23 Chapter 22.

"Om! Lihat bangau itu!" teriak Albert menunjukkan seekor bangau berdiri salah satu ranting pohon kering mendekati danau itu.

Banyak pengunjung membuat anak itu kesulitan melihat bangau seluruhnya. Maka Nico mengangkat Albert menduduki pundaknya di belakang. Maka dengan bahagia anak itu bisa melihat seluruhnya.

"Jangan terlalu masuk ke hati atas ucapan istriku tadi." Chandra bersuara sembari mencari suasana percakapan.

"Hmm ..." Hanya deham'an saja dari Nico. Chandra tidak merasa tersinggung atas deham'an itu.

Ya, mungkin kecanggungan itu pula membuat Chandra sedikit kurang bergaul dengan lainnya. Walaupun Chandra tidak terlalu kenal siapa Nico hanya sekilas dari cerita Fera. Bahwa wanita yang dia nikahi adalah perjodohan seperti dirinya waktu bertemu dengan Fera.

Namun mengenai cerita Fera, pernikahan antara Nico dan Monika itu tidak selancar daripada dirinya. Awal sih  Chandra sama seperti Nico perjalanan pernikahan pertama kali. Jika pun diingat kembali, tidak beda jauh watak Nico dengan Fera. Namun watak Fera masih bisa diatasi dengan kelembutan beda dengan Nico, selembut apa pun tetap saja pendirian dia tidak tergoyangkan.

"Papa! Lihat ada ikan koi!" teriak Claudia pada Chandra sembari menunjukkan di bawah danau terdapat beberapa ikan koi muncul setelah diberi makanan.

"Hati-hati jangan terlalu dekat!" balas Chandra mengingatkan pada putrinya. Tentu Claudia menuruti perkataan Chandra. Disela keramaian, Albert juga ikut melihat ikan itu ditemani oleh Claudia. Pastinya didampingi oleh seseorang juga di sana.

"Oh ya, kita belum kenalan. Namaku Chandra, selaku suaminya Fera dari teman istrimu," ucap Chandra sembari mengulurkan tangannya arah Nico. Tetapi Nico tidak menyambut tangan itu, dia sibuk dengan ponselnya.

Chandra mengerti dia pun menarik tangannya kembali. Terasa malu diacuhkan, bagi Chandra dia biasa saja tidak mudah untuk tersinggung akan hal ini. Tiba-tiba ponsel Chandra berdering ternyata dari Fera.

"Chan, aku sama Monik jalan-jalan sambil cari tempat enak dulu  nanti kamu susul ya," ucap Fera memberitahukan kepada Chandra.

"Oh? Ya sudah, nanti aku susul," balasnya kemudian. Lalu panggilan itu pun terputus.

Duduk tidak ada percakapan apapun di antara mereka berdua, bosan juga tidak ada basa-basi lagi.

"Kenapa kamu bisa sabar hadapi sifat istrimu itu? Sebenarnya aku sedikit tersinggung atas ucapan dia tadi. Apalagi menyangkut nama Aldo di depanku. Aku tahu dia sengaja berkata seperti itu agar terbawa emosi, tapi tetap saja aku tidak suka cara dia terang-terangan," ungkap Nico akhirnya membuka suara juga.

Chandra melirik kemudian berbalik ke arah depan sambil memperhatikan putrinya asyik melempar makanan kepada ikan koi itu.

"Sebenarnya aku sudah lelah hadapi sifat dia. Kalau bukan karena perkataan orang tua. Sabar itu ada hikmahnya, bahkan aku sering bertengkar dengan dia setelah menjalankan sebagai suaminya. Apalagi menikah dengan wanita itu belum ku ketahui sifat-sifatnya. Bahkan keras kepala dia itu cukup menyiksa," ucap Chandra menceritakan kisahnya saat pertama kali berjumpa dengan Fera di hari perjodohan tersebut.

Nico bungkam tidak membalas ucapan Chandra, tetapi dia merasa watak Fera hampir sama dengan wataknya. Dia juga sadar melihat sifat istrinya, begitu tenang, sabar setiap omongan dia yang selalu kasar padanya. Apakah pertanda dia harus memulai untuk mengenal sosok Monika sebenarnya.

"Kadangkala sifat-sifat manusia itu sulit untuk kita ubah. Bahkan mengubah sebagaimana pun tetap saja sifat itu tetap berulang. Hanya cara yang mengatasi agar sifat yang keras tidak untuk dibalas dengan kekerasan. Tetapi kelembutan, dari keras ke lembut itu pula akan luntur. Seperti Fera, dia memiliki sifat sangat susah diatur," cerita Chandra tentang Fera kepada Nico.

"..., waktu aku jadi suaminya pertama kali dihari pernikahan. Dia masih labil, suka-suka, apalagi berfoya-foya. Bahkan suka reunian sama teman-temannya. Materialistik itu selalu lebih dia pentingkan daripada masa depan dia yang sekarang menjadi seorang istri. Cara agar dia berubah dengan kesabaran dan kelembutan untuknya. Ketika orang tuaku datang ke rumah untuk menginap, dia masih seperti biasa. Namun kami memaklumi, karena dia belum terbiasa menjadi seorang istri, larut demi larut semua berjalan lancar. Tanpa aku ajari dia memahami situasi dari sekitarnya," lanjut Chandra bercerita tentang Fera.

Nico menyimak sangat baik, dari cerita Chandra. Nico dapat menyimpulkan bahwa Chandra adalah seorang suami patut dibanggakan. Bisa mengatasi watak keras kepala seperti Fera. Bagaimana dengannya, apakah Monika bisa seperti Chandra.

"Aku menikah dengan Monika karena terpaksa," cerita Nico kepada Chandra. Mungkin dengan cerita sesama pria. Akan ada jalan keluar bagaimana mengatasi hubungan sebagai suami yang baik.

****

"Terpaksa karena memberi kebaikan untuk kamu juga. Kadang apa yang kita jalani itu seperti sesuatu hal tidak lazim. Bahkan kita tidak bisa menolak atas tindakan yang membuat hal telah matang di depan mata," ucap Chandra menyimpulkan kalimat di lontarkan oleh Nico tadi.

Nico menghentikan ponselnya, kemudian menarik napasnya dalam-dalam sembari mendongak sambil menatap pepohonan yang bergoyang pengaruh angin sore hari.

"Ya bisa saja itu benar, tapi apa kamu tahu. Hal itu sangat menjengkelkan banget buatku. Saat aku berkunjung di rumah dia, aku tidak tertarik dengannya. Jika bukan permohonan dari seseorang yang buat aku tidak bisa menolak dengan baik," ungkapnya kemudian.

Ya, Chandra paham ungkapan dari Nico, bagaimana perasaan dia ketika menerima pernikahan dari perjodohan yang tidak setara itu. Mungkin sebaliknya dengan Monika sama, dia juga tidak bisa menolak pemilihan dari orang tuanya menerima perjodohan dari keluarga Nico. Berarti Chandra lebih beruntung daripada Nico. Permasalahan ini pun lebih rumit ketimbang perjalanan kisahnya dengan Fera.

"Aku paham perasaanmu, itu pasti sulit sekali. Apalagi pernikahan yang membuat kamu tertekan. Mungkin saja pemilihan meminta kamu segera menikah untuk tahu arti pernikahan sesungguhnya itu seperti apa," jelas Chandra pada Nico.

Nico tertawa kecil seakan penjelasan Chandra itu sangat lucu. "Lama-lama kamu seperti penasihat bhiksu ada di Vihara itu. Berpidato panjang lebar."

Chandra cuma tersenyum tipis, ya, dia tahu tidak akan yang bisa menerima nasihat itu kepada siapa pun. Mungkin ada benarnya Chandra lebih pantas menjadi seorang bhiksu memberi nasihat-nasihat kepada orang-orang.

"..., tapi ada benarnya. Demi kebaikanku, sejak aku ditinggal seorang diri dari kedua orang tuaku yang sibuk dengan pekerjaan hingga lupakan aku dan cuma meninggalkan harta warisan kekayaan kepadaku untuk memintaku meneruskan bisnis perusahaan mereka. Jika bukan nenek Gwen selalu sabar menemaniku dan merawat ku dengan baik, keangkuhan ku inilah buat semua orang benci karena sikap kerasku," tambah Nico menceritakan masa lalunya kepada Chandra.

Chandra beranjak dari duduknya sembari melihat jam tangan telah pukul 5 sore tidak terasa dia dan Nico duduk di sini hingga lupa waktu. Pasti Fera dan Monika sudah menunggu mereka datang menyusul.

Tidak lama kemudian Claudia dan Albert pun puas dengan ikan koi mereka berikan makanan itu. Sepertinya perut dua anak itu mulai terasa lapar. Mereka pun beranjak dari sana kemudian menghampiri dua pria dewasa itu.

"Om! Lapar, Om!" celoteh Albert menarik celana Nico yang belum beranjak dari duduknya.

Chandra malah membersihkan baju Claudia yang terjiplak air tadi habis berikan ikan koi tersebut. Albert menunggu respons dari Nico, bukan Albert lagi walau dia kadang suka jail.

"Om!" panggilnya lagi.

Merasa dicuekin, Albert pun kebingungan dia pun tidak memaksa Nixon untuk membawa dia untuk mencari makan. Hanya dengan iming-iming sekitar tempat jualan kaki lima, orang-orang pada duduk di sana sambil menyantap sajian camilan di meja masing-masing.

Albert pun kaget ketika tubuhnya melayang ke udara. Nico mengangkat tubuhnya untuk mencari makanan buat dirinya. "Eh? Om?"

"Katanya lapar? Mau makan apa?" respons Nico dan bertanya padanya.

"Albet mau tela-tela!" jawabnya kegirangan, sambil menunjukkan di mana tela-tela itu dijual. Nico pun tunjukkan dari Albert. Sebaliknya dengan Chandra juga ikut membawa Claudia ke sana.

****

"Jadi, setelah menikah dengannya? Hari-hari kamu bagaimana? Sori sekali lagi, kalau saja kamu beritahu ke aku soal acara pernikahan kamu dua tahun lalu, pasti aku tidak akan membatalkan kepergian liburan ke Singapura," ucap Fera merasa menyesal sekali tidak bisa hadir di acara pernikahan Monika dan Nico.

Monika hanya beri sebuah senyuman tipis, di hari pernikahan dia selenggarakan juga tidak begitu mewah sekali. Hanya makan biasa-biasa lalu esoknya tanpa ada basa-basi lagi.

"Pernikahan aku itu tidak semewah seperti teman-teman kita. Acaranya sederhana, cuma makan keluarga besar saja. Tidak mengundang semua orang. Sebenarnya mama dan papa menginginkan acara mewah, hanya saja pihak pria tidak mau. Ya mau tak mau turuti saja gitu," kata Monika sambil memainkan sandal jepit sederhana itu.

Fera sambil mengelus-elus perutnya, makin besar makin capek. Tapi bukan Fera kalau soal jalan-jalan, dia bersandar punggung di kursi panjang yang dingin itu sambil memperhatikan anak-anak lain tengah bermain di sana.

"Jadi, kamu tidak berencana punya anak? Mungkin cara punya anak, dia bisa berubah," usul Fera kepada Monika.

Monika juga ikut melihat anak-anak tengah asyik main di sana. Bahagia sekali melihat wajah anak-anak lainnya. Jadi teringat Albert, Monika tentu menginginkan hal itu, tapi belum diberikan terbaik. Terlihat sedih di wajahnya. Apalagi mengingat ucapan dari mamanya soal ramuan rempah-rempah diberikan padanya.

"Setelah anak kedua aku melahirkan, kamu boleh jadi orang tua angkatnya kalau kamu mau?" tambah Fera berkata, sontak Monika langsung menoleh kaget.

"Hah? Jangan! Akan ada waktunya aku punya anak sendiri," tolak Monika halus.

"Tidak apa-apa, aku juga berencana akan bilang ke Chandra soal ini. Ada bagusnya anakku punya orang tua angkat sebaik kamu. Ya sebagai pengganti aku dan Chandra. Jadi kalau ada apa-apa, kamu bisa sering berkunjung ke rumah kami atau anakku ku titipkan ke kamu. Kamu tahu mama dan papa mertuaku tidak akan sanggup jagain kedua-duanya, jaga Claudia saja sudah kewalahan, apalagi aku yang sibuk tidak menentu," cengiran Fera berharap banget Monika mau menerima tawaran itu.

Monika beralih tempat lain, dia sebenarnya juga mau. Tapi tidak enak dengan Nico, pasti nanti diomelin lagi, ditegur. "Tapi Terima kasih banget, sepertinya tidak usah. Aku tidak ingin dia kecewa akan hal ini. Apalagi belum bisa berikan keturunan untuknya. Padahal sudah berusaha, kelak aku pasti punya anak dari rahim ku sendiri," tuturnya kemudian.

Selang beberapa lama kemudian Nico, Chandra, Claudia, dan Albert pun menyusul Monika dan Fera tengah duduk di taman bermain anak-anak.

Albert turun dari gendongan Nico sambil berlari kecil memegang plastik transparan berisi camilan itu.

"Tante Monik! Lihat apa yang Albet pegang?" sambut Albert tunjukkan pada Monika.

Monika pun menanggapi anak itu dengan wajah yang berlepotan karena memakan tela-tela. "Ya ampun makan segitunya, enak?" tanya Monika, kemudian membersihkan sudut pipinya penuh bumbu balado itu. Lalu Monika menoleh arah Nico berdiri di sampingnya Albert setelah dibersihkan oleh Monika.

Nico berpaling tempat lain, ada rasa aneh saja jika dilihat oleh istrinya sendiri. Beda dengan Fera dan Chandra. Claudia menceritakan tentang ikan koi saat dikasih makanan kepada mereka. Chandra membuka tas kemudian berikan vitamin untuk istrinya, ya, Chandra tidak ingin istrinya kelelahan selama jalan-jalan seharian.

"Habis ini, nanti di rumah aku mau cerita sesuatu padamu," bisik Fera pada Chandra, Chandra tidak merespons cuma bisa beri senyuman manis di depan istrinya sendiri. Ya, pasti ada banyak percakapan dengan temannya itu. Makanya Fera berbisik seperti itu ada maksud lain.

****

avataravatar
Next chapter