3 3. Dari Punggungmu

"Ini sudah 3 toko buku sekitaran sini, dan buku itu tak ada satu pun disana." Aku menghela nafas.. langit sudah hampir gelap. Sudah seharusnya aku pulang. Tapi, entah kenapa aku tak ingin segera pulang.

"Sayang sekali, boleh aku tahu buku apa yang kau cari?" Michael terlihat sama kecewanya. Yang aku takutkan dia sebenarnya harus bekerja tapi aku malah merepotkannya dengan pencarianku ini.

"Ini." Aku memberikan selembar kertas kecil bertuliskan judul buku serta penulisnya, dari buku yang aku cari pada Michael, wajahnya yang serius langsung berubah sumringah.

"Kurasa aku tahu kemana kita harus mencarinya."

***

Aku terdiam di depan sebuah toko yang terlihat usang dan hampir tak terurus. Aku yakin toko ini sudah sangat tua dan sebentar lagi akan gulung tikar. Di atas pintu toko ada sebuah list plang usang bertuliskan "Book store." agak meragukan untuk dikatakan sebagai toko buku. Dari luar tak terlihat keadaan di dalamnya karena kaca toko yang sudah buram dan berdebu.

"Ayo!" Michael menarik tanganku, memasuki toko yang pintunya berbunyi gemrincing ketika terbuka.

Di dalamnya, ada 5 rak buku tinggi yang tersusun banyak sekali buku-buku lama. Ada yang masih tersegel dan lebih banyak yang telah terbuka, tak sedikit yang sudah tak bersampul bahkan kotor dan berdebu.

Seorang kakek duduk di belakang meja kasir, ia melihat kami lalu tersenyum dengan ramah.

"Apa yang kalian cari?" Suaranya sudah bergetar namun lantang terdengar.

"Paman Nico, ini aku mika!" Michael mendekat pada kakek yang ia sebut paman Nico tadi.

"Wah!! Michael! Lama tak bertemu, kau sekarang tinggal dimana?" Wajah paman Nico terlihat begitu senang, seakan bertemu dengan kawan lama.

"Aku tinggal tak jauh dari sini, maaf karena jarang mengunjungimu. Aku ingin mencari sebuah buku lama, kurasa itu terbitan tahun 1996." Michael menggaruk dagunya mencoba mengingat-ingat.

Aku takjub, bukankah yang aku tunjukan hanya judul dan pengarangnya saja, Darimana ia tahu tahun terbitan dari buku itu?!

Michael menyerahkan selembar kertas yang aku berikan padanya tadi pada paman Nico. Sang paman langsung beranjak dari tempatnya menuju rak buku paling ujung. "Kurasa aku punya satu di sini.. tunggu sebentar, aku harus mencarinya dengan pelan. Kau tahu penglihatan kakek tua sepertiku sudah tak bisa diandalkan lagi."

Mendengar hal itu, Michael tertawa. Aku menepuk pelan lengannya agar berhenti. Ia melirik padaku lalu tersenyum.

"Ini dia! Masih tersegel." Seru paman Nico dari sudut ruangan yang tak terlihat dari tempat kami berdiri sekarang. Langkah paman Nico cepat, mendekat ke arah kami sambil menunjukan sebuah buku. "Apakah nona ini yang mencari buku spesialku?" paman Nico tersenyum padaku.

Aaaah! Syukurlah! Itu buku yang aku cari! Aku balas tersenyum manis pada paman Nico, menyerahkan dengan suka rela uangku untuk buku 'spesialnya'.

.

.

.

Buku itu sudah ada di dalam paper bag yang aku peluk saat ini. Rasa-rasanya baru kali ini aku merasa begitu bahagia dapat membeli sebuah barang.

"Jadi mau kemana lagi kita?" Michael menyela renunganku, aku menoleh padanya yang sudah duduk diatas motor capung berwarna merah metalik itu.

"Apakah kau tidak bekerja?"

"Tidak, hari ini hari liburku. Lagi pula jam kerjaku selalu di malam hari." Michael sudah menyalakan mesin motor.

Aku tak perlu bantuan lagi untuk naik keatas motor, sudah cukup terbiasa bagiku, setelah naik turun beberapa kali sepanjang sore ini.

"Aku harus pulang." Saat mengatakan itu aku tak memeluknya seperti pertama kali aku berboncengan. Aku hanya memegang erat bagian belakang pakaiannya.

Namun tak aku sangka, ia kembali menarik tanganku hingga aku membentur pelan punggungnya. "Aku akan menambah kecepatan Lo, kau hanya perlu beri tahu alamat rumahmu."

Kembali ... Jantungku kembali tak bisa diam. Dengan pelan aku menyebutkan sebuah alamat. Ia mengangguk kemudian melaju.

Semburat jingga sudah hampir hilang, langit juga sudah nampak biru tua, lampu-lampu kendaraan dan lampu-lampu jalanan sudah menyala. Angin kencang yang memainkan rambutku bersamaan bergemuruh dengan deru mesin motor di telingaku serta pendar-pendar cahaya yang melewati pandanganku dengan cepat.. dan rasa hangat yang ditularkan dari punggung yang aku peluk saat ini. Begitu menenangkan.

Sensasi yang baru pertama kali aku kenali, begitu asing tapi aku menyukainya, aroma parfum yang Michael pakai bisa aku ingat dengan jelas sejak tadi. Begitu nyaman di hidungku, begitu familiar. Jika saja jantungku lebih tenang, aku mungkin akan tertidur sepanjang perjalanan ini.

"Hei.. bagaimana kau tahu buku yang aku cari diterbitkan sekitar tahun 1996?" Aku ragu dia bisa mendengar suaraku dengan kecepatan ini.

3 menit aku menunggu jawaban darinya, akhirnya ia bersuara, "Kau pasti tak akan percaya bahwa orang sepertiku ini suka membaca kan?" Kekehan Michael terdengar aneh. Ia sedang merendahkan diri sendiri.

Suaranya yang samar terbawa angin, entah kenapa begitu merdu di telingaku. Entah bagaimana, mungkin aku akan bisa membedakan suaranya meski dalam keramaian.

"Yah.." aku tak tahu harus menjawab apa. tapi memang agak meragukan, seorang pemuda gondrong yang terlihat seperti anak nakal ini, suka membaca.

"Benarkan?!" Dia tertawa, "aku sendiri bahkan tak percaya bahwa ternyata aku suka membaca."

"Bagaimana mungkin?" Aku tertawa mendengar jawabannya, konyol sekali. Lalu saat Angin terasa lebih dingin sekarang.. aku menyadarinya dari tanganku yang memeluknya. Dia hanya memakai selapis kaos, jaketnya ada padaku. Apakah dia tidak kedinginan?

"Aku suka membaca, karena aku bekerja di toko paman Nico saat itu. Dari pada bosan menunggu pembeli jadi aku membaca." Jelasnya masih fokus dengan jalanan.

"Begitu ternyata.."

"Paman Nico Sebenarnya kaya raya, dia tak harus menunggu toko buku lamanya. Hanya saja hobinya pada buku membuatnya ingin menghabiskan masa tuanya dengan hal yang ia cintai. Kalau kau percaya padaku, semua buku yang ia jual adalah koleksinya sejak ia masih muda."

Terdengar sangat romantis .. pria tua yang mencintai buku.

"Aku percaya." tak ada alasan bagiku meragukan ucapakan Michael bukan?

Setelah jawabanku. Kami kembali terdiam.. hanya menikmati sisa perjalanan dengan mendengarkan deru mesin motornya dan gemuruh angin di telingaku. Momentum yang mungkin tak akan pernah aku rasakan lagi.

Kami sudah memasuki jalanan lingkungan tempatku tinggal. Kecepatan motornya berkurang, aku menunjuk sebuah rumah ketiga dari jejeran rumah lain yang menempel satu sama lain. komplek perumahan disini cukup sepi, karena beberapa rumah di samping rumahku masih kosong.

"Baiklah.. hati-hati saat turun." Michael sedikit meledekku saat aku turun dari motornya.

aku sudah berada di jalan setapak menuju pintu rumahku, memandangi Michael yang masih berada di atas motornya. "Terimakasih banyak Michael. Jika tanpa dirimu, apalah jadinya aku hari ini."

"Santai saja, lain kali kau harus berhati-hati. Dah Maria!" ia melambai padaku sambil terus tersenyum. Senyum yang menggetarkan hatiku.

Itu dia.. saatnya berpisah dan tak akan bertemu lagi.

Aku pikir begitu.

***

avataravatar
Next chapter