1 Pertunjukan Sore

Avika Bhanurasmi memejamkan mata spontan ketika lembaran kertas itu dihempaskan tepat ke depan mukanya. Dengan penuh kegeraman dan ia hanya bisa mencoba untuk bersabar.

"Kamu ada duit? Bisa kamu bayar semua tagihan ini hah?"

Tak cukup dengan menampar Vika dengan lembaran kertas itu, nyatanya wanita paruh baya berambut keriting halus itu menamparnya pula dengan kata-kata merendahkan. Di hadapan semua orang. Ketika para tetangga mulai keluar dari rumah masing-masing lantaran tertarik dengan tontonan gratis sore itu.

"Aku bakal berusaha untuk bayar semuanya, Bu. Tenang saja."

Bernama Rustina, wanita berlipstik merah terang itu mendengkus. Tangannya bersedekap dalam menampilkan gestur mencemooh. Tatapan matanya pun terlihat amat merendahkan. Menilai sebelah mata pada penampilan Vika.

"Kamu pikir tagihan rumah sakit untuk anak aku itu murah? Hah! Kamu mau bayar pake apa?"

Vika menarik napas dalam-dalam. Tak lagi ia pedulikan malu karena menjadi tontonan tetangga kala itu. Lantaran hal tersebut sudah sering terjadi berulang kali. Layaknya rutinitas yang tak terelakkan. Dan yang perlu ia pedulikan sekarang hanya satu. Yaitu mencoba untuk menahan sabarnya selama mungkin

"Aku bakal segera bayar semuanya. Ibu nggak perlu khawatir. Aku cuma butuh waktu. Beberapa hari lagi aku bakal bayar tanpa ada yang kurang."

Mendengar perkataan Vika yang terkesan tenang, Rustina melototkan mata. Sungguh ia tidak percaya bahwa gadis berusia dua puluh tujuh tahun itu bisa bersikap seperti tak terjadi apa-apa kala itu.

"Hah?! Apa kamu bilang? Aku nggak perlu khawatir? Wah wah wah! Kamu butuh beberapa hari? Memangnya kamu sanggup ngumpulin duit segini banyaknya buat bayar biaya rumah sakit anak aku?"

Rustina tertawa. Lalu ia melihat sekeliling. Pada tetangga-tetangga yang sudah tampak ramai menonton mereka.

Tangan Rustina terangkat. Mengacung pada Vika yang memutar bola matanya. Sekilas cewek itu juga tampak merapikan sedikit rambutnya yang berantakan lantaran angin yang berembus.

"Kalian lihat kan? Udah miskin, eh ... soknya gede. Hahahaha. Mungkin dia pikir biaya rumah sakit Ari itu murah ya?"

Kekehan Rustina terdengar. Sambil terus mengedarkan pandangannya ke sekitar, ia lantas geleng-geleng kepala.

"Kalian mungkin nggak tau. Jadi aku kasih tau. Biaya rumah sakit Ari itu mahal. Dia harus dirawat di ruangan VVIP."

Tak ada yang membalas perkataan Rustina. Orang-orang di sana hanya diam saja. Hingga membuat Rustina mendengkus. Kembali beralih pada Vika dan mendapati bagaimana cewek itu yang justru abai dengan kemarahannya. Itu jelas membuat ia merasa tak terima.

Tangan Rustina bergerak tanpa peringatan sama sekali. Dengan cepat mengarah pada kepala Vika. Meraup rambut yang baru saja dirapikan oleh si empunya.

"Ah!"

Kaget, Vika sama sekali tidak mengira bahwa Rustina akan menjambak rambutnya. Hingga kepalanya tertarik ke bawah dan menimbulkan rasa sakit. Spontan ia meringis. Berusaha menahan tangan Rustina.

"Lepasin, Bu!"

Rustina tidak melepaskannya. Alih-alih menjambak dengan makin kuat. Membuat ringisan Vika semakin menjadi-jadi.

"Nggak bakal! Aku nggak bakal lepasin rambut kamu sebelum kamu minta maaf sama aku. Karena adik kamu yang gila itu sudah ngebuat anak aku masuk rumah sakit!"

Mata Vika terpejam. Ketika Rustina menjambak rambutnya, mau tak mau kepalanya tertarik ke belakang. Membuat matanya berhadapan dengan cahaya terik matahari sore.

"Ibu mau duit dari aku atau mau maaf dari aku?" tanya Vika di sela-sela ringisannya. "Pilih salah satu. Kalau mau maaf aku, itu artinya aku nggak bayar tagihan rumah sakit. Dan kalau mau aku bayar tagihan rumah sakit, itu artinya aku nggak minta maaf."

Rustina melotot. Menyentak rambut Vika kembali.

"Dasar cewek nggak tau sopan santun!"

Vika meradang. Kulit kepalanya terasa amat sakit. "Ibu juga nggak tau sopan santun!"

Jeritan itu seperti petir di siang bolong. Membuat beberapa tetangga di sana sontak memejamkan mata dengan menutup telinga.

"Aku bilang lepasin!"

Menjerit sekali lagi, Vika lantas mengangkat kedua tangannya. Meraih tangan Rustina dan menariknya dengan sekuat tenaga.

"Eh eh eh?"

Mata Rustina membesar. Tangannya dihempaskan begitu saja oleh Vika. Terlepas dari rambutnya yang kembali berantakan.

Vika membuang napas kesal. Berusaha merapikan rambutnya sebisa yang ia lakukan. Tanpa peduli bagaimana Rustina yang melotot padanya.

"K-kamu berani sama aku? Kamu pikir kamu siapa?!"

Pelototan Rustina dibalas dengan hal yang serupa oleh Vika. Mata cewek itu juga melotot besar. Bahkan kedua tangannya pun berkacak di pinggang.

"Loh? Bukannya tadi Ibu sendiri yang ngomong?" tanya Vika dengan suara yang tak kalah tinggi nadanya. "Aku ini kakak dari seorang adik yang gila. Puas?!"

Rustina tersentak. Sama sekali tidak mengira bahwa Vika akan membentaknya seperti itu. Terlebih lagi di hadapan banyak orang.

"O-oh. Kamu berani ngebentak aku ya? Berani?!"

Vika melangkah maju sekali. "Kalau berani emangnya kenapa? Mau laporin ke polisi juga? Iya? Emang rela duit rumah sakit anaknya nggak aku bayar? Kalau emang iya, ya udah. Laporin aja. Aku juga mau masuk penjara sebulan dua bulan. Biar aku bisa makan gratis."

"K-kamu?"

"Apa?" tantang Vika. "Nggak cukup laporin aku ke polisi? Masih kurang? Kalau iya, sekalian aja adik gila aku dilaporin juga biar kami bisa masuk penjara bareng. Silakan. Kami dengan senang hati masuk penjara sekeluarga. Seenggaknya makan kami terjamin."

Mulut Rustina membuka. Tapi, tak ada satu kata pun yang terucap darinya. Ia seperti kehilangan kemampuan bicaranya.

"W-wah! Kamu---"

"Aku tunggu, Bu. Laporin kami sekeluarga ke polisi. Biar kami sekeluarga masuk penjara."

Mungkin seumur hidup Rustina tinggal di bumi, baru kali ini ia bertemu dengan orang yang justru ingin masuk ke dalam penjara. Dan apa alasannya tadi? Biar bisa makan gratis? Sungguh Rustina tidak percaya bahwa ada orang yang berpikir seperti itu.

"Aku udah ngomong baik-baik dari tadi, Bu. Berikan aku waktu dan uang tagihan rumah sakit anak Ibu di ruangan VVIP itu bakal aku lunasin. Nggak usah ngotot kayak bakal nggak bisa bayar tagihan itu pake duit sendiri."

Tangan Rustina terangkat. Menunjuk pada hidung Vika.

"Kamu mau ngatain aku miskin? Cih! Aku itu kaya!"

Vika meraih jari telunjuk Rustina. Lalu menurunkannya.

"Kalau kaya, buktikan dong. Sanggup nggak bayar sendiri tagihan rumah sakit di ruangan VVIP itu?" balas Vika tak mau kalah. "Kalau nggak sanggup, ya wajar sampe ngotot ke sini buat minta tanggungjawab."

Rustina menyentak jari telunjuknya lepas dari genggaman Vika. "Hah! Kamu pikir kamu bisa ngibulin aku? Biar lepas dari tanggungjawab? Hahahaha. Kamu pikir aku bodoh?"

"Bu, kalau sekadar mau tanggungjawab, aku bisa nyuruh adik aku yang gila itu untuk berlutut minta maaf sama Ari. Tapi, lain cerita kalau tujuan Ibu cuma duit."

"K-kamu!" geram Rustina. "Kamu dan adik kamu itu sama-sama gila."

Dibentak seperti itu, Vika mengatupkan mulutnya kuat-kuat dan tangannya mengepal dengan kuat. Lalu barulah ia balas membentak.

"Kalau adiknya gila, kakaknya udah pasti lebih gila!"

Sudahlah. Kali ini Vika sadar akan sesuatu. Ia dan sabar memang tidak ditakdirkan untuk bersama.

*

bersambung ....

avataravatar
Next chapter