1 Kasih Seorang Ibunda

Kisah ini saya dapatkan dari kisah nyata seseorang yang saya kenal. Namun baik nama tokoh dan alur cerita banyak yang saya ubah. Karena itu mohon maaf sebesar-besarnya jika ada nama para pembaca yang terpakai untuk kisah ini. Percayalah, saya hanya mengambil nama yang sangat umum.

Semoga kisah ini bisa menghibur kalian semua

**********************************************

Seperti apakah merasakan kasih seorang ibu? Seperti apakah rasanya jika aku sendiri adalah seorang ibu yang memiliki seorang anak?

Namaku adalah Wiwin; tinggal di kota Rogojampi di pulau Jawa. Aku lahir di tahun 1953 dimana sangat jarang ditemukan mobil dan banyak bangunan sederhana yang pendek-pendek.

Untuk pertanyaan diatas... Setidaknya aku tahu bahwa kedua orangtuaku menyayangiku. Kakak-kakak dan adik-adikku juga menyayangiku. Aku bukanlah anak sulung maupun bungsu. Aku adalah anak keempat dari tujuh bersaudara. Banyak kan?

Kata orang memiliki banyak anak, pasti banyak rejekinya. Percayalah, itu sama sekali tidak benar. Untuk ukuran keluarga kami yang tidak kaya namun juga tidak miskin; sangat sangat dan sangat kesulitan membiayai kehidupan kami sekeluarga sehari-hari.

Aku memutuskan untuk menikah dengan orang kaya dengan harapan bisa menyokong keuangan keluargaku.

Semakin bertumbuh besar aku bertemu dengan seorang pemuda yang mendekatiku. Awalnya aku tidak menyukainya, mungkin karena aku membiarkannya selalu mendekatiku; mengunjungi rumahku tiap hari; bersikap manis pada keluargaku; membawa oleh-oleh tiap kali datang berkunjung; gadis mana yang tidak akan luluh dengan sikapnya?

Pemuda ini tidak tampan ataupun jelek, tapi sikapnya sangat manis dan membuatku merasa senang bersamanya. Singkat cerita aku menerima lamarannya setelah menjalin hubungan selama tiga tahun.

Beberapa saudaraku tidak menyetujui hubunganku dengan pemuda ini walaupun ibunda kami sudah memberi restu.

Malam hari sebelum hari pernikahan kami, ibunda tercinta kami terkena serangan jantung hingga maut menjemputnya. Aku menangis sangat keras dan tidak bisa tidur semalamam.

Padahal biasanya seorang calon pengantin perempuan harus tidur lebih awal untuk bisa bangun pagi dan berdandan dengan secantik mungkin.

Akhirnya... aku menuruti permintaan saudara-saudaraku untuk menunda pernikahanku dengan tunanganku. Aku bersyukur karena tunanganku dengan sabar rela menugguku.

Setelah acara penghiburan dan pemakaman selesai, kami berkabung selama satu bulan penuh sambil mengenang kenangan indah kami bersama ibunda.

Ayah kami suda lama tiada semenjak adik bungsu kami masih bayi. Karena itu ibunda kami yang sebagai orangtua tunggal bekerja setiap hari untuk mencukupi kebutuhan kami.

Kakak sulung kami yang memasuki sekolah SMA bekerja sebagai pengantar koran untuk menambah uang sangu dirinya dan saudara-saudaranya. Kakakku bahkan rela tidak melanjutkan kuliah hanya untuk bekerja mencari uang pendidikan adik-adiknya.

Alhasil, kakak keduaku hingga adik kami terkecil berhasil lulus SMA dengan lancar. Tapi siapa yang menyangka.. ibunda akan meninggalkan kami semua sebulan setelah kelulusan adik bungsu kami... sehari sebelum hari pernikahanku?

Aku merasa dunia ini tidak adil. Hidup ini sangat menyebalkan. Aku membenci segalanya.

Di tengah-tengah kepurukanku, tunangankulah yang selalu bersamaku. Secara perlahan kesedihanku mulai berkurang dan aku memutuskan untuk menikah dengannya.

Seperti yang kuduga, saudara-saudaraku menentang keras pernikahan kami membuat hatiku memanas. Memang siapa mereka? Dimana mereka saat aku membutuhkan dukungan dan kekuatan? Kakak-kakakku yang sudah menikah menyembuhkan kesedihan mereka dengan keluarga mereka (ketiga kakakku sudah menikah). Sedangkan ketiga adikku... aku bahkan tidak tahu apa saja yang mereka lakukan semenjak ibunda kami tiada.

Pada akhirnya aku tidak menuruti kemauan saudara-saudaraku dan menikah dengan tunanganku tanpa upacara resmi. Saat itu usiaku hampir menginjak kepala tiga.

Kami hanya mengundang beberapa saksi dan menandatangani surat pernikahan kami di kantor pemerintahan.

Awalnya kami merasa berbunga-bunga dan sikap suamiku sangat baiiiiik padaku. Aku tahu aku mencari orang yang kaya untuk dijadikan suami, tapi suamiku sudah cukup untukku. Dia tidak kaya, tapi juga tidak malas.

Selama dia rajin bekerja untuk mencari uang, itu sudah cukup bagiku.

Saat pacaran dengannya dulu, aku tidak pernah melihat sisinya yang rajin bekerja ataupun sisi kelemahannya. Kini setelah menikah aku mengetahui hal-hal baru yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Misalnya saja, dia sangat ahli di bidang otomotif. Segala jenis kendaraan baik beroda dua maupun roda empat, dia bisa mengetahui nama tipenya secara detail; bahkan dia mengetahui harga pasarannya.

Kelemahannya adalah... kalau sedang tidur suara dengkurannya sangat keras membuatku tidak bisa tidur. Dan sesekali aku melihatnya merokok di luar rumah tanpa sepengetahuanku.

Kelemahannya bisa kuterima karena biar bagaimanapun dia adalah suamiku. Aku akan menerima semua kelebihan dan kekurangan yang dimiliki suamiku.

Aku mulai bersedih menginjak usia pernikahan kami yang kedelapan. Hingga saat ini kami masih belum memiliki seorang anak. Kenapa? Apa ada yang salah dengan diriku? Apa yang salah dengan suamiku? Aku sama sekali tidak mengerti.

Karena usia kami sudah tidak muda lagi dan kami sangat menginginkan seorang anak.. kami memutuskan untuk mengadopsi anak dari panti asuhan.

Kami memilih seorang bayi perempuan berusia tujuh bulan dengan kulit halus yang cerah serta bulu mata yang lentik. Aku menduga anak ini pasti cantik sekali kalau tumbuh besar.

Aku akan menyayanginya seperti anakku sendiri dan memberinya kebahagiaan yang tak ternilai untuk melihat senyumannya.

Begitu aku menggendong bayi perempuan cantik itu ke dalam pelukanku, saat itulah aku merasakan suatu perasaan yang tidak pernah kurasakan sebelumnya.

Apakah ini rasa memiliki hati seorang ibu? Apakah ibuku juga merasakan hal yang sama saat melihat anak-anaknya lahir?

Dia memang tidak merasakan kesakitan saat melahirkan dan tidak pernah mengalaminya.. tapi dia yakin, perasaan kasihnya terhadap seorang anak tidak kalah dengan kasih ibundanya.

Dia akan menerapkan segala ajaran, didikan ibunya pada bayi mungil itu.. tidak. Dia bahkan akan memberikan didikan yang lebih baik.

Aku memberi nama bayiku dengan nama ibuku, Siska.

Saat Siska berusia lima tahun, dia mulai mengerti akan mainan bagus dan baju indah. Apapun yang diinginkan Siska, aku pasti membelikannya. Untungnya, usaha suamiku berkembang pesat.

Kini suamiku membuka toko sepeda motor dan menerima jual beli kendaraan. Karena kota Rogojampi sangat kecil, toko suamikulah yang memonopoli tiap-tiap penjualan kendaraan.

Karenanya, aku tidak perlu khawatir kalau ingin membelikan barang-barang yang mahal pada anakku.

Hingga suatu hari.. Aku menemukan fakta bahwa suamiku membeli sebuah rumah baru tanpa sepengetahuanku. Dan dia membawa seorang wanita yang berbeda-beda ke dalam rumah barunya.

Barulah aku menyadari aku telah dikhianati.. suamiku berselingkuh dan sudah jarang pulang ke rumah kami.

Meskipun begitu aku tetap bersikap tegar dan mencurahkan semua kasih sayangku pada Siska.

Seiring berjalannya waktu, Siska yang sudah masuk SMA menjadi dingin padaku. Terkadang dia membantahku dan memarahiku dengan kata-kata kasar. Aku merasakan hatiku ditusuk oleh pisau berkali-kali dan hanya Tuhan yang mendengarkan jeritan tangisan hatiku.

Apakah ibunda juga merasakan sakit seperti ini saat aku berteriak dan memarahi beliau? Kalau iya, ingin rasanya aku bertemu dengan ibunda dan memohonkan maaf.

Aku tidak akan mengulanginya lagi jika seandainya ibunda masih hidup. Tapi semua sudah terlambat. Aku sudah tidak bisa bertemu dengan ibuku. Aku juga tidak bisa menebus segala kesalahanku pada ibu. Yang tersisa hanyalah penyesalan yang akan menemaniku seumur hidupku.

Anehnya... meskipun anakku menyakitiku hampir setiap hari, aku sama sekali tidak bisa mengeluarkan anakku dari pikiranku.

Bahkan saat suamiku menceraikanku, yang kukhawatirkan adalah keadaan putriku. Hingga suatu hari, Siska memutuskan kawin lari dengan pacarnya ke kota Yogyakarta.

Hatiku merasa diiris menjadi potongan-potongan kecil membuatku sesak untuk bernapas. Untuk pertama kalinya setelah kematian ibunda, aku membiarkan air mataku mengalir dengan deras hingga membasahi pipiku dan kerah bajuku.

Siska..Siska.. kenapa kau tega meninggalkanku seorang diri? Apakah kau tidak tahu kalau kau adalah satu-satunya alasanku untuk bertahan.

Berbulan-bulan aku tidak mendapat kabar dari putriku membuatku tidak bernafsu untuk makan. Akibatnya, aku jadi sering terserang penyakit. Entah itu adalah demam, batuk, atau flu biasa.

Aku agak sedikit merasa terhibur saat saudara-saudaraku mengunjungi rumahku secara bergantian. Mereka merawatku saat aku sakit dan menemaniku disaat aku merasa kesepian.

Bahkan mereka membawa pasangan mereka beserta anak-anak mereka. Tentu saja aku menyambut mereka dengan tangan terbuka dan mengasihi keponakanku dengan sama rata.

Tapi... ini semua masih tidak bisa membuatku melupakan Siska.

Suatu hari, telepon rumahku berbunyi dan aku mendengar suara yang sangat kurindukan.

"Mama.."

Mendengar suara Siska membuatku menangis terharu.

"Siska..Siska.. kamu dimana nak? Kok ga pulang-pulang? Mama kangen, ingin bertemu denganmu."

"Iya ma. Siska baik-baik saja kok. Siska sedang butuh uang. Mama punya uang berapa? Siska sudah kepepet."

"Iya. Berapa uang yang kamu inginkan?"

"Delapan ratus."

"Delapan ratus ribu? Itu gampang nak. Kamu pulang sekarang ya.." aku berusaha membujuknya.

"Juta mama. Delapan ratus juta.."

Aku sangat sangat terkejut mendengar jumlah angka yang sangat besar. Tapi aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Siska. Jadi aku segera menyanggupinya dan memutuskan untuk menjual rumahku.

Rumah ini diberikan suamiku disaat hari perceraian kami. Aku tidak tahu berapa besar nilai rumah ini, asalkan ada calon pembeli yang mau membelinya dengan delapan ratus juta, aku akan segera melepasnya.

Tidak kusangka, pembeli itu datang dengan cepat dan sering mengucapkan terima kasih padaku. Aku tidak memperdulikannya dan segera menghubungi Siska.

Aku segera menstrafer semua uang hasil penjualan rumahku ke rekening Siska dan menunggu kepulangannya.

Saudara-saudaraku memarahiku karena melepas penjualan rumahku dengan harga murah. Seharusnya rumahku bisa bernilai setidaknya dua milyar atau lebih.

Meskipun begitu, aku tidak menyesal dan menunggu kepulangan putriku dengan sabar.

Satu hari.. dua hari.. satu minggu.. satu bulan.. Aku tidak kunjung mendengar kabar putriku. Akibatnya aku yang saat ini tinggal bersama salah satu saudaraku hanya mengurung diri di kamar dengan hati yang hancur.

Aku selalu menanyakan keadaan putriku setiap hari hingga membuat keluarga saudaraku merasa kesal. Berulang kali mereka menyuruhku untuk melupakannya dan tidak perlu memikirkannya kembali.

Tapi.. aku tidak bisa melakukannya. Aku sangat menyayangi Siska dan tidak peduli apapun yang dia lakukan untuk menyakitiku, aku akan tetap menyayanginya.

Disaat usiaku menginjak enam puluh tahun, aku mendengar kabar bahwa mantan suamiku telah tiada. Aku masih saja memikirkan putriku saat mendengar kabar ini.

"Ah, Siska.. apakah kau tahu papamu sudah dipanggil ke Surga?"

Apakah suamiku masuk Surga? Aku juga tidak tahu dan aku tidak peduli.

Beberapa bulan kemudian Siska menghubungiku membuat hatiku kembali bergejolak.

"Mama, Siska butuh uang tiga ratus juta. Sekalian mama ke Jogja nemenin Siska. Bagaimana?"

Mataku berbinar-binar mendengar itu. Aku langsung mengiyakan dan menjual mobil lamaku, segala perhiasanku ditambah uang tabungan yang kusimpan selama puluhan tahun, genaplah tiga ratus juta lebih sedikit.

Saudara-saudaraku melarangku untuk pergi dan menolak untuk mengantarku ke stasiun kereta. Tapi aku tidak menuruti mereka dan berangkat sendiri ke stasiun dengan naik becak.

Sesampainya di Jogja Siska menjemputku dan memelukku dengan hangat. Aku bisa membayangkan kehidupan kami akan kembali seperti dulu. Siska bahkan memberiku kejutan dengan dua anak lucu. Mereka sangat imut sekali. Hatiku langsung jatuh hati pada mereka.

Selama beberapa bulan di Jogja, Siska sering meminta bantuanku untuk menjaga dan merawat anak-anaknya. Tentu saja aku mengabulkannya.

Aku menjaga mereka tiap hari siang dan malam tanpa henti membuat tubuhku yang sudah tua ini merasakan sakit yang luar biasa. Akhirnya aku jatuh sakit dan tidak bisa bergerak sama sekali.

Aku sadar dengan usiaku yang semakin tua, penglihatan dan pendengaranku akan menurun secara berkala. Tapi aku sama sekali tidak menyangka penglihatanku bisa menurun dengan sangat cepat.

Aku sudah menggunakan kacamataku tapi aku tidak bisa melihat dengan jelas apapun yang berada dalam jarak dekat. Aku berusaha menyipitkan mataku berharap bisa mendapatkan gambaran lebih jelas yang hasilnya sia-sia.

Penyakitku bertambah parah tiap harinya. Aku merasakan ada suatu benda tajam yang menancap di bagian punggungku. Aku tidak bisa menahan rasa sakit ini dan terus meneteskan air mata untuk meminta pertolongan.

"Siska.. bisa anterin mama ke dokter? Mama sudah ga kuat."

Siska mengiyakannya membuatku merasa lega. Siska mengantarku dengan sebuah mobil dan mengantarkanku ke suatu tempat yang bising.

Aku mendengar sebuah pengumuman yang mengumumkan kereta akan berangkat satu jam lagi.

"Siska sudah menghubungi saudara mama. Mereka akan menjemput mama di Rogojampi nanti.

Rupanya aku diantarkan Siska ke stasiun untuk memulangkanku. Hatiku merasa sakit dan untuk kesekian kalinya aku menjerit menangis dalam hatiku. Aku sama sekali tidak meneteskan air mata dihadapan anakku.

Saat menemukan sebuah kursi di dalam kereta dengn bantuan seseorang, barulah air mata mengalir dengan deras.

Sesampainya di Rogojampi, saudaraku membiarkanku beristirahat selama beberapa hari sebelum mengajakku ke kota Semarang.

Aku mendapatkan perawatan di rumah sakit membuat rasa sakit pada punggungku banyak berkurang.

Mereka menyuruhku untuk tinggal bersama adik bungsu kami di Semarang. Adik perempuanku yang paling kecil sama sekali tidak menikah dan menikmati kehidupan lajangnya.

Saat aku bertanya mengapa dia tidak mau menikah, jawabannya sangat menyakitkan hatiku.

"Aku ga mau punya suami yang berselingkuh dan anak yang tidak mau berbakti pada orangtuanya."

Aku hanya terdiam dan membiarkan diriku dilayani oleh adikku. Adikku yang membuatkanku sarapan dan menemaniku jalan-jalan di sekitar rumah. Sesekali dia tidak menyembunyikan rasa kebenciannya terhadap Siska yang sudah membuatku buta seperti ini.

Walaupun sering kali aku mendengar kebencian para saudaraku terhadap putri tercintaku, namun dihatiku tidak pernah timbul rasa benci itu.

"Kira-kira bagaimana kabarnya Siska ya?" terkadang aku melontarkan pertanyaan ini pada saudaraku.

"Bagaimana kalau Siska sakit? Siapa yang akan merawatnya?"

"Kalau dia ingin menghubungiku bagaimana?"

Tiap hari aku berusaha membujuk saudaraku untuk mengembalikan handphoneku agar aku bisa berkomunikasi dengan putriku.

Sayangnya semenjak aku pindah Semarang, saudaraku menyita ponselku dan hingga saat ini tidak memberikanku alat komunikasi apapun.

"Aku ingin bertemu dengan Siska. Ah, seperti apa ya kedua cucuku sekarang. Aku ingin sekali bertemu dengan mereka."

"Aku bahkan belum bertemu dengan suaminya. Ah, Siska.. seandainya kalian bisa datang kemari."

Tiap malam aku tidak pernah berhenti memanjatkan doaku pada yang diatas untuk terus memberkati dan melindungi Siska. Tidak masalah jika Siska tidak mau bertemu denganku, asalkan aku bisa tahu bahwa Siska dalam keadaan sehat dan tersenyum bahagia.. aku merasa aku bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang.

"Hanya satu permohonanku. Aku ingin mendengar suaranya terakhir kali sebelum kau mengirimkan malaikatmu untuk menjemputku." inilah isi doaku di suatu malam.

Malam itu dimana aku merasakan sangat berat untuk terbangun aku mendengar suara yang sangat kukenal.

"Mama..mama.. jangan tinggalkan Siska. Siska sangat tolol dan tidak tahu diri. Semalam Siska bermimpi tentang mama. Siska ingat segala kebaikan dan pengorbanan mama. Mama ayo bangun, jangan pergi dulu. Siska ingin menebus dosa-dosa Siska. Siska janji Siska tidak akan mengulanginya lagi."

Aku tersenyum mendengar itu. Ah, sungguh mimpi yang sangat indah membuatku tidak ingin terbangun lagi. Akhirnya aku bisa mendengar suara putri yang kurindukan.

Hatiku terasa terenyuh mendengar permohonan maaf putri tercintaku dan ingin sekali mengatakan padanya bahwa aku menyayanginya.. Aku masih mencintainya.

'Siska, sampai kapanpun aku akan selalu menyayangimu.' sayangnya, aku sudah tidak bisa lagi membuka mataku. Badanku terasa berat dan secara perlahan kesadaran dalam pikiranku menghilang.

Seandainya, seandainya aku juga memiliki kesempatan untuk meminta maaf pada ibuku.. Ah, alangkah baiknya.

Fin.

avataravatar