webnovel

Flashback

Seusai pesta, Devan tak bisa menolak keinginan kedua orang tuanya untuk membawa pulang Ayyan. Ia kalah telak dengan anaknya, yang terang-terangan menolak ajakannya untuk pulang.

Saat ini Devan sudah ada di rumahnya bersama Gista, setelah ia selesai membersihkan badan barulah istrinya bergantian dengannya.

"Kak, bisa minta tolong sebentar tidak?" tanya Gista di balik pintu kamar mandi.

"Bantu apa, Gis? Apa tidak bisa melakukannya sendiri, Kakak masih membereskan bunga-bunga di atas ranjang," balas Devan terlihat emosinya mulai turun.

"Anu ... aku tidak bisa menurunkan resleting gaun ini, Kak," ucap Gista sangat lirik, tapi Devan masih bisa mendengarnya.

Devan tertegun mendengar ucapan Gista, dengan langkah perlahan ia mendekati istrinya. "Menghadap ke sana," titahnya.

Gista pun menurut begitu saja, sedangkan Devan segera membantu istrinya membuka resleting gaun pengantin yang masih melekat sempurna di tubuh Gista.

perlahan-lahan, Devan melihat punggung putih Gista. Walaupun bibirnya selalu berkata jika dirinya tidak akan tertarik pada istrinya, tapi nyatanya semua hanya dusta.

Devan berpengaruh pada tubuh Gista, sekuat tenaga ia menahan ternyata tidak bisa, hingga Devan memutuskan untuk memalingkan wajahnya.

"Sudah, cepat mandi sana!" seru Devan segera berlalu.

"Iya, Kak."

Gista tak begitu memperdulikan Devan, ia memilih untuk segera masuk ke dalam kamar mandi. Sesampainya di dalam, Gista segera menghidupkan Shower dan mengisi Bathup dengan air hangat.

Sambil menunggu air terisi penuh, Gista memutuskan untuk duduk sejenak. Pikirannya masih campur aduk, apalagi menikah dengan Devan tidak pernah terbesit sedikitpun di otaknya selama ini.

"Ini semua demi kamu, Ayyan. Jika bukan karena rengekanmu, Mama tidak sudi menikah dengan lelaki bajingan itu," gumam Gista berusaha menahan tangis.

Gista pun jadi ingat kejadian sebelum pernikahan, malam itu hujan sangat deras, petir terus menyambar bumi tiba-tiba anaknya datang menghampirinya ke ruang kerja sambil menangis.

Gista sangat panik, baru kali ini ia melihat puteranya menangis histeris. Sungguh sakit sekali hatinya, bak tersayat sembilu. "Kamu kenapa, Nak? Siapa yang membuatmu seperti ini, coba bilang sama Mama," ucapnya sangat khawatir.

"Huaa ... mereka jahat, Ma."

"Siapa Sayang, katakan sama Mama."

Gista mulai khawatir, ia semakin bingung dengan kondisi anaknya. Perasaan saat makan malam kondisi Ayyan masih baik-baik saja, terus kenapa saat ini menjadi histeris.

"Teman-teman, Ma. Dua minggu lagi ada acara sekolah bertema ayah dan anak, Ayyan bilang sama bu guru, jika di ganti dengan Mama apakah boleh? Semua teman-teman langsung mengataiku tidak punya ayah, bahkan ada yang mengatakan kalau aku anak haram, huaaa ...."

Deg!

Jantung Gista berpacu kencang seketika, hatinya sangat sedih mendengar cerita Ayyan. Apakah semenderita ini anaknya di sana, kenapa ia baru tahu. 'Anak haram?'

Gista segera menggeleng-gelengkan kepalanya, ia tidak terima anaknya di juluki anak haram. Cukup dirinya saja yang pernah mendapatkan hinaan, jangan Ayyan.

"Sayang, kamu bukan anak haram. Kamu anaknya Mama, beritahu siapa yang mengatakan ini, biar Mama kasih penjelasan pada orang tuanya," ucap Gista segera mendapatkan gelengan keras dari Ayyan.

"Ayyan tidak ingin Mama bertengkar," lirih bocah itu langsung memeluk mamanya.

Terjatuhlah air matanya saat ini, Gista merasa tidak becus mengurus anaknya. Ia juga berpikir tidak bisa membahagiakan anaknya, padahal ia pikir selama ini Ayyan baik-baik saja di sekolah.

Gista pun berdiri dan segera membawa anaknya ke atas ranjang, mungkin hari ini ia akan tidur satu kamar dengan Ayyan. Setelah mendengar kejadian ini, Gista berpikir akan selalu menggandeng anaknya kemana-mana agar kejadian seperti tadi tidak terulang kembali.

"Ma ...." Panggil Ayyan sangat lirih.

"Iya Sayang, ada apa?"

Gista menatap wajah Ayyan, dia belai lembut pipi gembulnya. Melihat wajah anaknya, sama seperti melihat papa kandung Ayyan. Mereka sangat mirip, tapi banyak orang yang tidak menyadari.

"Ayyan ingin tidur dengan om Devan, tolong telepon om Devan, Ayyan ingin di peluk Om Devan."

Duarr!

Suara guntur di luaran sana sebagai bukti terkejutnya Gista, ia sangat terkejut saat Ayyan menginginkan Devan. Bagaimana bisa, apakah mungkin orang itu mau datang kemari, hanya demi anaknya.

"Sayang, ini sudah larut malam. Lagian di luar juga hujan besar, mana mungkin om Devan mau datang," balas Gista.

"Mama belum mencobanya, siapa tau om Devan mau," kata Ayyan penuh permohonan.

Gista menarik nafas panjang, mungkinkah ia menuruti anaknya? Tapi, saat Gista melirik jam dinding, ini sudah sangat larut malam, bisa di bilang mau dini hari. 'Apakah kakak masih terjaga, jika pun masih apa dia mau datang ke rumah?' gumam Gista.

Karena tidak ingin mengecewakan anaknya, Gista akhirnya mengalah. Ia berusaha menghubungi Devan di luar sana.

"Bagaimana, Ma?" tanya Ayyan berbinar.

"Sabar Ayyan, ini Mama masih mencobanya," balasnya terus mencoba lagi menghubungi Devan.

[Kamu punya sopan santun tidak sih, Gis! Sangat mengganggu waktu istirahat orang dan ini begitu menjengkelkan!]

Gista tersentak kaget saat mendengar bentakkan dari Devan, ia juga sadar pasti Devan akan marah, apalagi ini waktunya orang istirahat.

"Maafkan aku, Kak. Tapi—"

Belum sempat Gista melanjutkan ucapannya, tapi bocah kecil yang ada di sebelahnya ini langsung menarik ponselnya dan menangis sekencang mungkin, mengadu kepada Devan.

Gista hanya bisa pasrah, membiarkan dua laki-laki itu berbicara dari hati ke hati. Gista tidak ingin melarang anaknya, mungkin dengan seperti ini Ayyan akan merasa lega.

Hingga disinilah mereka sekarang, di ruang tamu duduk bersama keluarga dan membicarakan tentang kejadian tadi siang. Devan dengan sigap memeluk, membujuk Ayyan agar anaknya tidak merasa sedih lagi.

"Sudah jangan menangis lagi, Ayyan anak kuat, jadi tidak boleh cengeng. Anggap saja Om adalah papamu, besok kita ke sekolah tunjukkan jika Ayyan punya Papa," ucap Devan untuk menyenangkan bocah itu.

"Apakah boleh?" tanya Ayyan.

"Tentu saja boleh."

Ayyan pun segera memeluk Devan sangat erat, semua orang melihat kedekatan mereka menjadi terharu. Selama enam tahun ini memang hanya Devan yang selalu ada untuk Ayyan, Devan sendiri melakukan itu semua karena merasa kasihan setiap melihat wajah Ayyan.

"Mama boleh bicara sebentar tidak, Nak?"

Devan dan Gista pun segera menoleh ke arah Desi. "Boleh, Ma," balas Gista.

"Iya tante," lirih Devan.

Kedua orang itu dibuat tegang oleh Desi, apalagi nampaknya yang akan dibicarakan sangat serius sekali.

"Sebenarnya jauh sebelum ada masalah ini, Tante dan ibumu sudah membahas masalah kalian, kami ingin menjodohkan kalian berdua. Toh kalian juga bukan saudara sepupu maupun kandung, karena Devan hanya anak angkat ibumu. Jadi, apa tidak sebaiknya perjodohan ini kita bicara?"

Kaget? Jangan ditanya lagi, mereka berdua sangat terkejut mendengar ucapan Desi. Menikah? Itu sangat, sangat mustahil.

"Mama, Gista tidak bisa," tolak Gista langsung.

"Devan juga tidak bisa! Tante tahu sendiri bagaimana kondisi Devan bukan, jadi maaf ini sangat mustahil untuk dilakukan," tolak Devan juga.

Tanpa mereka sadar, ternyata perbincangan itu didengar oleh Ayyan. Awalnya anak itu merasa sangat senang mendengar jalan keluar dari omanya, tapi saat tahu jawaban keduanya Ayyan mendadak sedih.

"Jadi Mama tidak ingin Ayyan punya Papa? Mama jahat, om Devan juga, kalian suka jika Ayyan di hina!"

Tangisan kencang dari Ayyan pun langsung terdengar di seluruh rumah, hati bocah itu sangat sakit, walaupun umurnya masih lima tahun, mau ke enam tapi ia juga peka dengan perbincangan keluarganya.

Ayyan merasa jadi anak yang tak diinginkan, hingga membuat semua semakin sakit di dalam hatinya.

"Sayang, bukan seperti itu—"

"Mama bohong, mama jahat sama Ayyan. Pokoknya Ayyan hanya ingin Papa Devan, bukan yang lain, kalau Mama dan Papa Devan tidak ingin mengabulkannya, lebih baik Ayyan pergi!"

Dan dari saat itulah Gista menerima permintaan ibunya, sedangkan Devan juga di paksa Ibunya untuk menerima Gista sebagai istrinya dengan ancaman, Devan tidak akan boleh menganggapnya sebagai orang tuanya lagi.

Selamat Membaca ....