1 Prologue

"Teruntuk Irene-ku tersayang,

Pertama yang terpenting, mungkin dirimu telah mendengar beritanya. Peperangan berada dalam kebuntuan. Kami tidaklah melaju, juga tidaklah mundur, menetap pada tempat yang sama selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Sejujurnya, aku sendiri sudah tidak tahu berapa lama telah bertempur. Berada pada parit penuh lumpur, terjaga setiap malam oleh rentetan peluru, dan penuh kegilaan lainnya. Namun tak perlu khawatir sayangku, orang-orang Ascarte sangatlah ramah. Mereka sering memberikanku wine anggur yang enak serta roti keju mereka yang terkenal.

Petinggi berkata perang akan berakhir pada tahun baru, tetapi aku tidaklah yakin mengenai hal tersebut. Sejujurnya diriku telah lelah untuk bertempur. Satu-satunya hal yang terus membuatku dapat bertahan ialah dirimu seorang. Sepertinya, sudah sangat lama semenjak terakhir kali aku menuliskan surat padamu. Kuharap kau tidak marah karenanya.

Seandainya perang ini memanglah berakhir, kuharap diriku bisa segera menemuimu. Ingatkah saat pertama kali kubertemu denganmu di bawah pohon kastanye ? Senyummu sangatlah menawan pada hari itu, tak ternilai harganya dan tak akan hilang dari ingatanku sekalipun peluru meriam meledak dan menerpaku terbang. Kuharap kita bisa sekali lagi menonton film bersama di teater Friedeland.

Semoga Tuhan selalu melindungimu di sana. Selalu ingat bahwa aku akan terus menyertaimu. Jika takdir mengkehendaki, kuharap kita dapat bertemu lagi.

Williem Eldrich

10 Oktobre 1835 "

Menutup surat kusam yang ia pendam selalu bersamanya, gadis tersebut terdiam beberapa saat. Matanya berkaca-kaca saat ingatan lamanya kembali terlintas, akan pria tersebut.

Sementara ia terdiam pada bangku yang penuh debu, orang-orang berwajah muram berjalan melewatinya. Mereka memanggul tas besar penuh dengan barang-barang berharga mereka, berjalan dari sudut kota ke arah barat menjauhi kehancuran pada timur kota. Beberapa kedapatan tengah mengais-ngais reruntuhan untuk mencari sesuatu yang dapat mereka kumpulkan demi menyambung hidup. Rumah-rumah telah rata dengan tanah, melemparkan puing-puingnya jatuh pada jalanan kota yang dahulu indah kini terpenuhi oleh kawah-kawah yang disebabkan oleh meriam.

Yang muda, yang tua, bahkan anak-anak berjalan beriringan bersamaan. Kehidupan yang mereka miliki sebelumnya telah binasa, oleh peperangan yang melanda seluruh tempat di benua. Perang yang merenggut begitu banyak nyawa, baik prajurit... hingga rakyat tak bersalah menjadi korban pada peperangan yang ganas tersebut.

Sekitar 8 juta orang tewas dalam Perang Besar Eurisia. Perang terbesar dan paling brutal pada sejarah dunia tersebut menimbulkan luka dalam bagi setiap orang yang mengalaminya. Tak terkecuali, pria terkasihnya yang tak dapat ia temukan hingga hari ini. Perang Besar Eurisia berakhir pada 27 Decrembre 1835 pada pukul 13.00 tepat. Dua tahun berlalu setelah perang berakhir, setiap negara berusaha membangun kembali kehancuran yang timbul setelah peperangan. Orang-orang yang sebelumnya mengungsi dari kekejaman perang kini kembali ke rumah-rumah mereka yang hancur lebur dan mereka yang kehilangan sanak keluarganya... mencari mereka dari ujung ke ujung, puing ke puing, dan mayat... ke mayat. Mereka terus mencari meski harapan hanya sekecil jarum, namun mereka percaya kepada keajaiban, bahwa orang terkasih mereka masihlah hidup.

Seperti halnya dengan seorang gadis pedesaan dari Friedeland. Ia berjalan dari desa ke desa, dari kota satu ke lainnya, hingga menuju ke setiap negara di benua demi mencari keberadaan kekasihnya yang menghilang setelah peperangan berakhir. Dari lubuk hatinya tersebut, ia ingin bertemu dengan dirinya untuk sekali lagi, agar mereka dapat kembali bersama pada atas bukit kecil tersebut.

<div id="gtx-trans" style="position: absolute; left: 720px; top: 550px;"><div class="gtx-trans-icon"></div></div>

avataravatar
Next chapter