetulan karena Xena tidak punya tugas sebab masih baru, tahu-tahu ia sudah melimpir duluan tanpa permisi, berbasa-basi pun tidak, meninggalkan teman-temannya yang berniat untuk mengajaknya ke kafe, Echa sampai menghela napas panjang berusaha untuk tak terpancing emosi. Bahkan hanya mencebik ketika Sasa bertanya ke mana Xena.

Jangankan Sasa, dia saja tak tahu ke mana gadis itu pergi. Mungkin saja sudah sampai rumahnya meski ia tak tahu di mana letak rumahnya itu.

"Sa," Panggil Echa dengan ekspresi datar ketika baru sadar akan sesuatu.

"Kita tidak tahu di mana Xena tinggal dan—" katanya lagi, namun belum selesai sebab sesuatu tiba-tiba menghentikannya untuk bicara.

"Dan apa?" tanya Sasa mengerjap heran, sejak kapan Echa jadi pendiam begitu. Tapi ada yang aneh, ia melihat ekspresi Echa seperti orang yang tengah melihat hantu saja, gadis itu menelan ludahnya dan langsung berbalik, ada Chandra dan Dino yang sepertinya, entah ia hanya kegeeran saja, menunggu mereka.

"Lihat Xena tidak?" tanyanya langsung ketika sadar kedua gadis yang hendak lewat adalah teman dari orang yang dicarinya.

"Dia sudah pulang duluan," jawab Echa berusaha untuk terlihat santai.

"Pulang? baguslah, ada yang ingin kutanyakan pada kalian," jawab Dino santai, sementara dalam hatinya Echa berharap agar Dino tak bertanya macam-macam soal Xena, alamat rumah nya misalnya.

"Punya nomor Xena kan? bagi dong," kata Dino seperti tengah merayu.

"Begini Din, bukannya kami tidak ingin memberimu nomornya, tapi kami tidak punya," ucap Echa hati-hati berusaha agar Dino tak marah.

"Kalian bercanda ya? Mau lihat kami marah? lagian cuma nomor ponsel saja." Kali ini Chandra yang bicara. Rasanya akan terlalu mengenaskan, bahkan nomor ponselnya saja masa Dino tidak bisa punya.

"Bukan seperti itu, tapi waktu kami tanya Xena bilang dia tidak punya ponsel!" Kali ini bukan Echa yang menjawab melainkan Sasa.

Dino melongo, sementara Chandra tertawa kecil.

Omong kosong jenis apalagi ini.

"Orang macam apa yang tak punya ponsel di zaman sekarang? Kami tak akan berbuat hal yang aneh pada temanmu itu, jadi bisakah kalian memberikan kami nomornya?" Kali ini Ia berusaha untuk memintanya baik-baik lagi. Tapi Echa dan Sasa masih menggeleng lemah.

Mereka beneran tidak punya, bukannya tidak mau memberikan.

Karena takut dua pemuda di depannya marah, Sasa bahkan dengan pasrah menyerahkan ponselnya, agar mereka bisa lihat kalau ia sama sekali tak menyimpannya.

Chandra pun tak segan untuk mengambil ponsel berwarna putih itu, ia mulai menekan kontak, mencari satu persatu nama yang tertera di sana.

Beneran tidak ada namanya

Gerakan tangannya begitu lincah, matanya memandang awas, ia orang yang teliti tapi soal ini sudah di lihat berkali-kali tetap saja tidak menemukan kontak satu pun.

Mengingat gadis itu agak absurd, ia tak bisa menahan kecurigaan nya, sepertinya itu memang benar terjadi dan ucapan teman-temannya benar adanya. Bahwa Xena tak punya ponsel.

"Sepertinya dia benar tidak punya ponsel."

"Aku tahu," ucap Dino.

Setelah mengembalikan ponsel Sasa, keduanya pun akhirnya melangkah pergi, kedua gadis remaja itu baru berani bergerak ketika gema sepatu keduanya telah menjauh.

"Tuh cewek punya masalah apa sih sampai tidak punya ponsel?" gerutu Chandra entah mengapa jadi heran. Kalau soal finansial rasanya itu tak mungkin.

Sebab barang yang dipakai Xena agak bermerk, begini-begini ia juga memerhatikan diam-diam, bukan karena suka tapi lebih ke dasar curiga.

"Aku bosan, ayo main game," ajak Dino pada akhirnya. tidak mau punya masalah terlalu banyak. Terlebih memikirkan Xena ia tak punya waktu untuk itu.

Seakan paham dengan apa yang tengah melanda temannya itu, ia langsung menepuk pundak Dino untuk menenangkannya.

"Main game sampai puas? Ayo pergi." sahutnya.

Dan Xena sendiri, kini sudah sampai di unit apartemennya.

Ia pulang dengan berjalan kaki, tanpa kendaraan. Ia lebih senang seperti itu, bahkan merasa lebih nyaman. Ia memegang telinganya yang tiba-tiba terasa gatal, seperti seolah-olah sedang ada yang membicarakan dirinya di belakang.

Ia kemudian ingat dengan Sasa dan Echa yang menyebut soal pertemanan.

"Teman? Aku? Tidak mungkin," gumamnya seraya memasuki lobi dan langsung naik ketika lift terbuka.

Ia ingin cepat-cepat sampai ke rumah.

Nanti saja memikirkan hal itu, ia sekarang merasa sedikit kurang nyaman, yang awalnya ia pikir karena makanan dan obat-obatan padahal penyebabnya adalah rasa bersalah sebab pulang duluan tanpa bilang apa-apa pada temannya.