1 Bagian Satu

Perlahan kelopak matanya terbuka lebar, memandang sekeliling samar-samar. Tertidur di atas brankar, ruangan yang bercampur dengan semerbak bau obat-obatan dan terlihat begitu tenang.

"Ini gue ada di mana, kok gini banget?!"

Dia mulai membangunkan tubuhnya yang sempat terbaring di atas brankar. Sesekali tangannya dia gerakkan untuk menggaruk kepala dan mengusap-usap keningnya.

"Udah bangun ya, ini lagi di UKS." sahut salah satu petugas kesehatan di ruangan bercampur semerbak obat-obatan itu.

"Ya ampun Raniaaa... gue kira lo tuh mati suri gara-gara tembok!" cetus salah satu perempuan berambut panjang sebahu yang juga menemaninya di UKS.

"Kok gara-gara tembok sih, dia kan nggak ada salah dan dosa!"

Tanpa dipersilahkan untuk keluar, akhirnya petugas kesehatan tersebut keluar dan membiarkan kedua manusia hidup itu bercakap-cakap di ruangan. Mungkin agar terlihat lebih leluasa saja, atau karena dia mempunyai tugas yang lain dari itu.

"Lagian elo juga sih, tembok dicium!"

Perempuan itu mengerucutkan bibirnya ke depan, membayangkan kejadian beberapa menit yang lalu. "Lagian suruh siapa tuh, tembok pindah tempat pas gue lagi lari?"

"Udah deh Ran, lo jujur sama gue sebenernya kenapa lo bisa ciuman sama tuh tembok?" ujar Nadia sembari ikut duduk di atas brankarnya.

"Gue tuh lagi buru-buru tahu! Soalnya gue udah keburu laper, udah di ujung tanduk." ucapnya seraya memegangi perut dengan wajah nya yang tertekuk.

Nadia yang mendengar alasan terkonyol dari temannya itu langsung menepuk dahi nya.

"Ya ampun, demi makan di kantin?"

Dia mencoba mengulang sedangkan Rania hanya mengangguk. "Gara-gara laper sampe cium tembok dan akhirnya lo tepar di sini? Oh my god,"

"Darurat tahu!"

"Gara-gara itu juga lo ninggalin gue pas beresin buku?"

Lagi-lagi bibirnya mengerucut ke depan, memandang wajah sahabatnya seperti merasa bersalah.

"Makan banyak tapi badan nggak gede-gede, dimasukin racun apaan sih lo?!"

Rania memang suka makan, tetapi postur badan nya kecil namun tetap terlihat cantik dan menggemaskan. Tidak terlalu gendut dan tidak terlalu pendek, itulah sosok Rania yang apa adanya.

"Aduh! Udah deh, nggak usah banyak ngomel. Lebih baik kita ke kantin sekarang!" Dia mulai turun dari atas brankar, membereskan rambut dan seragamnya yang lumayan berantakan.

Nadia menghembuskan napas berat. "Serius? Abis tepar lo masih mau ke kantin?" Dia juga mulai berdiri di samping Rania.

"Emang kenapa? Kan gue belum sempet makan, Nad."

"Lo lihat jam deh, Ran." katanya sembari menunjuk ke arah jarum jam. "Ini itu udah mau jam pulang, kita ketinggalan mata pelajaran terakhir."

Rania meringis tragis, seperti seseorang yang kehilangan harapan. Mungkin itu yang di alami Rania karena kehilangan kesempatan makan di kantin sejak jam istirahat.

"Maka nya gue kira lo tuh mati suri gara-gara tembok!" ujar Nadia lagi.

Rania menggigit bibir tipisnya, memandangi arah jarum jam dengan serius. "Terus gimana dong, Nad?" Dia memandang Nadia. "Gue laper banget...banget, nggak bisa di tahan lagi."

"Maka nya kalau pagi itu sarapan, Ran. Kalau lo nggak sarapan terus setiap hari, yang ada gue beneran jadi jamur kering nungguin lo di sini."

"Eh, gue nggak setiap hari ya, kejedot tembok sampe pingsan!" protesnya.

"Tapi lo kayak cacing kepanasan kalau lagi laper, kan gue capek!"

Rania hanya terdiam. Tangannya dia kepalkan di ujung rok nya, wajahnya mulai menunduk.

"Besok-besok gue bawain lo sarapan deh, supaya lo nggak kayak gitu lagi." ucap Nadia dengan pelan.

"Gue itu ngerepotin, nggak seharusnya lo berteman sama gue, Nad." tukas Rania.

Dia mulai memandang wajah teman yang berada di hadapannya, kemudian tersenyum. "Tapi, makasih ya, udah mau bawain makanan buat gue besok." ujarnya sambil merangkul Nadia dan diiringi dengan senyuman yang manis tiada tara.

"Jidat gue nggak apa-apa kan, Nad?" Dia mengusap-usap dahi nya sembari berkaca dengan kamera ponselnya. "Masih utuh ternyata," ucapnya dengan lega.

Sesekali dia mencium pipi Nadia dengan gemas, bahkan terkadang dia memeluk tanpa di peluk balik oleh Nadia. "Akhirnya muka cantik gue nggak luntur, hehe." katanya.

"Ngomong-ngomong lo tahu nggak siapa yang udah bawa lo ke sini?" tanya Nadia.

Rania hanya menggeleng, karena memang dia tidak tahu.

"Aslan!!!" teriak Nadia sambil meloncat-loncatkan diri dengan senang.

Rania melongo bagaikan tak percaya. Apa yang dikatakan Nadia? Dia tidak mengerti. "Aslan, Ran, Aslan!!!" Dia terus berteriak dengan senang, bahkan tangannya sambil memegang erat tangan Rania seakan ingin meloncat bersama.

Rania berusaha membuat temannya itu berhenti meloncat-loncat tak jelas dengan sekuat tenaga. Hingga pada akhirnya, Nadia pun berhenti dan memandang Rania dengan sorotan matanya yang berbinar bahagia.

"Aduhh... gue nggak ngerti Nad, sumpah!" gerutunya. Dia kembali duduk di atas brankar, begitupun dengan Nadia.

"Aslan itu siapa? Anak mana? Ganteng nggak?" Pertanyaan Rania justru langsung ingin Nadia jawab dengan cepat.

"Euhh... jangan di tanya lagi Ran, dia ganteng apa nggak. Dia itu ganteng banget, asli nggak bohong!" katanya sambil mengangkat kedua jari nya untuk meyakinkan Rania.

Rania tidak bisa berbuat apa-apa. Mulutnya membuka lebar, matanya pun sama, dia tak sadar akan hal itu. "Serius?" Mata nya berbinar bagaikan tengah membayangkan sosok Aslan yang di maksud.

Nadia hanya mengangguk cepat sambil tersenyum lebar dan begitu manis seperti Rania yang manisnya tak kalah dengan Nadia.

Tetapi, wajah Nadia mendadak berubah menjadi lesu, tertekuk, bahkan sangat tidak enak di pandang. "Tapi, Aslan itu cowok aneh, angkuh, dingin, dan dia itu jarang banget ngomong."

Rania terdiam mendengarkan penjelasan dari Nadia. "Kayak nya dia itu bisu deh, Ran." lanjut Nadia.

"Nggak mungkin, Nad." Rania berusaha membenarkan. "Bisa aja dia ngelakuin itu supaya nggak ada yang deketin dia." ucapnya dengan sangat penuh keyakinan.

"Lo pernah lihat dia nggak sih, Ran?"

Rania menggeleng cepat, "Nggak pernah. Denger namanya aja baru kali ini dari lo,"

"Iya lah, nggak pernah lihat, orang lo lebih suka ke kantin. Terus abis ke kantin langsung balik ke kelas, itu kerjaan lo setiap hari." cetus Nadia.

"Dia kelas apa?" tanya Rania langsung.

"Sebelas Fisika satu, duduk di depan."

Rania menganggukkan kepala sembari senyum-senyum tak jelas, itu membuat Nadia berpikir bahwa akan ada sesuatu yang dia lakukan di luar pikirannya.

"Gue mau ke sana buat pastiin tuh cowok, lo mau ikut nggak?" Rania mulai beranjak dari atas brankar.

"Nggak ah, gue malu kalau nanti Aslan nggak respon. Banyak yang jadi korban semburan maut nya si Aslan."

Rania tertawa. "Semburan maut?" katanya mengulang sambil tertawa. "Gue yakin orang yang bilang gitu nggak pernah mandi, maka nya di sembur sama Aslan."

"Udah ah, gue mau ke sana. Lagian sepuluh menit lagi bel pulang, jadi dia pasti bakal keluar dari kandang." lanjut Rania.

Tanpa basa-basi lagi dia pergi meninggalkan Nadia di UKS tanpa mendengar jawaban Nadia atau hanya sekedar basa-basinya Nadia.

<><><>

Rania berjalan pelan saat sudah berada di depan kelas 11 Fisika 1, berusaha melihat orang yang katanya menggendongnya ketika pingsan. Kaki nya dia jinjitkan agar dapat melihat melalui jendela, namun yang dia lihat hanya punggung dari siswa yang duduk di depan. Baiklah, dia akan menunggu beberapa menit sampai terdengar bel pulang bergema.

Dan saatnya sudah tiba, dia berusaha tetap tenang melihat banyak orang yang berhamburan keluar kelas satu persatu. Kelas Fisika 1 pun sudah mulai berhamburan keluar, terutama saat guru yang mengajar keluar lebih utama dibanding penghuni aslinya.

Dia memandang tajam setiap orang yang keluar dari kelas tersebut, seorang laki-laki yang akan dia berhentikan ketika berjalan. Lihat baik-baik Rania, cari yang paling ganteng, bahkan batinnya tak pernah berhenti tuk bergumam agar cepat bertemu dengan Aslan.

Wajahnya tersenyum lebar saat melihat seorang laki-laki menggunakan jaket army, tanpa basa-basi lagi akhirnya dia langsung menyeret laki-laki itu ke arahnya. Nah, ini kan ganteng, pasti ini Aslan. Batinnya sudah yakin kalau yang berhasil dia seret adalah Aslan. Laki-laki itu mengernyit heran, bahkan berpikiran yang tidak-tidak dengan Rania.

Rania tersenyum lebar saat sudah mendapati laki-laki itu, dia pun juga tersenyum padanya untuk membalas. Kok dia senyum? Kan kata Nadia dia itu jarang senyum, apalagi ngomong? Wajahnya kembali memandang laki-laki tersebut.

"Kenapa lo narik gue ke sini?" tanya laki-laki itu dengan pertanyaan yang membuatnya bingung.

"Kok kamu bisa ngomong?" tanya Rania dengan polos. Jelas saja dia berbicara demikian, karena menurut informasi dari Nadia dia itu jarang sekali mengucapkan sesuatu.

Laki-laki itu tertawa, memandang Rania dengan aneh seperti melihat anak kecil yang sedang bertanya.

"Ya iya lah, gue kan manusia normal jadi bisa ngomong." jawabnya.

"Tapi kata temen aku kamu itu nggak bisa ngomong?"

"Siapa yang bilang?"

Rania menepuk bibirnya dua kali, "Maksudnya jarang ngomong," ucapnya membenarkan.

Laki-laki itu semakin tidak mengerti dengan apa yang Rania bicarakan.

"Kamu yang namanya As—" Belum sempat melanjutkan berbicara, laki-laki itu memanggil seseorang yang baru saja melewati mereka.

"Aslan, nanti malam gue balikin buku lo!" teriaknya dengan memanggil nama Aslan. Mata Rania langsung memelotot ke arah laki-laki tersebut. Kemudian menoleh ke arah belakang, yang sudah berdiri laki-laki tampan dengan memakai sweter berwarna merah.

Astaga! Itu yang namanya Aslan? Ganteng nya kalah sama yang ada di hadapan gue sekarang, bisik batinnya sambil memandangi laki-laki ber-sweter merah. Laki-laki tersebut hanya mengangguk dan kembali melangkahkan kakinya menjauh dari tempat itu.

"Eh! Sori ya, ternyata salah orang." ucapnya pada laki-laki yang masih berdiri di hadapannya.

Dia segera melarikan diri dari tempat tersebut, menjauh dari laki-laki yang dia seret dengan sengaja, yang ternyata salah sasaran.

<><><>

Dia berlari agar dapat menyamai langkahnya dengan Aslan, tidak peduli seberapa banyak orang-orang yang berkeliaran di sekelilingnya.

"Aslan," teriaknya dengan keras.

"Berhenti dong!!!"

"Astaga, kalau nggak ganteng gue timpuk pake rante lho!"

Dia berusaha agar Aslan menghentikan langkahnya. Namun, rasanya percuma saja karena Aslan semakin mempercepat langkahnya.

"ASLAN BERHENTI SEKARANG!!!"

Pernyataan itu membuat banyak orang disekelilingnya memperhatikan Rania dan pada saat itu juga Aslan menghentikan langkahnya. Ini kesempatan emas, Rania harus berdiri di hadapan Aslan dengan cepat.

"Hffft," Dia mengatur napasnya agar lebih tenang ketika berbicara dengan Aslan. Dia sama sekali tidak peduli seberapa banyak orang-orang memperhatikannya atau akan mendengarkan percakapan mereka.

Aslan menatapnya datar, dia hanya terdiam saat Rania yang setengah mati mengejar dan berteriak bagaikan orang gila sepanjang koridor sekolah.

Rania tersenyum ketika mendapati hatinya yang sudah tenang.

"Kok kamu nggak berhenti-berhenti sih, tadi. Kan aku capek manggilnya," tukas Rania sembari memegangi perutnya yang lumayan sakit.

Aslan hanya diam memandang datar ke arahnya. Kemudian dia kembali melangkahkan kaki, namun berhasil Rania cegah dengan menahan tangannya.

"Kamu tahu nggak sih, aku rela nunggu bel pulang di sudut kelas kamu demi ketemu sama kamu!" ujarnya.

Aslan melepaskan genggaman Rania yang melingkar di tangannya. "Iya deh, aku minta maaf."

"Jangan pergi dong, Aslan. Aku mau ngomong sama kamu."

"Makasih ya, udah bawa aku ke UKS waktu aku pingsan."

Rania berusaha keras untuk berbicara dengan Aslan, namun tidak ada jawaban yang meluncur dari mulutnya. Aslan memang berbeda dengan yang lainnya, dia benar-benar diam seperti patung yang Rania lihat karena suka.

"Oh iya, perkenalkan nama aku Rania Asmara. Aku penghuni kelas sebelas kimia dua, duduk di depan juga kayak kamu."

Rania menyodorkan tangannya agar perkenalan dengan Aslan terlihat sah. Namun, Aslan tidak meresponnya sama sekali, dia tidak menerima tangannya untuk berjabat tangan.

Rania menurunkan tangannya, berusaha sabar dengan apa yang sedang dia alami sekarang. Lagi-lagi Aslan kembali melangkahkan kakinya, Rania pun tidak segan untuk kembali menahannya.

"Kamu nggak boleh pergi sebelum kamu jawab pertanyaan aku!" cetus Rania sembari menatap laki-laki tersebut.

Aslan sama sekali tidak pernah menatap matanya. Ketika Rania berbicara pun, dia hanya terdiam dan tidak mengerti kenapa perempuan yang satu ini bersikap seperti itu.

"Ayo dong, jawab pertanyaan aku Aslan!"

"Jangan diam terus, nanti bisu beneran lho,"

"Kalau bisu nanti nggak ada yang suka lagi sama kamu,"

"Eh, tapi aku tetap suka kok sama kamu."

Perempuan itu berbicara tanpa henti membuat Aslan mendengus kesal, seperti ingin merobek mulutnya. Bahkan dia mengguncangkan lengannya untuk memaksanya menjawab setiap pertanyaannya.

"STOP!!!" teriak Aslan sambil menepis tangan Rania karena mengguncang-guncangkan tangannya sebagai permintaan memohon.

Hal itu membuat Rania terkejut, deg-degan setengah mati karena suara Aslan yang cukup keras. Tangannya terasa gemetar entah karena apa, Aslan telah membuatnya terdiam mematung hanya kedipan mata dan wajahnya saja yang terus memandangi sosok laki-laki tersebut.

"Aslan kok teriak-teriak gitu sih, nggak baik tahu!" suara Rania dengan pelan dan hati-hati.

Aslan mendengus kesal, matanya menatap tajam. "Justru lo yang nggak baik udah tahan orang sembarangan!"

Dia tersenyum semringah karena Aslan akhirnya membuka mulut. Suaranya aja bagus, apalagi orangnya. Ini sih namanya seratus persen ori! Matanya menatap Aslan dengan manis, hal tersebut membuat Aslan yakin kalau perempuan yang ada di hadapan nya itu gila.

Aslan mengacak-acak rambutnya kesal, geram melihat sikap perempuan tak di undang tersebut. "Kalau lo nggak minggir, hidup lo tamat hari ini." ujarnya dengan wajah datar yang diiringi dengan kekesalan.

"Serem amat ancaman Aslan.." gumam Rania pelan. "Eh tapi nggak apa-apa, kan Aslan baik udah nolongin Nia waktu pingsan."

"SATU!!!"

"Kalau lo masih pengin hidup, mendingan minggir!"

Bahkan, ancaman yang Aslan berikan tidak mampu menghilangkan rasa penasarannya terhadap sosok laki-laki yang katanya penyelamat itu. Ini yang namanya kena semburan maut? Alisnya bertautan memandang Aslan yang masih dengan kokoh akan ancamannya.

Dia menggeleng cepat, menutup bibirnya rapat-rapat. "Nggak. Rania nggak akan minggir, masa kesempatan emas di sia-siain gitu aja."

"DUA!!!"

Hingga Aslan mengatakan untuk yang kedua kalinya pun, Rania masih dengan kokoh berdiri untuk menahan Aslan pergi.

Kalau semburan mautnya cuma gini doang sih, gue bisa lewatin! Batin nya tak pernah berhenti memuji laki-laki itu.

Nggak nyangka nih, seorang Rania Asmara di gendong sama Aslan yang perfect!

Hilang sudah mood seorang Aslan Baskara Putra hari ini, terganggu dengan kedatangan makhluk yang entah dari mana. Dia benci di kejar-kejar, terutama si pemburu nya adalah perempuan.

"LO GILA!!!" Dan saat itu juga Aslan menepis tubuh mungil Rania ke pinggir agar dia dapat berjalan dengan tenang.

Mulutnya membuka, bahkan tidak terlintas di pikiran Rania kalau dia akan diperlakukan seperti itu oleh Aslan.

"Aslan kok kasar banget sih sama Rania!" Dia membalikkan tubuhnya untuk melihat punggung laki-laki itu yang masih terlihat oleh kedua matanya.

"Slan,"

"ASLAN!!!"

"Aku harus ketemu sama kamu setiap hari, supaya aku bisa terus berterima kasih sama kamu!"

Bahkan, teriakannya yang mampu menembus tembok pun Aslan tidak akan mendengarkan setiap coletehan-coletehan nya. Ini memang sangat menyebalkan, tetapi sangat membuat Rania tertantang untuk mendekati Aslan Baskara Putra.

"Kok gue seneng banget ya, bisa ketemu sama yang namanya Aslan?"

Dia menepuk bibirnya beberapa kali. "Ehh! Mulai sekarang nggak boleh pake lo-gue, harus aku kamu supaya romantis." ucapnya sambil tersenyum.

"Aslan..., semoga kita ketemu lagi besok."

"Syukur-syukur kamu bisa timpuk aku lagi kayak tadi," Senyumnya tak pernah lepas di wajahnya. "Nggak bakal aku cuci tiga hari." katanya sambil mengusap-usap bahunya.

avataravatar
Next chapter