1 Langkah Baru

 Cahaya matahari mulai masuk ke dalam kamar, menembus gorden biru yang terpasang di balik jendela. Burung-burung di pohon mulai berkicauan menyambut pagi yang cerah sambil memberi makan anak-anaknya. Jam menunjukkan pukul 9 pagi, suara alarm terdengar memenuhi ruangan sempit dan penuh dengan barang-barang yang berantakan. Suara kecil itu terus menyala, perlahanan-lahan membangunkan orang yang mengaturnya. 

 "Ughhh ... Sudah pagi ya ..." 

 Ia meraba ponsel yang terletak di meja di samping tempat tidurnya. Dalam kondisi setengah sadar, ia mematikan alarm tersebut dan membuka sebuah aplikasi pada ponselnya. Ia kemudian memutar sebuah pesan suara dari ayahnya yang dikirim beberapa jam lalu. 

 "Halo Rein! Bagaimana kabarmu disana? Apakah apartemennya memiliki lubang di dinding? Jika ada sesuatu, kabari ayah ya! Ayah akan pergi liburan sebentar, jadi ayah minta maaf jika terlambat membalas pesanmu."

 "Wah ... Ayah liburan lagi bersama tante." Ia meregangkan tubuhnya yang terasa pegal saat bangun tidur. "Hah ... Tidur cepat bikin pusing, tidur lama malah pegal-pegal."

 Reino Angelo, pemuda pengangguran yang tinggal sendiri di sebuah apartemen. Ia tidak banyak berinteraksi dengan tetangganya, tapi ia dikenal sebagai anak baik yang tinggal di lingkungan mereka. Karena ia lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar, tidak ada tetangga yang tahu bagaimana latar belakang kehidupannya.

 Ia berjalan ke kamar mandi sambil menggenggam ponselnya. Ia meletakkan ponsel tersebut di atas handuk dan mencuci wajahnya sambil memutar pesan suara dari sang ibu. 

 "Halo cintaku! Ibu baru saja naik pangkat di perusahaan ibu bekerja. Dengan begini, uang jajanmu juga ikut naik loh! Tapi jangan bilang apa-apa dulu ke kakakmu ya, karena ibu ingin memberikan kejutan untuk hari ulang tahunnya bulan depan. Kalau ingin sesuatu juga, jangan ragu untuk bilang ke ibu ya nak!"

 Pesan suara tersebut berputar cukup lama, menanyakan berbagai keseharian yang Rein alami hingga menu makanan yang ia konsumsi setiap hari.

 "Sampai nanti ya cintaku, ibu sayang kamu!"

 Pesan suara tersebut berakhir bersamaan dengan Rein yang selesai mencuci wajahnya. 

 Ia tersenyum kecil. "Selamat untuk kenaikan pangkatmu, ibu."

 Ia mengeringkan tangan dan mulai merekam balasannya. 

 "Aku baik-baik saja dan tidak sedang ingin sesuatu. Hari-hariku juga seperti biasa saja, tidak ada yang berubah. Sampai jumpa bu ..."

 Sambil membawa ponselnya, ia pergi ke dapur. Ia membuka kulkas dan mengambil makanan instan untuk sarapan. Setelah meletakkan makanan tersebut di dalam microwave, ia mulai membaca pesan-pesan dari orang lain yang ia terima. 

 "Hmm hmm, orderan lagi dan ..."

 Tiba-tiba, ada sebuah pesan yang membuatnya terkejut bukan main. Ia meninggalkan ponselnya di meja dalam keadaan menyala sambil berlari ke kamarnya untuk mengambil baju dan celana yang terlihat lebih bagus. 

 Pesan di ponsel tersebut bertuliskan, "Rein, aku berangkat ke apartemenmu ya!"

 Pesan tersebut berasal dari seseorang dengan foto profil karakter kartun tampan yang memiliki nama "Reka" pada kontaknya. Pesannya sudah dikirim sejak 30 menit lalu, dan bagian itulah yang membuat Rein menjadi panik. 

 Rein berlarian di dalam apartemennya sambil membawa baju gantinya. "Gawat! Kau harusnya bilang lebih cepat, Reka!"

 Ia langsung mandi dengan cepat dan membersihkan kamar apartemennya. Sebelum membuang sampah, ia menghabiskan dulu makanan instan yang ia hangatkan di microwave dan membuang sampahnya keluar. Setelah semuanya dianggap beres, ia duduk di sofa dan memeriksa ponselnya kembali. Belum ada pesan lanjutan setelah pesan terakhir dari Reka. Rein akhirnya menghabiskan waktu dengan menonton beberapa vidio di ponselnya.

 Beberapa saat kemudian, terdengar suara bel pada pintu. Ia sudah tahu siapa yang datang dan segera membukakan pintunya.

 "Rein!" Seorang gadis berambut panjang berdiri di depan pintu apartemennya. Senyum manis terpampang pada wajahnya disaat pintu dibuka. Wajah dan suaranya tak asing, serasa baru kemarin Rein bertemu dengan gadis tersebut.

 "Ingat aku kan?"

 Reka adalah teman Rein sejak kecil yang sudah lama tidak bertemu karena kesibukan mereka masing-masing. Ada cukup banyak hal yang berubah darinya, tapi Rein masih bisa melihat ciri khas Reka yang ia kenal. Ia membawa tas modis dan menggunakan coat cokelat tebal dengan syal hitam putih, meskipun hari itu tidaklah dingin.

 "Dadakan sekali sih ..." Rein mempersilahkannya masuk dan menunjukkan rak sepatu padanya. 

 "Maaf," jawab Reka sambil melepas sepatunya. "Tapi aku memang akan berada disini untuk sementara."

 Rein terkejut mendengarnya. "Eh? Bukannya kau bekerja?"

 Reka balik terkejut mendengar pertanyaan Rein. "Bekerja?"

 Rein menatap Reka. "Eh?"

 Terjadi kesalahan komunikasi diantara mereka. Rein akhirnya menyuruh Reka pergi ke ruang tamu dan menceritakannya secara singkat dan padat.

 "Jadi ..." Rein berpikir, memproses ucapan Reka. "... Kau disini karena sedang liburan kuliah?"

 Reka mengangguk sambil meletakkan tasnya di meja. "Ya."

 Rein duduk di seberangnya dan lanjjt bertanya, "Bukannya kau sedang bekerja?"

 "Aku belum bilang ya?" Reka membuka ponselnya, memeriksa histori percakapan ia dengan Rein. "Aku itu sudah berhenti bekerja tahun, karena tabunganku sudah cukup untuk kuliah."

 Reka terkejut ketika ia tidak menemukan percakapannya dengan Rein yang membahas hal tersebut. "Waduh, sepertinya aku benar-benar belum memberitahumu."

 "Begitulah." Rein berdiri dan mengambil dua gelas di rak piring. 

 "Kopi? Air putih? Teh?" tanya Rein sambil mengeluarkan beberapa kotak minuman siap saji. 

 Reka menjentikkan jarinya. "Teh saja!"

 "Segera datang."

 Sambil memasak air, Rein kembali menanyakan beberapa hal pada Reka. "Omong-omong, kau mengambil jurusan apa?"

 "Kedokteran."

 "Kau ingin jadi dokter apa?" 

 "Dokter umum saja."

 "Eh ... Bukannya kau dulu ingin menjadi dokter bedah?" Rein mematikan kompor setelah airnya matang. 

 Reka memalingkan pandangannya sesaat. "Hehe, setelah dipikir-pikir lagi, aku terlalu takut untuk menjadi dokter bedah."

 Rein menuangkan air pada gelas teh dan memberikannya lada Reka. "Jadi, kenapa kau kesini dulu? Kau bisa langsung ke rumah kan?"

 Reka menyeruput tehnya secara perlahan. "Tak apa kan? Aku kasihan mengingatmu yang kesepian terpisah dari orang tua, bahkan diusir dari rumah oleh kakaknya sendiri."

 "Terimakasih, akan kusampaikan bagian akhirnya pada kakak." Rein meraih ponsel dan membuka aplikasi pengirim pesan. 

 "Eh?! Bercanda!" Reka berdiri dan berusaha meraih ponsel Rein. 

 "Bercanda juga." Rein membalikkan ponselnya, menunjukkan bahwa ia hanya sedang membaca pesan dari ibunya yang baru masuk.

 Reka menjadi lega ketika mengetahuinya. "Hahhh ... Tapi kakakmu memang seperti mengusirmu kan?"

 "Tidak, kan aku yang ingin tinggal sendiri."

 Reka melihat sekeliling kamar apartemen Rein yang terlihat sepi. Hanya ada sedikit barang disana, dan warna sekitarnya juga sangat monoton. "Setidaknya sesekali sentuhlah rumput."

 "Kau pikir aku tidak sibuk?"

 Reka mengangguk. 

 Rein menghela nafasnya. "Hah ... Padahal kau tahu kalau aku bekerja sebagai editor vidio."

 "Itu sih bukan pekerjaan, tapi serabutan."

 "Yang penting bayarannya lumayan," jawab Rein dengan bangga. 

 Reka menarik tasnya mendekat, agar merk brand tasnya bisa lebih terlihat oleh Rein. "Adu?"

 Rein pura-pura tidak melihat hal tersebut. "Jadi kenapa kau memilih menjadi dokter umum?"

 "Heh, mengalihkan pembicaraan."

 Rein tersenyum. "Hanya perasaanmu saja."

 Melihat teh Reka sudah habis, Rein kembali membuatkan teh lainnya. Reka adalah orang yang sanggup meminum panas dengan santai. Rein kemudian bertanya beberapa hal lagi padanya. 

 "Jadi kenapa kau kesini? Jawaban tadi hanya candaan kan."

 "Kau tahu?" Reka membuka tasnya. 

 "Tidak."

 "Kau itu sebenarnya sakit, tapi kau hanya menyembunyikannya saja."

 Rein tertawa kecil. "Haha, sangat lu ..." Ia tiba-tiba terkejut dengan sesuatu yang dikeluarkan oleh Reka dari dalam tasnya. 

 "Rein, kau tak bisa berbohong padaku."

 Reka memasang sebuah taplak hitam dengan beberapa gambar persegi. "Sejak saat itu, aku belum pernah melihatmu bahagia."

 Ia mengeluarkan taplak yang lain dan meletakkannya di sebelah taplak sebelumnya, sementara Rein hanya terdiam menyaksikannya memasang taplak tersebut. Memori masa lalu mulai terputar di dalam kepalanya. 

 "Aku sudah mengenalmu sangat lama, dan senyum palsumu itu selalu menggangguku."

 Mendengar ucapan Reka, Rein langsung teringat dengan peristiwa yang terjadi 10 tahun lalu. Saat itu ia sedang bermain permainan kartu kesukaannya bersama sang kakak. Tiba-tiba, ia mendengar suara bantingan benda dan teriakan yang sangat keras. Ia mengingat jelas dengan apa yang pada saat itu kakaknya ucapkan. 

 Kakaknya menaruh sebuah kartu pada taplak dan berkata, "Rein, biarkan saja mereka. Jangan membuat perkelahian mereka mengganggumu."

 Setelah hari itu, ia menjadi sering melihat ibunya yang menangis dikala tiada orang selain mereka di rumah. Seluruh ketidaknyamanannya pada rumah terus menumpuk, hingga puncaknya berada pada beberapa bulan setelah kejadian tersebut. Orang tua mereka berpisah, ibunya pergi meninggalkan rumah, dan ayah mereka memenangkan pengadilan untuk hak asuh anak. Semenjak itu, Rein tidak menjadi dirinya yang sebelumnya. Ia yang sebelumnya sangat ceria dan menyukai banyak hal, berubah menjadi orang pendiam yang tak memiliki kecintaan terhadap hal apapun. Selama bertahun-tahun, ia hidup tanpa ada emosi yang berkesan di dalam hatinya. Jiwanya seakan mati, tapi hatinya sesekali masih suka memberikannya sedikit sentilan emosi yang membuatnya tahu bahwa ia masih hidup. 

 Reka kemudian mengeluarkan beberapa box kartu dan meletakkannya diatas taplak. "Karena itu, mulai hari ini aku akan menghilangkan senyuman palsu itu."

 Ia tertawa kecil. "Haha. Aku tahu itu tidaklah mudah, tapi ..."

 Ia membuka salah satu box kartu dan mengeluarkan seluruh isinya diatas taplak. "... Secara perlahan, aku akan membawamu kembali pada sesuatu yang dulu pernah kau cintai, Rein."

avataravatar
Next chapter