webnovel

Apa Yang Terjadi?

Dering telepon memecah keheningan malam panjang Ayaka yang masih sibuk menghafal rumus matematika kelas 3 SMA untuk ujiannya besok pagi.

Tinggal sendiri di kota Tokyo, Ayaka memang jadi lebih sering dihubungi oleh orang-orang rumahnya. Tetapi, ini sudah larut malam. Tidak biasanya orang rumah menelfonnya di jam-jam istirahat.

"Moshi-moshi?" Telepon tersambung, tetapi tidak ada jawaban apapun di seberang sana. Yang ada hanyalah tangisan pilu yang menyayat hati. Itu adalah suara kakak dan ibunya.

Buku rumus praktis matematika Ayaka terjatuh saat dirinya mendengar pistol ditembakkan. Entah ke arah mana, tetapi Izumi kakaknya tiba-tiba melolong histeris.

Bola mata gadis berambut cokelat sebahu itu melotot mendengarnya.

"Ayaka, tolong!"

DEG.

"IZUMI!" pekik Ayaka spontan.

Tiba-tiba, telepon pun ditutup secara sepihak saat ia mendengar kalimat terakhir ayahnya yang terucap. "Pergi sejauh mungkin!"

Darah Ayaka berdesir sangat cepat. Tubuhnya panas dingin seperti sedang berhadapan dengan iblis. Detak jantungnya menderu tak beraturan. Nafas Ayaka tersengal-sengal. "Ap— apa yang baru saja terjadi?"

Otaknya berusaha sekuat tenaga berpikir lebih jernih, tetapi air matanya terlebih dulu menetes sebelum ia mendapatkan kembali pikiran positif yang ia cari sejak tadi.

Gadis berumur 17 tahun yang baru saja mendengar tangisan, tembakan, teriakan, dan kalimat terakhir yang ambigu ... Bagaimana dirinya mampu mengendalikan emosinya saat ini?

Siapapun yang mampu, beri tahu dia apa yang harus dilakukan. Ayaka tidak mampu mengatakan apapun lagi. Seluruh tubuhnya membeku di kursi belajarnya.

***

Sudah 20 jam lamanya Ayaka belum juga mendapatkan pesan atau panggilan apapun dari keluarganya. Dirinya memilih untuk bertahan di kelas yang telah sepi itu.

Tidak ada hasrat sama sekali dalam diri Ayaka mengingat apa yang terjadi malam itu. Suara-suara menyeramkan itu datang lagi mengusik ketenangan hidupnya.

Dirinya bahkan bertingkah seperti zombi hari ini, ketakutan dalam hatinya terus menggerogoti dan merasuki pikirannya. Ia tidak bisa fokus menjalani ujiannya.

'Pergi sejauh mungkin!'

Pikiran Ayaka kembali dihantam badai yang sangat dahsyat. Tubuhnya bergerak tanpa tujuan. Air matanya terus mengalir membasahi pipi kemerahannya yang sangat imut dan manis.

Dirinya tidak tahu harus bagaimana. Tidak ada keberanian untuk kembali menghubungi keluarganya. Ia juga tidak berani pulang ke apartemennya. Ketakutan di hatinya akan satu kalimat perintah yang ambigu itu berhasil menghancurkan semua argumen positif dalam otaknya.

Langkah Ayaka berhenti tepat di sebuah taman. Ia melihat sebuah ayunan besi yang terlihat kosong. Kemudian, dirinya menaiki ayunan itu dan kembali hanyut dalam lamunan.

Kedua kakinya bersiap untuk mengayunkan tubuhnya, tetapi tiba-tiba saja, dari belakang, sebuah tangan menahan rantai ayunan itu. Lebih parahnya, saat ini lengan Ayaka ditahan oleh tangan asing itu.

"Lepaskan aku!" pinta Ayaka meringis ketakutan.

"Hashimoto Ayaka?"

DEG.

"A— anda siapa?"

"Ck, ternyata masih anak sekolah. Apa dia bercanda?" Suara bariton asing itu menggetarkan hati Ayaka.

Dirinya pun memberanikan diri untuk menoleh ke arah sumber suara itu. "Maaf!"

Tubuh Ayaka tersentak saat pria itu mengeluarkan seringai menyeramkan. "Ikut aku!"

'Pergi sejauh mungkin!'

Otak Ayaka kembali mengingat pesan dari ayahnya. Dirinya pun bangkit dari ayunan tak lupa menendang kaki panjang pria itu dan berlari sekencang mungkin.

"Aassh, sialan!" Pria itu memekik sambil tersenyum tipis. Kepala yang tertunduk itu melirik tajam ke arah mana Ayaka berlari. Dia segera mengambil ponselnya. "Aku sudah bertemu dengannya, dia berlari ke jalan menuju stasiun!" ucapnya ringkas, lalu menutup cepat layar ponselnya.

"Hashimoto Ayaka, hahaha. Aku tidak percaya calon istrimu akan semuda ini, Nii-san!" Pria itu pun berjalan santai menuju mobilnya.

***

"Huft, akhirnya orang aneh itu tidak mengejarku lagi!" Ayaka menghela nafas, lega. Setelah berhasil menyelamatkan diri dari pria asing yang hampir saja mencelakainya.

Ayaka mengambil nafas dalam-dalam dan melihat sekelilingnya. "Sial, gara-gara pria aneh itu aku jadi harus jalan-jalan malam!"

Bagaimana tidak, kereta yang membawanya ini adalah kereta Shinkansen jurusan Nagoya. Dirinya berencana untuk berhenti di pemberhentian pertama dan kembali ke Tokyo.

Namun, masalah baru datang saat seorang pria bermasker hitam dengan jaket denim yang tidak dikancingkan duduk di sebelahnya.

Pria itu menatap tajam Ayaka membuat jantungnya memacu sangat kencang. Tubuhnya tidak mampu bergerak karena tidak ada lagi ruang kosong di sana.

Dengan terpaksa Ayaka harus duduk berhimpitan dengan pria itu.

Tiba-tiba pria itu membuka maskernya dan tersenyum manis ke arah Ayaka. Terkejut, tentu saja lebih dari itu. Dirinya bahkan tidak bisa mengatakan apapun saat pria itu berucap, "Hashimoto Ayaka, ikutlah denganku!"

Pria itu memiliki kulit wajah seputih salju dengan rambut yang dicat berwarna perak, membuatnya terkesan seperti pangeran vampir dalam sebuah cerita fantasi.

Dagunya yang lancip, ditambah hidung mancung, dan bibir tipis yang terlihat pucat, pria itu benar-benar seperti manekin hidup.

"Apa yang anda bicarakan?" Ayaka bertanya dengan nada senormal mungkin.

Pria itu kembali menutup maskernya. Kemudian, menatap lurus ke depan dan berujar, "Kau harus membayar kebodohan kakakmu!"

"Apa maksudnya?" bentak Ayaka keras hingga membuat beberapa pasang mata menatapnya tajam.

Bodoh!

Ayaka merasa malu luar biasa karena telah bertingkah seperti gadis arogan dan tidak berpendidikan. Dirinya pun ingin menghilang dari muka bumi saat itu juga.

Tidak ada jawaban, Ayaka dengan kedua tangan yang menutup wajahnya melirik ke arah pria itu. "Apa kesalahan yang dilakukan Izumi?"

"Ikutlah denganku, maka kau akan mendapatkan jawabannya!"

Ayaka yang terlalu polos dan lugu dengan mudah termakan rayuan pria asing itu. "Baiklah!"

Di dalam maskernya, pria asing itu tersenyum lebar. 'Andai saja aku yang menjadi calon suami gadis ini, tubuhnya lumayan juga!' batinnya mulai berpikiran kotor. 'Di umurnya yang sekarang, seharusnya dia lebih pantas denganku, ah ... aku ingin bernegosiasi dengan kakak!' keluhnya sambil memegang kepalanya yang tidaj pusing.

Sesampainya mereka di stasiun Tokyo, pria itu mengajak Ayaka pergi ke kedai miso terdekat. Ia tahu gadis itu belum makan sama sekali sejak semalam. "Ayaka-chan, apa kau punya teman di sini?"

"Tidak ada, kebetulan saya murid pindahan seminggu yang lalu!"

"Tidak perlu sesopan itu, aku Nakamurs Ryo. Salam kenal!" Senyuman pria itu akhirnya bisa membuat hati Ayaka sedikit tenang setelah banyaknya tekanan batin yang ia rasakan seharian.

'Sepertinya orang ini baik,' batinnya lega. "Maaf, Nakamura-san!"

"Jangan, -san!"

"Nakamura-kun?" toleh Ayaka meminta izin. Tidak lupa dengan wajah lugunya.

"Manis sekali!" gumam Ryo pelan. Wajahnya agak bersemu melihat kepolosan Ayaka yang jauh lebih natural daripada Izumi, pikirnya.

Mereka pun masuk ke dalam kedai dan makan dengan lahap.

***

23.24 p.m, Yokohama, Jepang.

"Jika dalam waktu 6 jam putri keduamu belum datang juga, aku terpaksa menghabisi kalian semua!" seru suara bariton terdengar seperti bom yang menggelegar.

Seorang pria bertopeng dengan dua bodyguard di kanan kirinya menatap wajah nanar dua wanita dan satu pria paruh baya yang penuh luka dan darah segar yang terus menetes di lantai.

"Terkutuklah kau, Nakamura Kei!" pekik salah seorang wanita yang saat ini penuh luka memar di wajah cantiknya.

Pria yang merasa terpanggil itu tidak mengatakan apapun dan memilih tersenyum miris. "Dasar jalang tidak tahu malu!"

To be continued...