21 Permintaan Gu Jinglei

Mu Tiansu memandang sinis ke arah Gu Changdi, sementara Dong Liwen memilih bungkam. Pasangan suami istri itu bersikap dingin setelah mengetahui Gu Changdi datang mengunjungi mereka.

"Apa kau datang ke sini untuk menghina kami lagi? Seperti yang sudah kakekmu lakukan pada kami, hm?" cibir Mu Tiansu.

Gu Changdi menautkan kedua alisnya. Ia melirik Su Huangli meminta kejelasan. "Kakek datang ke sini?" tanyanya sedikit berbisik.

Su Huangli hanya mengedikkan bahu sebagai respon.

"Jangan berpura-pura tidak tahu, Gu Changdi! Kau pikir kami ini bisa dibodohi dengan orang kaya seperti kalian? Tidak akan!" teriak Mu Tiansu mulai lepas kontrol.

Gu Changdi tersenyum sinis. "Sayangnya, kalian memang orang yang sangat bodoh. Hanya karena harta kalian rela melakukan apa saja. Termasuk mencelakai keponakan kalian sendiri. Sudah sepantasnya kalian membusuk di penjara."

"Apa katamu?!"

Su Huangli menahan napas karena emosi Mu Tiansu berhasil terpancing. Ia terheran melihat Dong Liwen tak berbicara sepatah katapun.

"Kalian akan mendapatkan balasan atas perbuatan yang sudah kalian lakukan pada Lin Xiang." Gu Changdi mengeluarkan seringaian khasnya. "Akan aku pastikan, hukuman yang kalian terima sangat berat. Kau hampir saja membunuh gadisku!"

"Dia masih hidup?" Mu Tiansu balas tertawa mengejek. "Sayang sekali, padahal aku menginginkan kematiannya."

Mata Gu Changdi melotot tajam dan segera merangsek maju. Ia menarik kerah baju tahanan Mu Tiansu.

"Katakan sekali lagi ...," mata Gu Changdi menyalang ke arah Mu Tiansu yang sedikit bergidik ketakutan. Wanita itu tak mengira reaksi Gu Changdi jauh lebih temperamental ketimbang Gu Jinglei.

"Apa kau ingin membunuhku?" Mu Tiansu masih mencoba mengancam. "Silakan saja. Ta-tapi ... kau sendiri yang menanggung akibatnya."

Su Huangli dan Dong Liwen panik melihat sorot mata Gu Changdi memancarkan kobaran api. Terlebih saat kedua tangan pria itu sudah berpindah di leher Mu Tiansu.

"Changdi, hentikan! Jangan kotori tanganmu!" Su Huangli berusaha menarik Gu Changdi, tetapi adik sepupunya itu tetap bergeming.

Mu Tiansu terbatuk hingga memancing kepanikan Dong Liwen. Pria itu berteriak, disusul kedatangan beberapa sipir yang segera memisahkan keduanya.

"Lepaskan!" Gu Changdi kembali mengamuk dan mendorong beberapa sipir yang menghalanginya. Ia melangkah maju mendekati Mu Tiansu yang berada dalam pelukan Dong Liwen. Tetapi langkahnya kembali dihentikan oleh salah satu sipir.

"Tuan, kami mohon jangan memancing keributan di sini. Biarkan hukum berjalan sesuai proses penyelidikan dan pengadilan," ucap sipir itu mengingatkan. "Jika Anda bertindak gegabah, mereka mempunyai hak untuk berbalik menuntut Anda, Tuan."

Gu Changdi masih mengatur napasnya atas emosi yang menguasai dirinya. Su Huangli mengusap wajahnya kasar. Ia gemas atas temperamen Gu Changdi yang terkadang tidak bisa dikendalikan. Apalagi jika sudah menyangkut kepentingan Lin Xiang.

"Baiklah." Gu Changdi merapikan jasnya. "Aku tidak akan mengotori tanganku, karena kalian akan membusuk di penjara."

Mu Tiansu memilih bungkam lantaran tenggorokannya kesakitan usai dicekik Gu Changdi. Hampir saja nyawanya melayang di tangan pria itu.

"Pergilah," usir Dong Liwen. "Jika kalian hanya ingin memancing emosi istriku, sebaiknya jangan datang ke sini lagi."

Gu Changdi tertawa sinis mendengar kalimat Dong Liwen. "Aku senang melihat sikap yang 'sedikit' bijak darimu. Kau sepertinya sudah kapok mendapatkan pukulan dariku. Benar 'kan?"

Dong Liwen menggeram tertahan dengan tangan mengepal kuat. Tanpa mengatakan apapun, dia membawa Mu Tiansu pergi meninggalkan ruang kunjungan. Mengikuti dua orang sipir yang menuntun mereka di depan.

Salah seorang sipir menghela napas melihat adegan barusan, mengingatkannya kembali pada kejadian serupa saat Gu Jinglei datang menemui Dong Liwen dan Mu Tiansu. Ia tak habis pikir, bagaimana pasangan kakek dan cucu itu sangat nekat menemui tahanan tanpa ruangan yang dilengkapi bilik. Seolah sengaja memancing keributan dengan tahanan yang mereka temui.

"Kita pergi, Kak." ajak Gu Changdi lalu menoleh sekilas pada salah satu sipir. "Awasi terus proses penyelidikan dan pengadilan yang mereka jalani nanti. Aku ingin mereka mendapatkan hukuman yang setimpal atas kesalahan yang sudah mereka lakukan."

"Baik."

***

Rasa bosan mulai menghampiri Lin Xiang. Ia paling benci bila harus seorang diri dalam kamar rawat rumah sakit. Apalagi untuk sementara waktu, Lin Xiang harus mengandalkan ruang geraknya pada kursi roda. Ia merasa tidak berguna karena kondisinya ini merepotkan orang lain.

Beruntung Shen Wanwan dan Zhang Yiyi sudah memberikan pengertian padanya. Mereka menghibur Lin Xiang yang terus murung sepanjang hari, memikirkan nasibnya yang untuk sementara harus bergantung pada kursi roda.

Kedua sahabat Lin Xiang itu sudah pulang beberapa menit lalu, lantaran harus kembali bekerja di kafe. Su Rongyuan kembali ke mansion untuk mengambil pakaian gantinya, sementara Meimei pergi ke kafetaria rumah sakit untuk membeli makanan.

Gu Changdi?

Mendadak wajah Lin Xiang merona. Ia teringat lagi penjelasan yang sempat diutarakan Su Rongyuan. Menumbuhkan rasa penasaran dalam diri Lin Xiang.

Benarkah Gu Changdi sangat mencintainya?

Apa alasan Gu Changdi membiayai hidupnya sejak kepergian orang tuanya?

"Apa kami pernah bertemu sebelumnya?" gumam Lin Xiang setelah satu pemikiran itu kembali muncul dalam kepalanya. Namun, gadis itu hanya menggeleng kecil lantaran tak menemukan petunjuk apapun. "Hah ... aku benar-benar bosan ..."

Lin Xiang putuskan untuk tidur selagi menunggu kedatangan Gu Changdi. Ah, bahkan tanpa sadar jantungnya berdebar tidak karuan tiap kali menyebut nama Gu Changdi dalam hatinya.

CKLEK!

Belum ada 10 detik Lin Xiang memejamkan matanya, gadis itu mendengar seseorang membuka pintu. Tanpa ragu, Lin Xiang membuka matanya kembali sampai dihadapkan pada Gu Jinglei yang berdiri tak jauh dari posisinya dengan cengiran lebar.

"Aku membangunkanmu, ya?" tanya Gu Jinglei polos.

Lin Xiang menggelengkan kepalanya, ia mencoba bangun tetapi kemudian justru merasakan sakit di bagian punggung. Gu Jinglei yang melihatnya sontak mendekat, mencegah gadis itu bertindak gegabah.

"Jangan paksakan dirimu." Gu Jinglei membaringkan Lin Xiang kembali, "Kau tidak boleh sembarangan bergerak."

Lin Xiang mengangguk pasrah. "Kakek datang sendirian?" tanyanya sedikit melongokkan kepala ke arah pintu.

Gu Jinglei tertawa kecil. Ia bisa menebak siapa yang sedang dicari oleh Lin Xiang.

"Gu Changdi masih harus bekerja," Gu Jinglei kembali tergelak saat melihat perubahan raut wajah Lin Xiang yang seketika merona hebat. "Kau merindukannya?"

"Tidak!" sanggah Lin Xiang cepat namun sangat kontras dengan wajahnya yang merah padam.

Tawa Gu Jinglei pecah. Semakin ke sini dia semakin menyukai kepribadian Lin Xiang. Astaga, bagaimana bisa cucunya menyukai tipe gadis yang tidak jauh berbeda dengan Su Rongyuan?

Galak, tapi juga sangat manja.

"Bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah merasa lebih baik?" tanya Gu Jinglei memastikan. Ia sudah duduk di tepi ranjang Lin Xiang yang berukuran king size.

Lin Xiang mengangguk kecil. "Hanya bagian punggungku yang masih terasa sakit."

"Itu wajar karena punggungmu yang mendapat luka paling parah akibat pukulan benda keras," Gu Jinglei mengusap kepala Lin Xiang penuh kasih sayang, "Kau tahu, kami benar-benar ketakutan setengah mati saat kau hampir pergi meninggalkan kami. Untung saja, Tuhan mendengarkan doa kami dan kau berhasil selamat dari maut."

Senyum mengembang di bibir Lin Xiang. Ia sangat menyukai sentuhan tangan Gu Jinglei. Sudah lama sekali, Lin Xiang mendambakan sentuhan seseorang yang bisa dipanggilnya kakek.

"Aku baik-baik saja. Kakek tidak perlu mengkhawatirkanku." Lin Xiang terdiam sejenak sembari menarik napas. "Tapi ... untuk sementara waktu aku harus memakai kursi roda."

"Tidak apa-apa." Gu Jinglei mencoba memberikan pengertian. "Changdi sudah menjadwalkan terapi yang harus kau jalani. Percayalah, kondisimu akan lekas membaik seperti semula."

Mata Lin Xiang berkaca-kaca. Ia sangat terharu mendengar ucapan Gu Jinglei.

"Hei, kenapa kau menangis?" tanya Gu Jinglei sedikit terkejut mendapati mata Lin Xiang yang mulai basah karena air mata.

"Aku hanya terlalu bahagia, Kakek." Lin Xiang buru-buru mengusap matanya, "Aku bahagia sekali bisa bertemu dengan kalian. Akhirnya aku bisa memiliki kesempatan untuk memanggil seseorang dengan panggilan Kakek ...."

Hati Gu Jinglei tersentuh mendengar penuturan Lin Xiang yang terkesan polos. Ia sedikit menunduk lantas mengecup kening Lin Xiang.

"Kau bisa memanggilku Kakek sesuka hatimu, karena mulai sekarang kau sudah menjadi bagian dari keluarga Gu."

Kening Lin Xiang mengerut mendengar penjelasan Gu Jinglei.

"Apa maksud ucapan Kakek?"

Gu Jinglei meraih tangan Lin Xiang, kemudian menggenggamnya dengan erat.

"Aku hanya akan mengatakannya satu kali. Bisakah kau tidak menyela ucapanku?"

Lin Xiang mengangguk kaku sambil menutupi wajahnya dengan gugup. Ia benar-benar penasaran, apa yang akan diucapkan Gu Jinglei setelah ini.

"Lin Xiang ...."

Jantung gadis itu semakin berdetak liar.

"Menikahlah dengan Gu Changdi."

TO BE CONTINUED

avataravatar
Next chapter