1 Awal Semuanya

Sekolah Menengah Atas atau Sekolah Menengah Kejuruan. Mana pilihan kalian?

'Tentu saja SMA, kau ini anak dari keluarga terpandang! Apa kata orang di luar sana kalau kau masuk SMK?'

Tentu saja, itu kata orang tua kuno zaman dulu, eyang putriku.

Tapi dalam pikiranku, "Keren sekali aku jika bisa masuk SMK! Pakai korsa, praktek di lapangan, memegang kamera-kamera besar, menerbangkan drone, kerja, dapat uang, tidak seperti SMA yang hanya menghabiskan waktunya di dalam kelas, teori dengan praktek yang sangat sedikit. Ah! Aku benci sekali belajar! Lebih baik aku masuk SMK saja."

Oh iya, namaku Meylan, Meylanie Narazka lengkapnya.

Tapi, teman-temanku biasa memanggilku Melon. Panggilan itu yang diberikan Okta padaku saat pertama kita berkenalan di SMK.

Selain Okta, ada juga Rayya. Mereka sahabatku sejak pertama kami sama-sama menikmati suatu kejadian yang sangat direncanakan dan tidak pantas ditiru sebagai anak baru.

★★★

Siang ini panas sekali. Tidak ada jadwal apapun. Sekolah sedang libur semester.

"Ah, sial! Sungguh nikmat bisa merasakan libur setelah memulai semua kehidupan di tempat yang selama ini aku pilih. Aku pikir masuk SMK jauh lebih santai, ternyata tidak! Tugas prakteknya sangat menegangkan. Apalagi jurusanku dominan anak laki-laki." Keluhku sambil merebahkan seluruh badanku ke tempat tidur.

Aku rasa, hampir semua anak SMK mengeluhkan hal ini hahahaha.

Aku sangat beruntung karena bisa memulai awal kehidupanku dengan pilihanku. Walaupun memang tidak berjalan dengan mulus, tapi perjuangan ini harus aku teruskan!

Aku masuk jurusan multimedia di salah satu SMK negeri di Jakarta Selatan.

Aku sempat berdebat hebat dengan eyang tentang SMA dan SMK, sebelum akhirnya bisa lulus dan masuk ke SMK dengan jurusan yang aku inginkan, multimedia.

Awalnya eyang melarang keras masuk SMK, karena memikirkan gengsinya. Secara dulu eyang adalah salah satu guru yang digemari di salah satu SMA paling favorit di Yogyakarta.

Tempat dimana orang-orang beradu prestasi demi diterima di kota pelajar itu.

Orang tuaku terus meyakinkan eyang untuk mengizinkan aku masuk ke SMK. Sampai pada saatnya, eyang menurut dan berpesan sebelum akhirnya harus pergi selamanya,

"Kalau keputusanmu untuk masuk ke SMK benar-benar sudah bulat, yasudah. Tapi jangan ambil sekolah yang jaraknya terlalu jauh dari rumah, ya. Nanti kamu kelelahan."

Tapi aku sudah tidak tinggal di Yogyakarta.

Setelah eyang meninggal, ayah ada tugas tetap di Jakarta, dan kami sekeluarga harus pindah kesana.

Disinilah ketidakberuntunganku. Semenjak pindah orang tuaku benar-benar sibuk.

Memang, uang mengalir terus, bahkan tak pernah kurang. Tapi mereka hampir tidak pernah pulang karena urusan pekerjaan.

Ayah menjadi arsitek yang sangat sibuk membangun semua pembangunan ibukota.

Sedangkan ibu sebagai penyiar radio ternama yang tiap hari jadwalnya tak pernah kosong.

Alhasil, mereka hanya memasrahkan uang dan mempercayakan aku dan adikku untuk bersenang-senang sendiri.

Tapi, aku berhasil. Aku berhasil menepati pesan eyang soal jarak sekolahku yang tidak jauh dari rumah.

Mungkin sebelum eyang pergi, dia benar-benar mempercayakan semuanya kepadaku hingga pada akhirnya aku berhasil menggapainya untuk saat ini. Walaupun yang harus aku gapai masih banyak sekali. Tapi aku janji, akan aku manfaatkan semua keberuntungan ini.

Pindah dari kota istimewa ke kota metrapolitan sungguh mengesankan.

Hawa, lingkungan dan segalanya berbeda dari tempat aku dilahirkan.

Tapi kata ayah dan ibu, aku anak yang pandai bergaul, jadi aku pasti bisa diterima dan menerima lingkungan baru ini.

Beruntung, awal masuk sekolah, aku bertemu Okta dan Rayya.

Teman-teman sekelas yang awalnya aku pikir mereka tak seramah anak daerah istimewa, rupanya benar.

Eh, tidak, tidak benar.

Mereka ramah, hanya saja caranya yang berbeda. Tapi aku bisa.

avataravatar
Next chapter