webnovel

Pernikahan

Alunan musik menggema di seluruh gedung, semua orang terlihat sangat bahagia, bahkan sangat kagum pada sepasang pengantin yang saat ini sedang berdansa di tengah-tengah tamu.

Pasangan itu terlihat sangat serasi, hingga mata para tamu tak pernah terlepas dari mereka berdua. Namun tanpa para tamu ketahui, ternyata kedua manusia itu saat ini tengah menahan emosi dan kekesalan dari acara malam ini.

Mereka merasa pernikahan ini terlalu berlebihan, apalagi mengingat kondisi keduanya tak lagi berstatus gadis dan perjaka. Sebab itulah mereka merasa pernikahan ini begitu berlebihan.

"Kapan acara ini selesai, Gis!" seru Devan penuh kekesalan. Tangannya terus mencengkram pinggang Gista, hingga sang empunya merasa kesakitan.

"Gista tidak tahu, Kak," jawabnya hingga ringisan kecil pun terlihat di wajah cantik Gista.

"Pesta ini sangat menyusahkan, seharusnya tidak perlu ada acara seperti ini," omel Devan dan lagi-lagi Devan meluapkan amarahnya dengan cara mencengkeram kuat pinggang Gista.

"Auhh, sakit!" Reflek Gista melepaskan tangan Devan dari pinggangnya. Ingin sekali Gista menangis, tapi ia harus menahan semua agar reputasi sang suami tidak jatuh.

'Sekali lagi kamu melukaiku, Kak. Belum puaskah luka yang kamu berikan lima tahun lalu, sampai aku harus menanggung malu?'

Dengan cepat Gista menghapus air matanya, setelah itu ia menampilkan senyum tulus pada para tamu. Pasalnya, saat Gista mengaduh sakit hingga melepaskan pelukan Devan, semua mata menatap ke arahnya, seperti bertanya ada apa.

"Kamu tidak apa-apa, Nak?" tanya salah satu tamu.

"Tidak apa-apa, kok," balas Gista.

Setelah itu Gista menatap semua tamu dan berkata.  "Emm ... semua baik-baik saja, tadi Kak Devan tidak sengaja menginjak kakiku, jadi aku reflek melepaskan pelukan Kakak," ucap Gista langsung mendapat helaan napas lega dari para tamu.

"Maafkan aku, Sayang. Pasti kakimu sangat sakit, sekali lagi maafkan aku," ucap Devan kembali meraih pinggang Gista sangat posesif.

Gista tersentak kaget mendapat serangan mendadak, belum usai rasa kagetnya ia tak sengaja melihat senyum Smirk Devan hingga membuat Gista menahan nafasnya dalam-dalam.

Hembusan nafas Devan terasa sangat dekat, aroma mint sangat pekat, hingga membuat jantungnya berdetak kencang. Gista takut jika suara debaran jantungnya terdengar oleh suaminya, dan semakin membuatnya terhina akan hal ini.

'Sabar Gista, ini akan berlalu beberapa menit lagi. Sabar, sabar, awas kamu Kak! Tidak aku biarkan kamu tenang, selama menjadi suamiku!' gumam Gista penuh kekesalan.

"Jangan GR kamu, Gis. Buka matamu, sampai mati aku tidak akan pernah menciummu!"

Sontak Gista melebarkan kedua matanya,  ucapan Devan benar-benar menjatuhkan harga dirinya. "Apa kamu bilang tadi, Kak? GR? Cium? Cih, sampai kapanpun aku tidak ada pikiran seperti itu, amit-amit!" serunya tak bisa mengontrol emosinya lagi.

Cukup sudah Gista menjadi anak baik hari ini, semakin didiamkan lelaki yang sudah resmi menjadi suaminya ini semakin ngelunjak.

"Dengar Kak! Aku mau menikah hanya karena Ayyan, dia yang memintaku untuk menikah denganmu! Jadi tolong, jangan besar kepala!" tegas Gista sangat pelan, tapi mampu menusuk hati Devan.

Hancur sudah harga diri Devan mendengar ucapan Gista, tangannya mengepal sangat erat. Dari wajahnya pun juga terlihat jelas, jika saat ini Devan sangat marah.

"Kamu juga jangan lupa, Gista! Perjodohan ini aku terima karena Mama, lihat saja, setelah Risa sadar akan kebodohannya meninggalkanku, maka di hari itu juga kamu akan aku ceraikan!" seru Devan setelah itu mendorong Gista.

Tanpa memperdulikan para tamu, Devan segera meninggalkan Gista sendiri. Devan butuh tempat untuk meredam amarahnya, ia tidak ingin memperlihatkan emosinya di depan orang banyak. Sebab itulah, ia memutuskan untuk pergi sementara waktu.

Sedangkan Gista memiliki memejamkan matanya, perlakuan Devan benar-benar membuatnya sakit hati untuk kesekian kalinya. Selama ini Gista selalu menahan, tapi apakah kali ia harus menahan lagi.

'Menikah denganmu sebuah kehancuran untukku, Kak. Menolak pun juga percuma, ku lakukan semua demi Ayyan. Dia membutuhkan seorang ayah dan Ayyan memilihmu menjadi ayahnya.' gumam Gista sebelum memutuskan untuk berbaur bersama teman-temannya.

***

"Papa!!"

Teriakan dari seorang anak laki-laki membuat Devan langsung membuang batangan rokok yang ada di tangannya, Devan tidak ingin Ayyan melihatnya merokok, apalagi sampai seperti kejadian bulan lalu. Karena kecerobohannya, Ayyan menyeruput bekas rokoknya.

"Hey Sayang, kenapa kamu ada disini? Bukannya tadi kamu ada di dalam, sambil memakan kue?" tanya Devan sambil menggendong bocah enam tahun itu.

"Ayyan mencari Papa! Kenapa Papa ninggalin Mama, pestanya kan belum selesai," jelas Ayyan.

Walaupun Ayyan masih berumur enam tahun, akan tetapi kecerdasannya melebihi anak umur sembilan tahun. Inilah yang akhirnya membuat Gista maupun Devan khawatir, mereka takut Ayyan terkena pergaulan bebas.

"Papa butuh udara, Nak. Disana terlalu banyak orang, hingga membuat Papa sulit nafas. Oh ya, kamu sudah bersiap-siap? soalnya malam ini juga kita pindah ke rumah Papa," ucap Devan mengalihkan pembicaraan.

"Emm ... kata Oma, Ayyan tidak boleh ikut sekarang," lirih Ayyan menundukkan kepala.

Devan mengernyit bingung, kenapa Ayyan tidak boleh ikut dengannya. Padahal semua sudah dibahas satu minggu yang lalu, jika mereka akan tinggal di rumahnya.

"Kenapa tidak boleh?" tanya Devan.

Ayyan tidak segera menjawab dan membuat Devan semakin penasaran, karena tak ingin memaksa anaknya, maka Devan memutuskan untuk memakai cara licik.

"Ayyan sayang tidak sama Papa?" tanya Devan.

Ayyan pun mendongak dan menatap mata Devan. "Ayyan sangat sayang, Papa. Dari Ayyan sekecil ini, Papa yang selalu memberikan perhatian lebih," ucapnya tak lupa memperagakan sekecil apa dirinya pakaian tangan.

"Kalau Ayyan sayang sama Papa, maka harus jujur. Sekarang Papa tanya sekali lagi, kenapa Ayyan tidak boleh ikut ke rumah malam ini?" tanya Devan sekali lagi.

"Sebenarnya Ayyan ingin ikut, Pa. Tapi kata Oma, tidak boleh ikut karena Papa mau buatin adek."

Kaget? Jangan tanya lagi, Devan sangat-sangat terkejut mendengar ucapan Ayyan. Bagaimana bisa, mamanya bilang seperti ini. Padahal sedetikpun tidak ada pikiran untuk menghamili Gista, sungguh ini tidak ada di daftar rencananya.

"Ayyan ingin adek bayi, Pa. Sebab itu, nurut sama Oma," ucapnya lagi membuat Devan semakin pusing.

Devan bingung harus berkata apa saat ini, mana tega ia memberikan harapan palsu pada Ayyan. Apalagi Devan sudah menganggap Ayyan seperti anak kandungnya sendiri, jadi sangat mustahil untuknya berbohong.

"Ayyan, dengarkan Papa. Untuk masalah adek bayi, Papa belum bisa janji Nak, tapi kalau memang Ayyan ingin adik bayi, kan ada anaknya tante Safira," kata Devan membuat harapan anaknya hancur.

Seketika Devan melihat wajah murung anaknya, tidak ada senyuman bahkan terlihat tidak ada semangat sama sekali.

"Kok cemberut sih, Nak? Senyum dong Sayang, Nanti gantengnya hilang," bujuk Devan, namun tak ada hasil sama sekali.

Ayyan tetap diam, tidak ingin bicara sedikitpun. Bocah itu merasa papanya tidak ingin memberikan adik, karena dirinya masih terlalu nakal seperti kata omanya.

"Ayyan nakal ya, Pa?"

"Kok bicara seperti itu sih, Nak. Kamu itu anak yang sangat pintar, tidak pernah nakal, jadi jangan pernah berkata seperti itu ya," balas Devan terus mencubit pipi gembul Ayyan.

"Terus kenapa Ayyan tidak boleh punya adik, kata oma kalau nakal, Papa dan Mama tidak akan memberi Ayyan adik," jelasnya lahir.

Devan mengusap wajahnya sangat kasar, semua lagi-lagi ulah sang mama. Dengan susah payah Devan membujuk anaknya agar percaya jika semua tidak ada hubungannya dengan kenakalan Ayyan, tapi namanya anak kecil, pasti sangat sulit dibujuk.

"Oke, sekarang begini saja. Agar Ayyan percaya sama Papa, apa yang harus Papa lakukan?" tanya Devan menyerah.

Devan tidak ingin Ayyan terus bersedih, maka apapun akan ia lakukan agar anaknya senang. Walaupun Ayyan bukan anak kandungnya, tapi sedari Ayyan lahir, Devan merasa ada ikatan batin dengan Ayyan.

"Papa serius?"

"Sangat serius, Sayang!"

Devan melihat senyum Ayyan mulai terlihat, setelah itu Devan menundukkan kepalanya atas perintah Ayyan. "Ayyan ingin adik, Pa. Ayyan ingin adik, apakah Papa mau kasih adik untuk Ayyan?"

Selamat Membaca ....