webnovel

Unknown Woman

Monica Lawrence, seorang penulis muda, tiba-tiba mendapat kabar jika sang ibu meninggalkan warisan kepadanya, setelah dinyatakan hilang sejak bulan lalu. Ibunya meninggalkan sebuah rumah besar dan kuno, disebuah kota kecil bernama Foghill. Setelah memutuskan pindah kerumah peninggalan ibunya, keanehan mulai terjadi. Saat malam hari, rumah itu terasa hidup. Di rumah tua itu, Monica melihat sesosok wanita dengan gaun pengantin dengan warna hitam pekat, menatap penuh kebencian. Ditambah lagi, warga Foghill tidak ada yang mau berurusan dengan itu, mereka bilang rumah itu dikutuk, dan seseorang yang tinggal disitu akan terkena kutukan. Siapakah sebenarnya sosok wanita itu? Dan apa alasan ibu Monica menghilang secara tiba-tiba?

babygummy · Horror
Not enough ratings
7 Chs

Stasiun Foghill

Kota kecil bernama Foghill, kota ini berada dibalik sebuah gunung, dan luasnya hampir seperti sebuah desa. Saat aku dan Samuel tiba ketika petang, mobil Samuel sudah berada di depan stasiun.

Pria itu menawarkan tumpangan kepadaku, sebenernya aku ingin menolak. Tapi, memutuskan untuk setuju setelah Samuel berkata ibunya ingin bertemu denganku. Mobil itu menempuh jarak tak sampai tiga kilometer, tepat berhenti di depan kediaman Anderson.

Mempersilahkanku itu masuk terlebih dahulu, dan berkata untuk mendiamkan barang bawaan di dalan mobil. Wajahku seketika sumringah saat menemukan sebuah perapian yang cukup besar diruang tamu, ditambah dua buah sofa yang terlihat cukup mahal.

Seketika pandangannya beralih ketika mendengar suara langkah kaki mendekat, tidak selang berapa lama, muncullah seorang wanita yang terlihat masih sangat cantik. Kira-kira usianya lima puluhan akhir, dan dia terlihat seperti Samuel--dengan versi wanitanya.

Lily Anderson--ibu dari Samuel, segera memeluk sang putra satu-satunya, sebelum pandangan kami bertemu. Wanita itu tersenyum singkat, menggenggam kedua tanganku.

"Kau terlihat seperti ibumu, Monica."

"Maaf, apakah Nyonya mengetahui Saya?"

"Tidak perlu berbicara formal padaku, panggil saja Aku dengan Bibi Lily," wanita itu tersenyum kembali, membuat sepasang mata birunya sedikit menghilang, "Tentu saja, Aku bersahabat dengan ibumu sudah sangat lama."

Kemudian Bibi Lily menawarkan untuk ikut makan malam bersama mereka, tentu saja aku tidak akan menolak makanan gratis. Makanan yang tersaji membuat menelan air liur--daging sirloin sapi, sup jagung, keju panggang, dan kue pie apel dengan krim diatasnya.

Singkat kata, setelah menikmati makan malam paling nikmat sepanjang hidupku, kami berdua, tepatnya Bibi Lily dan aku memutuskan untuk menikmati segelas anggur merah di depan perapian yang hangat. Pembicaraan lebih banyak dilakukan oleh Bibi Lily, menanyakan banyak hal kepadaku.

"Maaf Nyonya jika Saya memotong," Bibi Lily menatapku dengan tajam ketika aku berbicara formal kembali. "Maksudku, maaf jika Aku memotong. Aku hanya penasaran, apakah Bibi tahu kemana ibuku pergi?"

Ada keheningan selama beberapa saat, Bibi Lily menaruh gelas anggurnya, sebelum menjawab.

"Aku dan ibumu memang sudah lama bersahabat. Bahkan, kami sudah seperti saudara." Bibi Lily menatap perapian di depannya, raut wajahnya terlihat sedikit sendu. "Tapi, ibumu adalah orang yang sulit ditebak. Maaf Monica, aku tidak tahu apa alasan ibumu pergi."

Aku hanya bisa mengangguk lesu.

"Kau tidak perlu khawatir! Mungkin ibumu sedang menikmati waktu sendirian di Selatan sana, sambil menulis untuk buku selanjutnya." ujar Biby Lily, berusaha menghibur.

"Mungkin," aku tersenyum menanggapi, "ucapan Bibi sama seperti orang yang kukenal. Namanya Tuan Bingley."

"Astaga, sudah lama Aku tidak mendengar kabar pria itu."

Percakapan kami terpotong ketika Samuel datang menghampiri, terlihat rambutnya yang sedikit basah--mungkin dia pergi membersihkan diri setelah makan malam. Duduk disebelah ibunya, dan menatap kami berdua dengan raut penasaran.

"Apa yang sedang kalian bicarakan? Dan--oh dimana Ayah?"

"Hanya pembicaraan sesama wanita," Bibi Lily mengerlingkan matanya kepadaku. "Dan ayahmu, dia meninggalkan kita. Memutuskan untuk sibuk dengan wanitanya yang lain di kota London. Maksudku--pekerjaan yang sangat dia cintai."

Ayah Samuel, David Anderson, memang seseorang yang cukup sibuk. Dia adalah seorang pengacara yang cukup terkenal, lebih sering menghabiskan waktunya diluar daripada bersama keluarganya. Tapi, dia adalah sosok ayah yang baik, tidak pernah melupakan untuk meluangkan waktu kepada istri dan anaknya.

"Bukankah Anda ingin bertanya tentang Green House?"

Pertanyaan Samuel membuatku tersedar, itu salah satu alasan aku setuju untuk berkunjung ke kediaman Anderson--selain untuk menanyakan ibu.

"Benar," aku menatap Bibi Lily dengan raut penasaran. "Apakah Bibi tahu tentang rumah itu? Samuel bercerita padaku, jika rumah itu terkutuk?"

Sejenak wajah Bibi Lily menampakkan raut yang sedikit mencurigakan. Seperti raut cemas? Atau takut? Aku tidak bisa menebaknya.

"Aku juga terlalu tahu tentang itu," jawaban Biby Lily terdengar sedikit ragu, seperti wanita itu berusaha menutupi sesuatu. "Mungkin, hanya sebuah gosip yang beredar karena rumah itu sudah lama ditinggalkan."

"Aku mengerti." aku berusaha memahami jika Bibi Lily tidak ingin menjawab, mungkin wanita itu akan bercerita suatu saat nanti.

"Jadi, apakah kau akan kesana malam ini?" Bibi Lily mendekatkan diri, meraih kedua tanganku, dan menatap dengan raut wajah khawatir. "Ini sudah malam, apa kau tidak ingin menginap disini? Lagipula, Green House sangat terpencil. Membutuhkan jarak yang cukup jauh untuk kesana, karena rumah itu memisahkan diri dari kota utama."

Aku ingin menolak permintaan wanita itu, karena sudah cukup merepotkan Bibi Lily dengan ikut makan malam bersamanya. Tapi, ada sesuatu dalam diriku yang mendorong untuk tidak kerumah itu malam ini.

Aku memutuskan untuk mengangguk sebagai jawaban, membuat Bibi Lily memasang wajah sumringah.

Singkat kata, malam itu--dengan perut penuh dengan masakan rumahan, membuat kantuk segera menyerangku. Menarik selimut untuk menutupi tubuhku di atas ranjang yang terasa sangat empuk--bahkan lebih empuk dari ranjang apartemen lama. Lupakan untuk membersihkan diri, itu bisa dilakukan keesokan paginya.

Lalu, aku mulai terlelap dalan kedamaian. Bisa merasakan tubuhku semakin ringan, dikelilingi kehangatan dan kelembutan, merasa sangat aman bagai seorang anak kecil.

Dan aku terbangun esok paginya, saat membuka mata, melihat garis-garis cahaya matahari, menyusup melalui tirai jendela. Merasakan jiwa dan raga dipenuhi kesegaran dan rasa tentram, melupakan fakta aku hidup di kota asing sendiri.

Sinar matahari terasa sangat cerah, menerangi seluruh kamar saat aku menyingkap tirai yang menghalangi. Terlihat cuaca telah berubah, salju belum turun pagi ini, tapi kabut tipis sudah terlihat sangat jelas.

Ketika melangkah keluar kamar, aku sudah disuguhkan oleh sarapan yang terlihat lezat. Memutuskan untuk bergabung dengan Bibi Lily dan Samuel yang  tiba terlebih dahulu. Setelah sarapan, Samuel menawarkan diri untuk mengajakku berkeliling terlebih dahulu, sebelum pria itu mengantarku ke Green House.

Kami hanya berjalan tidak terlalu jauh dari kediaman Anderson--aku dapat melihat kediaman itu dekat dengan pasar. Memutuskan untuk masuk ke dalam pasar hanya sekedar melihat-lihat, kami menyusuri jalan sempit untuk sampai kesana; terlihat pasar telah ramai oleh stan, gerobak, dan rumah gandengan. Terdengar orang-orang saling berseru dari semua penjuru pasar, memikat pembeli dengan menjual dagangan terbaik mereka, dan mendorong gerobak di atas jalanan yang tertutupi salju tipis.

Itulah sedikit pemandangan yang bisa aku nikmati di pagi hari ini, sebelum Samuel mengajak untuk kembali.

Begitu tiba, aku segera bergegas menuju kamar tamu. Merapikan koper pakaian yang kubongkar tadi, setelah semalam salah satu pelayan mengantarkan satu koper  kepadaku. Aku sedikit sedih meninggalkan semua ini, meskipun Bibi Lily sudah meminta untuk tetap tinggal disini. Tapi aku tetap tidak merasa enak hati, meyakinkan wanita itu jika aku akan lebih sering berkunjung. Bagaimanapun, Green House adalah rumah hasil jerih payah ibu, dan memberikan rumah itu kepadaku. Tentu saja, sangat sayang jika rumah itu tidak ditempati.

Saat aku menarik koper keluar dari kediaman itu. Terlihat Samuel sudah berdiri di depan mobil mewahnya, membantu memasukkan koper. Tidak lupa berpamitan kepada Bibi Lily, meskipun wanita itu sedikit tidak rela. Aku memandang sekali lagi kearah kediaman Anderson, melihat Bibi Lily yang hanya melambaikan tangan kepadaku. Sebelum memutuskan masuk kedalam mobil, dengan Samuel yang sudah setia menunggu di kursi pengemudi. Ah, sepertinya aku akan merindukan kehangatan disini. []