3 PENDAFTARAN

Ibu melangkahkan kaki menghampiriku dan mendaratkan tangannya di pundakku. Wajah sendunya memandangku dengan senyuman manis mengembang di bibirnya.

"Yuk masuk, sambil nungguin Bayu datang." Bujuk Ibu, sambil mengelu-elus lenganku dengan tangannya yang hangat.

Aku hanya mengangguk dan membalasnya dengan senyuman, lalu memutarkan badan bersama ibu melangkahkan kaki untuk kembali memasuki rumah kecil kami.

Sesampainya di dalam rumah, ibu melanjutkan langkahnya ke belakang rumah untuk mencuci baju sedangkan aku memilih menyapu rumah untuk mengisi waktu sambil menanti kedatangan Bayu. Setelah selesai menyapu rumah, aku menyandarkan tubuhku ke kursi yang letaknya berada di ruang tamu sambil menonton TV.

Waktupun terus memutarkan jarumnya hingga menunjukkan pukul 07:50 WIB. Samar-samar terdengar suara sepeda motor dari kejauhan lambat laun mendekat dan berhenti di depan rumah.

"Assalamu'alaikum ... " Terdengar suara laki-laki mengucap salam.

"Wa'alaikumsalam." Jawabku, sambil berjalan untuk membukakan pintu pagar dan mempersilahkan Bayu untuk memasuki rumah.

"Kok sepi, Din. Orang rumah pada kemana?"

"Ayah udah dari sejam yang lalu berangkat kerja sekaligus nganter Arya sekolah, kalau Ibu ada di belakang lagi nyuci baju tuh."

"Ooohh ... kamu udah siap, Din? Kalau udah mending kita berangkat aja sekarang, sekalian pamit sama ibu kamu."

"Udah kok, Bay. Aku ambil tas dulu ya kalau gitu." Jawabku sambil berlarian mengambil ransel dan sneakers di dalam kamar, lalu menuju ke belakanng rumah tempat ibu mencuci pakaian.

"Ibu, Dinda berangkat dulu ya. Bayu udah jemput nih."

"Oh, nak Bayu sudah datang toh."

"Tante, saya sama Dinda mau berangkat dulu ya?" Ucap laki-laki bertubuh jangkung itu sambil tersenyum sontak membuatku menoleh, yang entah sejak kapan dia sudah berada di belakangku. Lalu dia berjalan mendekati Ibuku dan mencium tangannya.

"Oalah, iya. Hati-hati ya nak bawa motornya. Nggak usah ngebut-ngebut, yang penting selamat sampai tujuan." Sambung Ibuku dengan senyum yang mengembang dari bibir tipisnya.

"Iya tante."

Aku pun mencium tangan Ibuku dan keningnya, setelah itu kami berjalan menuju depan rumah untuk segera berangkat menaiki sepeda motor matic milik Bayu. Laki-laki jangkung itu menghidupkan mesin motornya dan melaju, membuat kami perlahan menjauh meninggalkan rumah.

Sepanjang perjalanan kurasakan hempasan udara pagi menerpa wajahku, sinar mentari yang hangat menyentuh kulit dan terlihat pula berbagai macam jenis kendaraan yang ramai di jalanan sedikit mengalihkan perasaanku yang kacau.

Sesampainya di Universitas, kulihat sekeliling terdapat wajah-wajah baru yang belum kukenal sebelumnya berjalan lalu-lalang membawa map-map ditangan mereka. Aku dan Bayu segera memasuki ruang pendaftaran dan menyerahkan semua keperluan Administrasi yang dibutuhkan. Kami disodori selembar berkas untuk di isi terlebih dahulu, dan berlalu meninggalkan admin pendaftaran untuk mencari tempat duduk, agar lebih mudah untuk mengisi selembar berkas yang telah di berikan tadi.

"Din, kita duduk di sana aja yuk?" Ajak Bayu yang sedari tadi bola matanya telah memindai isi ruangan dengan jari telunjuknya mengarah pada 4 kursi kosong yang berada pada sudut ruangan.

"Yuk." Jawabku singkat, dengan gerak langkah mendahului Bayu dan dia pun mengikuti di belakangku.

Kuletakkan ransel di kursi yang berbeda denganku, agar tak menyusahkan ruang gerakku yang sedang ingin mengisi selembar berkas pendaftaran di kursi yang telah di lengkapi dengan meja, ala-ala kursi mahasiswa.

Disusul dengan Bayu yang mulai duduk di sebelah kananku dan melakukan hal yang sama dengan tasnya, ditaruhnya di kursi kosong yang letaknya berseberangan dengannya duduk.

Mataku menatap selembar berkas pendaftaran, dan mulai kugulirkannya dari atas ke bawah. Di situ tertulis : nama, alamat, tempat, tanggal lahir, dan ... sorot mataku terhenti pada tulisan 'Jurusan yang akan dipilih'. Kalimat itu membuatku teringat pada kata-kata Bayu yang mengusulkan untuk menghitung biji kancing baju saat hendak memilih jurusan.

Fokusku tiba-tiba teralihkan dengan rasa geli di bagian telinga kanan yang sontak membuatku kaget dan refleks menutupi daun telinga. Kudapati Bayu tengah menahan tawa dengan pipi yang mengembung. Rupanya laki-laki itu sejak tadi mengamati wajah seriusku dan mencoba menjahiliku dengan menjulurkan bulpoinnya ke telingaku.

"Paaakk ..." suara tanganku yang mendaratkan pukulannya ke lengan Bayu.

"Aww ..." jeritan Bayu membuat orang-orang satu ruangan menoleh kepada kami. Kuyakin dua buah pipi tembemku kala itu memerah bak buah tomat, karena kurasakan aliran darah yang hangat perlahan menjalar ke daerah wajahku.

Dengan rasa malu kuberkata, "Emmm ... maaf kalau suara kami mengganggu, silahkan dilanjut lagi dan abaikan kami." Sambil menganggukkan kepala.

Orang-orang yang tadinya menoleh kepada kami akhirnya mengalikan pandangannya sambil menggelengkan kepala dan kembali keaktivitasnya masing-masing.

Aku pun lantas mengembalikan pandanganku ke Bayu dan membelalakkan mata padanya dengan pergerakan seakan-akan hendak ingin memukulnya lagi. Laki-laki jangkung itu malah terkekeh melihat tingkahku.

"Lagian serius amat, sih." Godanya, sambil tersenyum memperlihatkan gigi putihnya yang rapi dan memandangku dengan pandangan geli, "Udaaahh, daripada pusing mending ngitung kancing baju aja." Sambungnya, lantas dia pun melanjutkan tulisannya.

Otakku seakan menunjukan reaksi setuju dengan saran konyolnya, memerintahkan bola mataku melihat ke arah biji kancing baju yang menempel di tubuhku. Kedua telunjuk tanganku mulai bergerak menghitung biji kancing yang ada. Hukum ... Ekonomi ... Hukum ... Ekonomi ... Hukum. Hatiku pun turut menghitung seakan tak mau ketinggalan eksistensinya.

Dengan bermodalkan menghitung biji kancing akhirnya pilihanku jatuh pada Fakultas Hukum. Konyol memang, tapi tetap kulakukan. Siapa lagi yang memberkanku saran konyol tak masuk akal begini, jika bukan otak dari laki-laki jangkung bersuara bariton.

*****

Tes ujian masuk Perguruan Tinggi telah tiba. Aku dan Bayu kembali berangkat bersama-sama. Sesampainya di Universitas, kami pun berpencar. Namaku terdaftar di kelas tes yang berdeda dengannya. Bayu mengambil Jurusan Pertanian, kelas tesnya berada di utara Gedung Universitas sedangkan kelasku letaknya di bagian barat.

Kuberjalan menelusuri lorong gedung dengan tiang-tiang penyangga yang tinggi terbuat dari beton. Pemandangan yang asri dan udara yang sejuk membuatku bersemangat dan tak sabar untuk memasuki ajaran baru.

Saat kuberjalan menuju kelas tes, mataku menangkap sosok wanita mengenakan rok panjang, berkaca mata tebal dan rambut yang di kepang dua nampak kebingungan mencari arah kelas terlihat jelas dari wajahnya. Dia mengernyitkan alisnya dengan wajah yang nampak gelisah melihat sekeliling.

"Mbak mau tes juga?" Sapaku.

"Iya." Jawabnya tersenyum sambil menganggukkan kepala.

"Di ruangan berapa mbak?" tanyaku lagi

Dia pun menyodorkan kepadaku kartu kecil yang di gunakan untuk ujian, "Ruangan sebelas mbak, kalau mbak di ruangan berapa?"

"Oalah, ruangan sebelas. Bersebelahan dengan ruanganku berarti. Aku ruangan sepuluh soalnya. Barengan aja kalau gitu."

"Boleh," terlihat senyuman yang mengembang di bibirnya, "Oya, kenalan dulu. Namaku Rina, kalau kamu?" Sambil menyodorkan tangannya ke arahku.

"Namaku Dinda."

Kami pun melanjutkan perjalanan melewati lorong dan kelas-kelas di sebelah kananku yang mempunyai pintu dari kayu berwarna coklat, hingga tiba di kelas yang bernomorkan angka 10 dan 11.

Terlihat pula krumunan calon MaBa di depan kelas sedang menunggu waktu untuk di mulainya tes ujian masuk Perguruan Tinggi hari ini. Ada yang membentuk lingkaran sambil berbincang-bincang, ada yang bersenda gurau, ada juga yang memilih masuk kelas dan mencari nomor bangku yang sesuai dengan nomor ujian yang telah di bagikan kepada calon MaBa. Aku dan Rina memilih masuk ke kelas masing-masing agar tidak terburu-buru mencari nomor bangku yang sesuai saat bel di bunyikan tanda dimulainya tes.

Sepuluh menitpun telah berlalu sejak aku memasuki kelas tersebut, lalu setelah itu terdengar suara bel berbunyi. Manusia-manusia calon MaBa itu mulai berhamburan ke dalam kelas mencari nomor bangku yang sesuai dengan nomor kartu mereka. Suasana kelas menjadi riuh.

Terlihat seorang pengajar memasuki kelas dari ujung pintu. Dia berpakaian rapi mengenakan kemeja putih lengan panjang dilengkapi dengan dasi bermotif garis miring dan celana kain berwarna coklat keabu-abuan. Tak lupa juga dia menyempurnakan penampilannya dengan sepatu pantofel berwarna hitam mengkilat. Kulitnya putih bersih dengan warna rambut yang bercampur hitam dan putih. Wajah tampannya masih menghiasi di umurnya yang tak lagi muda.

"Selamat pagi semuanya." Suaranya kerasnya mencoba mengintrupsi.

Suasana kelas yang tadinya riuh mendadak menjadi sunyi.

Beliau mencoba menerangkan peraturan yang harus kami patuhi selama tes berlangsung, dan batasan-batasan waktu untuk soal-soal dari beberapa mata pelajaran yang akan dikerjakan. Setelah itu beliau membagikan lembaran-lembaran kertas soal dan lembar jawaban kepada para calon MaBa.

Setelah semua telah mendapatkan bagian lembaran-lembaran kertas tersebut, lalu kami dipersilahkan untuk mengerjakan tes tersebut dengan batas waktu 1 jam 45 menit. Wajah serius para calon pun mulai terlihat.

Kualihkan fokusku pada lembaran-lembaran soal yang tergeletak di mejaku, lalu kukerjakan soal-soal yang dirasa mudah terlebih dahulu. Setelahnya beralih pada soal yang menurutku sulit. Jika soal-soal itu terasa cukup sulit untukku, mataku secara refleks menghitung biji kancing yang kupunya. Kebetulan semua soal itu hanyalah pilihan. Rupanya alam bawah sadarku sudah mulai terprogram dengan saran yang Bayu berikan.

Setelah semua selesai mengerjakan tes, aku dan para calon MaBa berhamburan keluar kelas. Tak kulihat lagi sosok Rina kala itu yang ruangan tesnya bersebelahan denganku. Lantas aku kembali berjalan ke arah parkiran tempat Bayu menaruh motornya. Kuberjalan sambil merogoh isi tasku untuk mentelepon Bayu tanpa melihat ke jalan depan. Belum juga kuberhasil menemukan benda persegi panjang berwarna hitam itu, terdengar suara motor dari arah kiriku melaju cepat, memijakkan rodanya ke kubangan air bekas hujan kemarin. Membuat isi kubangan itu terciprat ke arahku dan membuat langkahku menjadi terhenti. Rambut kumal dan baju yang menjadi kotor membuat emosiku meninggi.

"Brengseeeekkk..." teriakku dengan suara melengking yang aku punya, sontak membuat pengendara motor Jupiter Z itu berhenti.

Dia pun menoleh, terlihat sorot mata tajam dengan alis tebal seperti ulat bulu melihat ke arahku. Tanpa rasa bersalah, dia mengacungkan jari tengahnya ke arahku lalu melaju meninggalkanku yang tengah dirundung emosi.

"Din, kamu kenapa?" Ucap laki-laki pemilik suara bariton itu memandangiku dari ujung rambut ke ujung kaki dengan raut wajah nampak bingung, tapi tak kuhiraukan pertanyaanya.

Aku hanya sedang mengingat sorot mata laki-laki yang membuatku jengkel. Barangkali suatu saat Tuhan mempertemukan kami yang entah dimana, ingin kugetok kepalanya dengan kepalan tanganku agar isi kepalanya yang mengsle itu kembali pada posisi semula.

avataravatar
Next chapter