2 PERDEBATAN

"Mau jadi apa kamu, kalau kuliah di Jurusan Psikologi hah?" Pekik Ayah tiba-tiba, sambil membelalakan matanya ke arahku.

Lalu kucoba menyandarkan punggungku yang semula tegab ke sandaran kursi. Sambil menghembuskan nafas panjang, kupandangi wajah Ayah yang terlihat seperti marah menatapku tajam dengan kedua alisnya yang nyaris menyatu. Kulihat pula bibirnya seakan hendak ingin berucap lagi.

"Ayah hanya akan memberimu dua pilihan, Hukum atau Ekonomi. Kalau kamu tetap kekeh dengan pilihanmu, dengan berat hati Ayah tidak akan membiayai kuliahmu. Terserah kamu mau pilih yang mana!"

Bibirku terkatup rapat, seakan tak mampu lagi berkata dan hanya sanggup membisu. Emosiku bergejolak, kurasakan aliran darah yang memanas mengalir deras dari tangan menuju kepala sehingga memicu jantungku berdetak lebih cepat. Perasaan kesal yang mendominasi dada, membuatku berlalu memasuki kamar meninggalkan Ayah duduk seorang diri di ruang tamu sambil menikmati kopi jahe kesukaannya.

Namaku Dinda Putri Atmaja (18 th), aku anak pertama dari dua bersaudara. Aku terlahir dari keluarga yang sederhana dan mempunyai seorang adik laki-laki bernama Arya Putra Atmaja (12 th). Ayahku adalah seorang sopir Bus di salah satu Perusahaan Bus malam yang ada di kota Yogyakarta. Gaji beliau memang tak seberapa, tapi Alhamdulillah cukup untuk kebutuhan rumah tangga dan biaya sekolahku dan adiku.

Saat hendak memasuki Perguruan Tinggi, Ayah menginginkanku memasuki Jurusan yang telah beliau tentukan, Hukum atau Ekonomi. Menurut beliau kedua Jurusan tersebut lebih banyak tersedia lapangan pekerjaan, dengan maksud agar aku bisa lebih cepat mendapatkan pekerjaan setelah lulus nanti untuk membantu perekonomian keluarga.

Sedangkan sejak di bangku SMA, aku mempunyai cita-cita menjadi seorang psikolog. 'Setiap orang pasti mempunyai permasalahan hidupnya masing-masing dan membutuhkan seseorang untuk memahami kondisi mental mereka yang mempengaruhi emosi, pola pikir, dan perilaku,' Pikirku kala itu.  Dan mimpi-mimpi yang telah ku susun bak sebuah istana dari mainan bongkar pasang, mendadak hancur berantakan tak berbentuk lagi, saat Ayah menentang keinginanku.

Kututup rapat daun pintu kamar dan berjalan ke arah jendela, terlihat langit begitu kelam. Nampaknya matahari sedang enggan memperlihatkan wajahnya, seakan hujan segera datang siap mengguyur atap rumahku. Anginpun bertiup dengan kencang menemani kegundahan hati ini. Rasa kesal masih memenuhi rongga dada. Kurasakan mataku mulai memanas, dadaku sesak dan air mata mulai membasahi pipi. Ya Tuhan, ingin sekali rasanya mendengar Ayah berkata 'Ya sudah apapun yang kamu pilih, Ayah akan dukung keputusanmu, semoga kelak kau menjadi orang yang sukses.' Tapi rasanya semua itu hanya sebuah mimpi belaka.

Tiba-tiba terdengar suara handphone berdering menghentikan tangisanku. Kuusap sisa air mata yang membekas di pipi dengan kedua telapak tangan, lalu kugulirkan bola mataku untuk menncari-cari dimana letak handphoneku berada. Dari arah timur sudut kamar terlihat sebuah benda persegi panjang berwarna hitam dengan layar menyala tergeletak tepat di atas selimut rajut yang tergerai di ranjang tidurku, lalu segera kuraih benda persegi panjang itu. Tertulis nama Bayu Pramudhika, dia adalah sahabatku sewaktu di bangku SMA. Segera kuangkat telepon darinya, agar tak berdering terlalu lama.

"Hallo ..." Katanya dari seberang.

"Apa'an?" Sahutku ketus.

"Diiihh...jutek banget jawabnya Din. Kenapa emang, kok jutek gitu? Lagi PMS yaaa? Wekekekeke." Terdengar suara cekikikannya yang khas di telingaku, entah mengapa kali ini membuatku agak sedikit kesal saat mendengarnya.

"Oooo....dasar bocah sempruulll. Telepon-telepon cuma buat ngeledekin orang. Nggak tahu mood orang lagi jelek apa? Ngeledek mulu."

"Yeee....mana ku tahu mood kamu lagi jelek. Emangnya aku dukun gitu, bisa nerawang kamu lagi ngapain aja dan mood kamu lagi bagus atau nggak? Lagian kamu kenapa sih? Ada masalah apa? Cerita dong sama Mas Bayu yang ganteng ini."

Mendengarnya memuji diri sendiri, aku refleks memutar bola mata dan menghela nafas. "Iyeeh ganteng, terserah deh mau ngomong apa. Aku lagi bete' nih, abis di marahi Ayah."

"Lah emang kenapa, Ayah kok bisa marah?"

"Ya gara-gara aku  disuruh milih salah satu Jurusan yang Ayah mau, Hukum atau Ekonomi. Tapi aku nggak mau. Kamu tahu sendirikan passionku di Jurusan Psikologi. Yaaa ... Jadi aku sedikit maksain ke Ayah supaya diijinin masuk Jurusan Psikologi gitu. Eh ... aku malah di bentak tadi, kalau masih maksa beliau nggak mau membiayai kuliahku. Terus menurutmu gimana dong, Bay? Nggak ada satupun yang aku suka soalnya."

"Ya mau gimana lagi, Din. Turutin aja, namanya juga orang tua pasti inginkan yang terbaik buat anaknya. Daripada pusing-pusing mau masuk jurusan mana, mending waktu daftar ngitung kancing baju aja deh. Urusan suka atau enggak, itu sambil jalan aja. Kalau kata pepatah jawa mah, 'Witing Trisno Jalaran Soko Kulino, Cinta Tumbuh karena Terbiasa.' Bisa jadi, waktu kamu sudah jalani malah jadi suka sama jurusan pilihan Ayahmu," Kata Bayu yang terdengar ngerocos, mirip sales panci keliling. "Sekalian juga nih Din, aku mau ngajakin kamu berangkat bareng besok lusa, kalau mau daftar di Universitas Gajah Mada, biar satu sekolah lagi kita. Pulangnya aku traktir kamu makan es krim deh, biar kamu nggak badmood lagi." Sambungnya.

"Hmmm ... Ya deh, Lusa itu hari Selasa ya? Okelah, Jemput tapi ya," Ucapku dengan nada riang.

"Oke, Din. Entar Selasa aku jemput jam 08:00 ya. Kalau aku datang,udah harus siap loh! Ogah aku mah nungguin kamu kelamaan dandan, yang ada aku keburu jadi tape entar."

"Iya ... iya ... ah bawel banget sih nih cowok. Ya udah sampek ketemu lusa kalau gitu."

"Oke, daaaahhh ... "

"Tuuuttt..."

Kurebahkan tubuh mungilku di atas kasur dengan sorot mata kosong memandang langit-langit kamar, memaksa otak untuk berfikir agar menjatuhkan pilihan di Jurusan yang telah di tentukan Ayah. Hukum ataukah Ekonomi? Ya Tuhan, bagaimana bisa aku memilih jika tak satupun dari keduanya ada yang aku sukai.

*****

Hari Selasa pun telah tiba. Sinar mentari pagi perlahan masuk memenuhi sudut-sudut kamar. Nyatanya, gorden tebal berwarna kuning keemasan tak sanggup menghalangi cahaya itu masuk ke dalam ruangan. Aku segera menyingkap selimut rajutku dan beranjak meninggalkan tempat tidur untuk segera pergi mandi dan bersiap. Setelah selesai mandi, aku membuka lemari pakaian yang letaknya tepat di sebelah tempat tidurku. Mataku mulai memindai isi lemari, hingga tertuju pada kaos putih. Segera kuambil dan mengenakannya di tubuhku. Aku memilih menggunakan kaos putih lengan pendek, dipadukan dengan kemeja kotak-kotak berwarna hitam putih dan ripped jeans. Tak lupa juga aku menyiapkan sneakersdan tas ranselberwarna senada untuk kukenakan nanti. Dengan tatanan rambut yang tergerai,berdandan ala boyish memang selalu menjadi andalanku.

Setelah selesai bersiap dengan barang-barang yang akan kubawa nanti, aku pun keluar berlalu meninggalkan kamar tidur yang hanya berukuran 3×4 meter menuju arah dapur untuk membantu ibu yang tengah berpeluh keringat menyiapkan sarapan untuk kami. Kudapati wanita separuh baya itu akan memindahkan sayur kangkung yang telah dimasak dari wajan ke piring ceper yang berada di atas meja. Aku menghampiri Ibu dan mencoba mengambil alih wajan panas yang sedang ia pegang. Wanita itu melempar pandangannya ke arahku, sambil seraya tersenyum manis dan memulai obrolan.

"Barang bawa'annya udah di siapkan semua, nak?"

"Udah dibawa semua kok, Bu."

"Awas, jangan sampek ada yang tertinggal lho. Jangan lupa alat tulisnya dibawa, biar gampang nanti nggak bingung nyari-nyari pinjaman. Nanti rencana berangkat jam berapa dari rumah?"

"Udah siap semua kok, Bu. Rencana Dinda berangkat jam 8, di jemput Bayu entar."

"Ehem ... " suara dehaman dari arah timur mencoba menginterupsi. Kualihkan pandangan ke arah suara tersebut berasal. Terlihat sosok Ayah sedang berjalan ke arah kami sambil merapikan seragam kerjanya, disusul dengan Arya adik laki-lakiku yang hendak ingin sarapan karena akan berangkat sekolah pagi ini.

"Ayah mau langsung sarapan?" tanya Ibu.

"Iya," Jawab pria paruh baya itu, dengan rambut putih yang terlihat mendominasi penampilannnya. Ia pun segera duduk di kursi meja makan sambil menunggu Ibu menyajikan nasi hangat keatas piringnya. Aku dan Arya ikut duduk di kursi meja makan yang berseberangan dengan Ibu dan Ayah.

Suasana di meja makan terasa sepi, hening, tak bersuara, yang terdengar hanyalah suara dentingan piring dan sendok yang saling beradu. Sungguh, suasana seperti ini tak membuatku nyaman. Setelah semuanya selesai menghabiskan sarapan, kuberanjak dari tempat dudukku dan mengumpulkan semua piring kotor untuk di cuci di wastafel dapur yang letaknya tak jauh dari meja makan. Waktu menunjukkan pukul 06:45 WIB yang terpampang jelas di dinding ruang makan. Ayah pun berlalu meninggalkan meja makan dan mengambil sepatu yang letaknya berada diteras rumah dan mengenakannya, lalu di susul dengan adiku Arya. Sambil membopong ranselnya, ia juga ikut mengenakan sepatu ketsnya yang lusuh.

Setelah selesai mencuci piring, aku pun berlalu meninggalkan dapur dan berjalan ke arah teras. Terlihat pria paruh baya itu sedang merogoh kantong celana untuk mengambil kunci sepeda motornya. Setelah itu dia memutar badannya ke kanan untuk berpamitan dengan Ibu yang berada tepat di sebelah kanannya. Lalu bola matanya bergulir melihat ke arahku.

Dengan wajah yang serius tanpa ada garis senyum menghiasi bibirnya, ia pun berkata, "Masih ingatkan, apa yang ayah katakan dua hari yang lalu?" Rupanya Ayah masih saja belum melupakan perdepatan saat itu.

"Sudah dong, yah. Dinda  kan bukan anak-anak lagi. Diajak bicara sekali juga pasti dia ingget." Ibu mencoba untuk mendinginkan suasana.

"Ayah harap, kamu masih ingat perkataan ayah. Kalau ayah tidak akan membayai kuliahmu, jika kamu masih memaksakan kehendakmu ataupun mencoba mendaftar di jurusan psikologi secara diam-diam." Sambung Ayah.

Tanpa pikir panjang agar ayah tak mengulang pembicaraannya terlalu lama, aku pun menjawab perkataan Ayah, "Ya, Dinda nggak lupa kok sama apa yang kita bicarakan kemaren, Ayah nggak usah khawatir Dinda nggak bakalan bohongin Ayah. Karena itu nggak akan terjadi dan Ayah bisa peganggang kata-kata Dinda."

"Ya sudah, kalau gitu Ayah berangkat dulu."

Akupun berjalan menghampiri beliau dan mencium tangannya. Setelah itu beliau menunggangi kuda besinya bersama dengan Arya dan berlalu. Kulihati sosoknya semakin mengecil dan lama-kelamaan hilang dari pelupuk mataku. Perkataan beliau pagi ini berhasil membuat moodku kembali turun, setelah sebelumnya kumencoba melupakannya dan menghadapi pagi ini dengan semangat.

 

avataravatar
Next chapter