webnovel

Chapter 14

Tulip meletakkan dua buku yang ia dapat di perpustakaan. Ia menatap buku yang Heros maksudkan. Pria itu tak menjelaskan apapun. Sampai sekarang ia tak bertemu Heros. Tak boleh keluar karena Draco. Menurutnya Draco pria paling bajingan yang pernah ia kenal. Hanya karena statusnya, atau status Agacia adalah seorang pelayan, ia memperlakukannya tak manusiawi.

Tulip mendesah sebal, ia sadar jika Draco bukan manusia, tapi iblis berwajah rupawan.

Tulip menatap dua buku yang ia bawa dari perpustakaan dengan wajah mengerut. Ia tak bisa membaca buku ini. Tulisan aneh ini sama sekali tak ia pahami. Tapi, kupu-kupu itu bisa membacanya. Tulip menatap sekeliling, tapi nihil, masih tetap tak ada.

Bahkan kupu-kupu itu tak terlihat sejak kemarin. Tulip menatap keluar jendela, matanya menemukan kupu-kupu biru itu. Dengan bahagia ia berlari membuka jendela lalu menutup dengan cepat.

"Kau kemana saja? Aku menunggumu sejak kemarin."

"Aku harus mengembalikan energi yang hampir habis." Kupu-kupu itu terbang mengitari buku.

Tulip langsung membuka buku itu. Buku kuno yang berisi manusia.

"Akan menjadi nenek moyang bangsa manusia pertama yang datang."

Tulip mendengar dengan saksama. Ia merasa aneh dengan kupu-kupu ini.

"Apa kau diutus Miorai untuk membantuku?" Tulip merasa aneh, tapi juga penasaran.

"Anggap saja seperti itu." Tulip merasa suara kupu-kupu ini tak asing.

Tulip kembali berfikir, apa yang dimaksud buku ini.

"Ada satu lembar yang hilang. Lembar paling terakhir."

Tulip menatap lembar terakhir buku itu dengan bingung. Ia baru tahu jika lembaran itu tak ada.

"Garis besarnya, buku ini bercerita tentang persahabatan antara Demons dan manusia zaman dahulu."

Tulip semakin penasaran. "Maksudmu dulu ada manusia yang datang ke sini? Apakah sampai sekarang mereka masih terhubung?"

Tulip pikir dengan mencari manusia lainnya ia bisa pulang.

"Sayangnya buku itu menjelaskan. Jika setelah perang besar berjuta-juta tahun yang lalu. Manusia itu kembali ke dunianya dengan satu perjanjian, dan takkan ada manusia yang datang."

Tulip menarik rambutnya frustasi. "Jangan pernah percaya pada siapapun."

Tiba-tiba kupu-kupu itu terbang pergi dan menghilang.

Pintu kamar terbuka. Tulip menatap Draco yang masuk.

"Bersiaplah, kita ada makan malam bersama keluarga kerajaan."

Tulip merasa ia belum siap. Selain merasa tak betah, ia juga terus waspadah pada sekitarnya. Entah misteri apa yang ia harus pecahkan?

…..

Tulip menatap sekeliling. Meja makan terlihat sangat hening. Ia merasa tidak cocok dengan suasana ini. Seperti makan dengan para mayat hidup.

Tulip makan denang tenang. Ia menelan salifanya saat mereka menyesap cairan darah yang tertuang di gelas masing-masing.

"Agacia kau juga harus menyesap darah rusa ini." Selir Herlin menyodorkan segelas darah dengan senyum lebar. Dan Tulip tahu senyum perempuan ini palsu.

Tulip merasa mual saat melihat pangeran Drew membersihkan sisa darah di bibirnya. Mungkin bagi mereka darah adalah minuman paling enak.

"Maaf ibunda selir, aku sangat tak enak badan, bisakah aku kembali ke kamarku?"

Tulip mengangkat wajahnya ke arah Draco. Berharap pria itu mau memahaminya. Tapi, yang Draco lakukan malah membuat Tulip kesal. Draco terus melahap daging rusa panggang dengan tenang.

"Pergilah." Tulip menalan ludahnya. Matanya bersitatap dengan Raja negeri ini. Wajah raja Dominic terlihat datar. Kesannya menyeramkan.

Tulip memberi hormat lalu berlalu pergi bersama para pelayan. Nafas beratnya terdengar saat ia sudah keluar dari pintu. Ia seperti baru saja terbebas dari rumah berhantu.

….

Semua yang ada di meja makan menoleh ke luar, hanya Draco saja yang terus makan. Mereka bisa merasakan suara berat Tulip. Karena pendengaran mereka tajam.

"Aku selesai."

Draco pergi begitu saja. Dominic mengepalkan dua tangannya. Draco tak pernah mematuhinya, bahkan tak perduli dengan tegurannya.

"Bukankah tak sopan, pergi begitu saja?"

Draco menghentikan langkahnya. Ia menatap wanita yang menjadi ratu negeri ini, menggantikan ibunya.

"Nikmatilah dengan bahagia." Bibir Draco terangkat sedikit lalu senyum itu pudar, menggantikan tatapan dinginya. Draco menghilang begitu saja.

"Anak itu." Ratu Marina mengepalkan dua tangannya di atas meja. Ibu dan anak sama-sama menyebalkan. Draco tak pernah menganggapnya sebagai ratu.

*

Tulip menelusuri jalanan menuju kastil Draco dengan lampu di tangannya. Lampu itu diberikan oleh para pelayan.

Tulip menatap langit malam, bulan bersinar dengan terang. Semilir angina malam menerpah wajahnya. Entah sudah berapa lama ia di sini.

Tulip menatap jalanan menuju kastil Draco, bunga-bunga sakura terbang tertiup angin. Ia rindu ayah dan ibunya.

"Apa kau akan terus berdiri menatap kastilku?" Tulip langsung berbalik menatap Draco yang berdiri di belakangnya.

Tulip mengerutkan keningnya saat Draco menarik dan memeluknya. Angin meniup wajah Tulip. Perlahan ia membuka matanya. Seketika Tulip tersadar, menatap sekeliling, dan matanya berakhir menatap pohon winter. Mereka berada di bukit yang sama, seperti pertama kali Draco membawanya.

Kerajaan Alcenaa sangat indah pada malam hari. Keduanya masih sama-sama terdiam.

Tulip menutup matanya, membiarkan angin malam menerpa wajahnya. Ia harus menikmati setiap momen keindahan di sini, sebelum kedepannya makin berat atau ia kembali ke dunianya.

"Terima kasih." Tulip tersenyum lebar masih menatap ke depan. Menikmati keindahan malam ini.

Tak ada jawaban dari Draco. Pria itu masih berdia diri. Tulip melilirik wajah Draco. Ia penasaran, apa yang Draco pikirkan.

"Kenapa kau membawaku ke sini?"

Tulip merasa kesal ketika Draco menjawabnya dengan kalimat menyebalkan.

"Agar kau bisa melihat keindahan di sini, sebelum kau mati."

Tulip mendengus malas. Ia merasa salah telah bertanya pada Draco. Pria menyebalkan yang telah menjadi suaminya ini selalu bersikap ketus dan menyakiti hatinya. Perlahan, ia mulai kebal.

"Ya, kau benar. Siapa lagi yang akan membunuhku selain kau?" Tulip tak mau kalah.

Draco terkekeh.

Keindahan kerajaan Alcenaa tak lagi menjadi pusat perhatiannya. Draco tersenyum? Tulip masih syok, pria yang tak pernah tersenyum, sekarang bahkan tertawa.

"Apakah kau kerasukan jin?"

Tulip mendengus lagi saat Draco malah membaringkan tubuhnya di atas rerumputan. Tulip juga ikut berbaring.

"Aku menghabiskan berates-ratus tahun di tempat ini."

Tulip tak tahu kenapa, tapi dalam keadaan seperti ini terasa nyaman.

"Kau tahu itu adalah rasi bintang Crux." Tulip menujukkan bintang di atas sana, lalu menggambar menyerupai salib atau layang-layang."

"Aku baru mendengar nama itu." Draco iku menatap langit.

"Ayahku selalu bilang, jika pada zaman dahulu orang menggunakan rasi bintang itu untuk mencari arah pulang. Dan aku ingin sekali pulang."

Tulip membiarkan air mata jatuh di sudut matanya. Ia sangat ingin pulang.

Draco hanya diam, keduanya masih menikmati keindahan malam. Tanpa keduanya sadari, sekat yang memisahkankan perlahan mulai mendekat.

….

Dari air jernih dalam wadah Gigas melihat semuanya. Wajah tampan itu menyeriangi.

"Dia adalah milikku."