webnovel

Unknown Woman

Monica Lawrence, seorang penulis muda, tiba-tiba mendapat kabar jika sang ibu meninggalkan warisan kepadanya, setelah dinyatakan hilang sejak bulan lalu. Ibunya meninggalkan sebuah rumah besar dan kuno, disebuah kota kecil bernama Foghill. Setelah memutuskan pindah kerumah peninggalan ibunya, keanehan mulai terjadi. Saat malam hari, rumah itu terasa hidup. Di rumah tua itu, Monica melihat sesosok wanita dengan gaun pengantin dengan warna hitam pekat, menatap penuh kebencian. Ditambah lagi, warga Foghill tidak ada yang mau berurusan dengan itu, mereka bilang rumah itu dikutuk, dan seseorang yang tinggal disitu akan terkena kutukan. Siapakah sebenarnya sosok wanita itu? Dan apa alasan ibu Monica menghilang secara tiba-tiba?

babygummy · Horror
Not enough ratings
7 Chs

Malam Natal London

Kamis sore Desember, langit mulai gelap, tapi bukan karena hari beranjak senja--bahkan jam masih menunjukkan pukul empat--melainkan karena salju mulai turun di kota London. Salju telah turun sejak fajar, menutupi jalanan London dengan butiran es kristalnya, bahkan sangat sulit berkendara--sebab jalanan tertutup salju sangat tebal, dan membutuhkan waktu lama untuk membersihkannya.

Salju berkeliaran di luar, jatuh di atas sungai yang mulai membeku, bergulung tebal di antara pepohonan gundul di sepanjang jalan. Baik pria maupun wanita menggunakan pakaian yang sangat tebal, berusaha berjalan dengan kaki yang masuk ke dalam salju tebal, berpegangan kepada pagar atau apapun untuk membantunya berjalan.

Secara keseluruhan, ini adalah bulan tersuram tahun ini, cuaca yang sangat buruk menghambat aktifitas diluar ruangan.

Tapi, cuaca buruk tidak menghambatku, aku tetap berjalan menembus tebalnya salju. Kebanyakan orang akan lebih memilih untuk bersantai di dalam rumahnya, menikmati secangkir cokelat panas dengan perapian yang menyala. Aku juga menginginkan itu, sebelum rasa penasaran mulai muncul dibenakku, ketika fajar tadi kantor pengacara menghubungiku.

Kakiku tepat berhenti di depan stasiun, aku langsung membeli tiket ke London untuk keberangkatan hari ini. Dalam perjalanan, aku bisa merasakan lembap dan dinginnya jok kereta, serta hawa dingin dari luar, yang menyusup melalui sisi-sisi jendela. Membuatku tidak menyesal menggunakan dua jaket tebal hari ini, karena aku bisa melihat uap dingin keluar setiap menghembuskan napas.

Setelah sampai di London, tidak menunggu waktu lama, aku segera berjalan menuju kantor pengacara. Di jalanan, aku melihat hiruk piruk derit rem mobil dan bunyi klakson, disertai teriakan pengemudi yang terpaksa melambatkan kendaraan akibat salju tebal. Aku juga melihat lampu yang mulai dinyalakan sepanjang perjalanan, beberapa berkelap-kelip menandakan lampu akan mati.

Jarak kurang lebih lima ratus meter dari stasiun ke kantor ditempug hampir tiga puluh menit dengan berjalan kaki, dan aku sudah memperhitungkan akan lebih lambat jika menggunakan taksi, karena jalanan yang padat dengan mobil. Aku memutuskan untuk duduk bersandar, karena kakiku terasa sangat sakit, dan menunggu namaku dipanggil. Kemudian benaknya berputar kembali ke kejadian tadi pagi, lebih tepatnya percakapan antara diriku dan Tuan Bingley--pengacara ibuku-- melalui telepon.

Aku kembali sibuk memikirkan bahan untuk tulisan selanjutnya, karena sangat sulit untuk mendapatkan sebuah itu untuk menulis, tidak seperti ibuku. Sehingga untuk sejenak, aku lupa untuk melepas lapisan pertama pakaiannya, karena kantor ini cukup hangat daripada diluar sana. Ketika itulah Miss Oliver, asisten Tuan Bingley, datang untuk memanggilnya agar masuk ke ruangan. Miss Oliver wanita bertubuh tinggi, badannya sedikit berisi, warna kulitnya putih pucat seperti salju diluar, dan dia selalu menatapku dengan tatapan tajam. Untuk alasan inilah dia ditempatkan di lobi depan, tempat menyimpan pembukuan dan menerima tamu, dengan rautnya yang terlihat dingin dan tanpa ekspresi, sehingga membuat para tamu tidak melupakan tujuan awalnya kesini--karena kebanyakan dari mereka sudah takut melihat tatapan Miss Oliver.

Dan sebuah surat yang seperti surat wasiat--atau memang itu surat wasiat--yang terbentang dihadapan Tuan Bingley saat aku melangkah ke dalam ruang kerjanya yang luas dan tertata rapi, dengan jendela yang langsung menghadap ke utara-- memperlihatkan pemandangan indah ke arah sebuah taman dengan danau kecil di dekatnya.

"Duduklah, Miss Monica." Lalu Tuan Bingley melepas kacamata, menaruhnya dengan hati-hati di sudut meja. Dia pun kembali bersandar, sepertinya Tuan Bingley akan bercerita terlebih dahulu.

"Rasanya Saya belum pernah bercerita tentang ibu Anda yang membeli rumah di sebuah kota kecil."

Aku menggelengkan kepala. Tuan Bingley adalah sahabat ibuku, dan setiap bulan dia selalu mengunjungiku untuk melihat keadaanku.

"Lihatlah ini," ucap Tuan Bingley seraya mendorong sebuah surat mendekat ke arahku, agar bisa lebih jelas membacanya.

"Ibu Anda membeli rumah ini setahun lalu, Saya juga tidak mengerti kenapa dia membeli sebuah rumah di kota kecil. Tidak ada yang tahu bukan isi benak seorang penulis terkenal?"

Aku hanya berdehem sebagai jawaban. Membiarkan Tuan Bingley menyelesaikan ceritanya, karena dia tidak suka perkataannya dipotong.

"Beberapa bulan lalu, tepatnya sebelum ibu Anda menghilang. Dia mendatangi Saya, ibu Anda berkata agar Saya membuat surat warisan jika sesuatu terjadi padanya. Dan lihatlah, dia meninggalkan sebuah rumah untuk Anda."

Aku berpikir sejenak, sejujurnya aku tidak mengerti jalan pikiran ibuku. Saat pertama kali mendapat telepon dari sang ibu untuk tidak mencarinya, aku hanya berpikir, mungkin ibuku hanya membutuhkan waktu sendiri untuk inspirasi tulisannya. Tapi, jika jujur aku sedikit khawatir, ditambah dengan perkataan Tuan Bingley tadi.

"Anda tidak perlu khawatir," ucap Tuan Bingley, seolah mengerti apa yang sedang aku pikirkan, "ibu Anda akan kembali dalam waktu dekat."

"Terima kasih, Tuan Bingley."

"Mungkin saja, ibu Anda secara tiba-tiba akan muncul di depan pintu rumah, dengan beberapa salju yang menempel di jaketnya ketika Anda pindah kesana," canda Tuan Bingley, dan itu membuatku sedikit terhibur.

"Tapi, untuk apa ibu Saya meninggalkan surat wasiat?" tanyaku, jika memang ibuku ingin memberikan rumah kepadaku, dia bisa langsung memberitahu tanpa harus meninggalkan surat wasiat.

"Sudah kubilang, ibu Anda itu orang yang unik," Tuan Bingley terdiam sesaat, menyandarkan tubuhnya kembali, "Tapi, Saya juga sedikit penasaran. Dia bisa langsung berbicara pada Saya tanpa harus meminta untuk membuat surat bukan?"

"Seperti kata Anda. Ibu Saya memang orang yang unik."

"Jadi, apa Anda berniat untuk pindah kesana?"

"Sebenarnya sewa apartemen Saya sudah hampir habis, tidak ada salahnya untuk pindah kesana. Mungkin Saya bisa mendapatkan inspirasi untuk tulisan juga?"

"Anda dan ibu Anda sama saja," gurau Tuan Bingley, membuat mereka tertawa sejenak. Aku sangat menyukai ketika berbicara dengan Tuan Bingley, dia seperti ayah untukku. Meskipun Tuan Bingley adalah orang yang cukup serius, tapi dia bisa membuat sebuah candaan. Ditambah lagi dia sering bercerita.

"Tapi, membutuhkan setidaknya satu hari penuh untuk sampai disana menggunakan kereta," aku mengerutkan kening, memang dimana rumah yang dibeli ibu hingga membutuhkan perjalanan selama itu. Saat aku ingin bersuara untuk bertanya, Tuan Bingley menambahi, "Foghill terletak di sebelah utara, Saya akan menjemput Anda ketika selesai berkemas. Dan Anda akan menaiki kereta dari stasiun London, karena kota itu terletak di utara, tepatnya pemberhentian terakhir kereta."

Aku hanya mengangguk, memutuskan untuk bangkit dan beranjak keluar ruangan. Karena Miss Oliver memberitahu klien Tuan Bingley sudah menunggunya.

Sebelum meninggalkan ruangan, aku pamit undur diri dan memberikan senyuman singkat kepada Tuan Bingley. Sepertinya aku harus cepat berkemas, karena Tuan Bingley adalah pengacara yang sibuk, dan dia rela memberi sedikit waktunya untuk menjemput nanti.

Setelah itu, aku harus langsung mengejar kereta pagi yang akan membawaku ke ujung utara Inggris yang keberadannya baru kudengar hanya beberapa menit lalu. Saat akan melangkah keluar gedung, Miss Oliver secara tiba-tiba menepuk pundakku, memberikan sebuah amplop coklat dan berkata itu uang yang diberikan Tuan Bingley. Setelah memasukkan amplop itu ke kantung jaketku, aku menembus salju London yang terlihat semakin tebal. []