9 Jangan Bunuh Dia!

Desa Sekartaji,

Setelah perjalanan yang cukup lama, akhirnya Tama sampai ke desa tunangannya itu. Cukup melelahkan sekali karena beberapa kali dia salah jalan dan harus sering berhenti untuk tanya kepada orang-orang mengenai alamat desa Sekartaji. Tapi untunglah sekarang sudah sampai, Meski hari mau menjelang magrib.

Saat mobil berhenti tepat dipelataran rumah itu, terlihat ibu dan anak itu sedang berdiri menunggu di teras. Raflina pun tergopoh-gopoh menghampiriku.

"Kamu darimana saja? aku cemas nyariin kamu." tukas gadis itu yang tanpa sadar membuat darah Tama berdesir. Dia sangat senang sekali karena gadis yang dicintainya itu mengkhawatirkannya, berati dia sangat berarti baginya. Selama ini, Raflina sangat jarang menunjukan kepeduliannya, dia adalah gadis cuek dan dingin. Sehingga Tama harus berusaha keras untuk mendapatkan perhatiannya. meskipun hubungan mereka sudah mau ke jenjang yang lebih serius, tapi gadis itu tidak menujukan seuatu yang 'lebih' kepada Tama.

"Kok kamu bengong sih!" imbuh Raflina dengan wajah judesnya, yang membuat Tama tersentak akan lamunannya. Tama berdehem sejenak untuk mengusir kekikukannya, dan menampilkan senyum yang paling manis.

"Pulsaku habis sayang. makanya aku tadi buru-buru pergi ke kota untuk beli pulsa. Tapi, Pas pulang aku tersesat." Jelasnya. Tapi raut wajah Gadis itu seolah menunjukan kecurigaan.

"Yakin pergi ke kota? Kok penampilan kamu awut-awutan seperti ini?" ucapnya dengan seakan menohok hati Tama. Pria itu gelagapan. Dia pun bercermin di spion, untuk memeriksa penampilannya. Ternyata benar, rambutnya acak-acakan dengan wajahnya yang kusam. Ini pasti karena tadi dia di rumah peninggalan belanda tadi. tapi dia tidak mungkin mengatakannya kepada Raflina. Pasti gadis itu akan mencecarinya dengan berbagai pertanyaan.

"Maaf sayang, tadi pas mau pergi, aku tidak sempat mandi. Lagipula tadi cuacanya sangat terik, anginnya kenceng lagi makanya aku tadi acak-acakan seperti ini." pungkas Tama setelah terbersit sebuah alasan di kepalanya.

Rafline menghela nafas sejenak. Nada bicaranya menjadi lebih lembut meski masih terkesan dingin. "Lain kali kalau mau pergi, tunggu aku dan ibu pulang dulu dari hutan."

"Dari hutan? Emang ngapain sepagi itu pergi ke hutan?" cerocos Tama ingin tahu. tapi gadis itu malah gugup dan mengalihkan pembicaraan.

"Sudah magrib ini, ayo kita masuk," tukasnya sambil berlalu dari hadapan Tama. Pria itu masih tercenung karena pertanyaan yang belum dijawab. Tapi, dia tidak ambil pusing. Tama pun turun dari mobilnya dan mengekori Raflina sampai di depan Ibu Lastri. Wanita setengah Baya itu tampak melirik tajam ke arahnya. Tama menunduk kikuk.

"Maafkan saya tante, tadi saya.." belum selesai Pria itu menjelaskan. Tapi wanita itu sudah masuk ke dalam rumah. Tama tertegun semalam calon mertuanyan itu terlihat sangat hangat dan bersahabat tapi sekarang berubah seratus delapan puluh derajat hanya gara-gara dia menghilang seharian. Atau mungkin ada alasan lain yang membuatnya berubah.

Raflina memegang lengan kekasihnya itu, seakan memintanya untuk memaklumi sikap ibunya. Tama lantas menoleh ke arah Raflina dengan kerlingan penuh kehangatan. Tama tahu meski Gadis itu dingin. Ada sebuah kehangatan yang terpancar di dalamnya.

"Yuk masuk." Ajak Raflina, mereka pun masuk ke dalam rumah itu.

Setelah makan malam selesai, Tama pun langsung menuju ke kamarnya. Tubuhnya lebih sekali karena menyetir seharian. Belum lagi kejadian yang dialaminya di rumah itu seolah menyita seluruh energinya.

Dia masih syok dengan kejadian itu, hanya saja dia memilih bungkam. terlebih selama makan malam tadi, Bu Lastri hanya terdiam seakan tidak menganggap dirinya ada, membuat perasaannya menjadi tidak enak. Dia menjadi serba salah. Tapi tatapan hangat Raflina meneguhkan hatinya.

Suasana yang dingin di meja makan itulah yang membuatnya tidak nyaman. Jadi setelah makan malam, dia pun langsung memutuskan masuk ke dalam kamar. walau sebenernya dia masih ingin berbicara dengan Raflina.

Sembari berbaring, pandangannya menerawang ke langit-langit yang tidak tertutup plafon itu. Semenjak keluar dari rumah Belanda itu, dia menjadi sangat resah tentang. serdadu jepang yang mirip dengan dirinya itu terusn membayangi pikirannya, menimbulkan sebuah pertanyaan besar tentang siapa sejatinya serdadu jepang itu.

Ah, mungkin saja itu sebuah kebetulan. Bukankah banyak orang di dunia ini yang memiliki wajah yang mirip secara identik dan mereka tidak mempunyai ikatan darah? Sepertinya dirinya dan serdadu jepang itu. begitu elaknya di dalam hati.

Tapi bagaimana kalau sampai Tama memiliki hubungan darah dengan serdadu jepang itu? yang berarti di dalam tubuhnya mengalir darah penjajah. Pasti akan terjadi petaka yang sangat besar bagi dirinya. Raflina dan Bu Lastri akan sangat murka. Cepat atau lambat Mereka pasti akan melenyapkan nyawanya.

Tama mengubah posisi tidurnya menjadi miring. Dia sangat gelisah sekali. Dia tidak sanggup membayangkan kalau sampai hal itu terjadi. Perjuangan cintanya selama bertahun-tahun akan kandas di tengah jalan, kalau sampai ketahuan dia memiliki darah penjajah!

Di tengah kegelisahannya, dia mendengar suara berisik di luar. Pria itu tertegun. Siapa yang berantem malam-malam seperti ini? apalagi di pinggir hutan seperti ini tentu tidak mungkin ada orang lain yang berantem. Pasti Bu Lastri dan Raflina.

Karena Penasaran, Tama pun berjalan mengendap-endap dan membuka pintu dengan sangat pelan. dari celah pintu yang terbuka, suara itu terdengar sangat jelas berasal dari teras.

"Kenapa kamu tidak mau membunuh lelaki itu hah?" bentak Bu Lastri kepada anaknya. Gadis itu tampak memegang tangan ibunya, berusaha untuk meminta pengertiannya.

"Tolong Bu, jangan bunuh dia. Raflina tidak mau kehilangan dia." rengek Raflina. seumur-umur, Tama baru mendengar suara hati tunangannya itu sekaligus sikap Raflina yang memelas. Hal itu sangat bertolak belakang dalam kesehariannya yang tampak arogan.

"Dari awal ibu tidak merestui kamu berhubungan dengan lelaki itu. Ingat dengan dendam leluhur kita Lina! Carilah pria yang memiliki ras keturunan penjajah sebanyak-banyaknya. Bantai mereka. supaya arwah leluhur kita tenang! Ingat Nenek Wagiyem Nduk! Dia sangat menderita akibat ulah penjajah yang seperti binatang itu!" tandas Bu Lastri yang mengenang alasan kenapa mereka melakukan insting sesat ini, supaya Gadis itu tidak lupa akan dendam yang harus di tuntaskan.

"Tapi, Tama itu bukan keturunan mereka Bu! Apakah aku harus membunuhnya!" sahut Raflina dengan air mata yang mulai berlinang, yang membuat hati Tama tersentuh. Seulas senyum terpancar di wajahnya. Ternyata Raflina sangat mencintainya meski tidak ada kata yang terucap tapi dari cara dia membelanya di depan ibunya itu sudah cukup membuktikan semuanya.

"Tapi, dia tahu dengan semua rencanamu Lina! Dan itu sangat membahayakan kita! bagaimana kalau sampai dia lapor kepada pihak yang berwajib? Hah?" ujarnya dengan nada suara yang ditekan rendah, sepertinya dia tidak ingin Tama mendengarnya. Tapi percuma saja, Pria itu tetap bisa mendengarnya.

Raflia terdiam. cukup lama dia terdiam sampai suasana menjadi sangat hening. Lalu sudut bibirnya naik ke atas, menyunggingkan senyum yang misterius. Dengan posisi masih menunduk, dia berkata.

"Ibu, Tenang saja saya jamin Tama tidak berani berbuat macam-macam."

avataravatar
Next chapter