1 Ceroboh!

Brak!

Suara pintu yang tak berdosa kubanting dengan kesal, aku main nyelonong masuk kedalam dengan tergesa-gesa. Padahal bukan rumah sendiri.

"Ada apa sih Ir nyuruh aku kesini, lagi mager banget aku tuh buat keluar". protesku menggebu-gebu tanpa permisi.

"Wa'alaikumussalam cantik". Sindirnya

Aku tersadar dan nyengir melihatnya, "Ehehe... Assalamu'alaikum Ira. Eh, Kia juga ada disini." Ucapku semanis mungkin. Padahal tadi udah kayak cacing kepanasan.

"Wa'alaikumussalam Meira." jawab Kia.

Aku berjalan ke arah Kia dan memeluknya, rasanya kangen sekali dengan dia. Apalagi, jarang banget bisa ketemu kek gini.

"Ada yang salah kalo aku ngajakin kumpul? Jarang-jarang loh aku dirumah. Ini mumpung juga Kia dirumah, manfaatin waktu. Ngerti?" Jelas Kia.

"Ya nggak gitu juga dong. Harusnya, kamu itu kasih alasan yang jelas." Ucapku.

Ira melotot kearahku, "kalo nggak ikhlas sana pulang, rumah jarak deket aja kok banyak ndumelnya. Apalagi kalo rumah jauh, tujuh hari tujuh malam tuh nggak mau diem."

"Dih, malah ngusir. Beneran ku tinggal pulang baru tau rasa, wleee." Ledekku pada Ira.

"Pulang aja sana pulang, ayo cepetan. Sebel banget punya temen kek kamu." Ira berlalu dari hadapanku.

"Hmm..." Gumamku sebagai bentuk persetujuan. Okey, aku ngalah.

Aku sendiri sebenarnya nggak tau kalo Kia juga berada dirumah, andai aku tau juga nggak bakalan protes kayak tadi. Ira aja tuh, nyuruh tanpa memberi tahu kepastian, malah cuma bilang ada deh. Dihh... Sok-sokan mau bikin surprise. Preeettt.

"Terus... Ini rencananya mau ngapain? Nggak cuma duduk bengong dirumah kamu doang kan?." Tanyaku.

"Tau tuh Ira, ngotot banget ngajakin kumpul. Padahal aku juga males banget, baru sampe rumah juga dia udah berisik neror habis-habisan". Gerutu Kia.

Ira berjalan mendekat sembari membawa jus dan meletakkannya diatas meja "hilih... Kenapa pada protes sih, ini nih mumpung kita-kita pada dirumah. Kapan lagi coba kita bisa kek gini, pada nggak nyadar ya kalian udah mirip sama Bu Toyib?." Ira menoleh ke arahku dan memicingkan matanya, "Dan kamu Ra, jangan anggap aku nggak tau ya sama apa yang lagi terjadi sama kamu. Sok-sokan bilang mager segala, aku tau kamu lagi nyembunyiin sesuatu kan dari kita."

Aku melotot, skakmat!. Dari mana dia tau coba? Padahal aku nggak ada cerita sama sekali dengan siapapun, gimana dia bisa tau coba. Hebat banget ini anak, udah kek dukun bisa tebak-tebak.

Duhhh... Mengelak gimana ya?.

"Nah.. diem kan", tegurnya.

Kia juga melihat kearah ku, "Ra..? What's happen?". Tanyanya.

Aku masih kekeuh diam menutup mulutku. Jawab apa ya, nggak mungkin dong aku bilang kalo aku udah putus komitmen. Batinku.

"Gamau bicara?." Desak Ira.

"Ra.. ngmong dong, kita udah temenan lama lohh, kamu nggak percaya sama kita?". Kia malah ikut-ikutan menyudutkan ku.

Duhh... Si Kia malah bawa-bawa pertemanan lagi, bukannya aku nggak mau cerita. Hanya saja, menurutku ada baiknya aku tidak cerita, toh aku sendiri sudah mengikhlaskannya jadi nggak perlu diungkit-ungkit lagi, bagiku ini juga bukan hal penting yang perlu banget untuk di ceritain.

"Kalo nggak mau jawab, aku aja yang bilang ya sama Kia." Ancam Ira.

Hih, bocah satu ini emang nyebelin!. Minta di lakban keknya tuh mulut, biar diem.

"Emm iya deh iya, aku kasih tau." Putusku untuk memberitahu mereka, kulihat senyum diwajah Ira, merasa puas karena akhirnya aku mengalah.

"Ehem. Em... A-aku...putus". Suaraku sedikit gugup.

"Haa..!!! Putus.. !!!". Jawab mereka kompak.

Aku terkejut karena Ira ikut kaget mendengar pengakuanku. "Se-serius Ra ?." Sambung Ira.

"Heh, kok kamu kaget sih, tadi katanya sudah tau." tanya Kia, aku juga heran, padahal dia yang bilang sendiri tadi.

"Yee... Padahal yang aku maksud bukan ini, tapi sumpah! Demi, demi apa kamu bisa putus sama dia." Cerocosnya.

Bodohnya aku, kenapa tadi nggak tanya Ira dulu sih, jadi aku sendiri kan yang buka peluang buat mereka.

"Nggak jodoh mungkin." Jawabku simple.

"Nggak jodoh, nggak jodoh mulutmu kalo ngmong itu loh. Minta di tabok." Ujar Kia.

"Ya emang gitu Ki, mau gimana lagi. Buktinya sekarang aku putus, berarti nggak jodoh kan."

Kia dan Ira masih tetap tak terima atas penjelasan singkat ku, aku tau tingkat kekepoan mereka itu tinggi, sama halnya denganku jika ingin tau. Lebih baik aku pergi aja. Batinku.

Aku sudah berdiri, mereka serempak memandang ke arahku. Nah kan, sudah kuduga, mereka itu keponya akut.

"Hmm... Ngapain berdiri, mau kabur ya?". Sinis Ira

Aku nyengir "hehehe... Nggak kok, enggak. Itu, aku emm aku..." Ayo dong Meira pikirkan alasan yang logis, supaya mereka nggak tanya-tanya lagi.

"Aku apa? He! Mau kemana?". Todong Kia.

"Mau... Em ke toilet dulu". Seketika aku langsung lari dari hadapan mereka berdua.

🍂

Ira datang menggedor pintu kamar mandi dengan cukup keras, tau aja sih kalo aku mau menghindari dengan berlama-lama disini.

"Udah deh nggak usah gitu, cepetan keluar. Nih, hp kamu bunyi ada pesan kayaknya." Teriaknya dari luar.

"Buka aja nggak papa, aku masih butuh dikamar mandi, bentar lagi aku keluar kok." elakku.

Derap langkah kaki Ira terdengar menjauh dari tempatku bersembunyi, mungkin dia kembali keruang tamu. Pikirku.

"Meira..!!! Meira..!!! Cepetan sini" teriak Ira dan Kia

Aku terkejut mendengar teriakan mereka berdua, ada apa? Pikirku. Aku berlari tergopoh-gopoh kearah mereka, aku takut terjadi sesuatu.

"Kalian kenapa teriak sih, ini rumah ya bukan hutan. Sakit telinga tuh tetangga kamu Ir dengar teriakan kalian berdua." Keluhku.

Ira maju kearahku dengan melihatkan layar hpku yang berada ditangannya, tepat didepan wajahku. Aku diam mematung melihatnya, kenapa aku bisa ceroboh sih kalo begini bakalan berlanjut interogasi mereka terhadapku.

Aku tersenyum melihat mereka "apa ada yang salah dengan pesan tersebut?." Tanyaku setenang mungkin.

"Ohhoo, apa tadi kamu bilang? Nggak ada yang salah?. Kamu berhutang banyak cerita pada kami Meira. Ayolah, kami siap dengar Ra. Jangan dipendam sendiri dong, ya?." Ira merangkulku, menguatkan hatiku.

Aku tau ini sangat berat, tapi jujur, aku sudah mengikhlaskannya. Kia juga mendekat kearah kami dan,

"Mau peluk juga dong." rengeknya.

Tiba-tiba kami semua tertawa, Allah, aku sungguh beruntung memiliki sahabat seperti mereka, meski tak selalu bersua tapi mereka tetap peduli terhadapku.

Aku melerai pelukan mereka, dan memandangi mereka satu-persatu. "Okey, aku akan ceritain. Tapi, sebelumnya aku akan ceritain awal mula semuanya. Supaya apa? Kalian tak hanya menilainya sebagai orang jahat yang tega nyakitin perasaanku. Agar kalian tau bagaimana dia yang sebenarnya, dan betapa baiknya dia terhadapku." Mereka kompak mengangguk.

avataravatar
Next chapter