webnovel

Lama-Lama Bakal Terbiasa Kok

Lupakan dulu soal informasi menakutkan yang Vika dapatkan dari Gendhis. Ia akan menelaah hal itu dengan pikiran dingin. Karena sejujrunya Vika masih tak percaya.

'Masa iya gempa itu karena Mas Arjuna marah sih? Emangnya aku ngapain dia sampe dia marah gitu?'

Andaikan ya. Andaikan yang dikatakan Gendhis memang benar bahwa gempa adalah bentuk kemarahan Arjuna, tetap saja. Vika masih tidak habis pikir mencoba mencari penyebab kemarahan Arjuna.

Vika akan memikirkan hal itu nanti. Sekarang ada hal lain yang lebih penting lagi. Dalam bentuk seorang cowok berpenampilan rapi dengan rambut berpotongan cepak yang duduk di hadapan Vika.

Cowok itu mengulurkan tangan. Membuat lengan jas yang ia kenakan sedikit tertarik. Memperlihatkan pergelangan kemeja putih di baliknya.

"Selamat pagi. Perkenalkan. Saya Krisna Yudhoyono."

Vika mengerjap. Melongo sedetik dan barulah menyambut jabat tangan tersebut. Serta turut memperkenalkan diri.

"Avika Bhanurasmi," ujar Vika. "Panggil saja Vika."

Krisna tersenyum. "Saya asisten pribadi Tuan Arjuna dan hari ini saya sengaja menemui Mbak Vika untuk membicarakan beberapa hal terkait dengan kontrak kerja Mbak di sini."

"Ah ...."

Vika manggut-manggut. Pada saat itu entah mengapa ia mendadak menyadari sesuatu. Hal yang lumayan menggelikan.

'Sama Pak Bobon aku dipanggil Dek Vika. Eh ... di sini aku dipanggil Mbak Vika. Orang-orang pada ramah ya. Beda sama yang di rumah. Bisanya teriak-teriak aja. Vikaaa! Mana pake nama belakang lagi. Bayar utang!'

Di hadapannya, Krisna terlihat menaruh tas kerja di atas meja. Mengeluarkan selembar map yang tentunya berisi beberapa berkas penting di dalam sana.

"Mbak Vika sekarang usianya berapa?"

Sambil membuka map itu dan mengecek berkas di dalamnya, Krisna melayangkan pertanyaannya. Mungkin bermaksud basa-basi agar suasana tidak menjadi canggung.

"Dua puluh tujuh tahun," jawab Vika. "Kalau Mas?"

Krisna yang tampak serius mengecek berkas-berkas itu tertegun. Pastilah ia tidak mengira kalau Vika akan balik bertanya padanya. Wajah cowok itu kemudian terangkat. Ia tersenyum.

"Tiga puluh tahun."

Vika manggut-manggut lagi. Kali ini matanya tampak sedikit menyipit dengan sorot menyelidik. Dan itu sepertinya disadari sepenuhnya oleh Krisna.

Seraya kembali memeriksa berkas tersebut demi memastikan bahwa tidak ada yang terlewatkan, sudut bibir Krisna perlahan bergerak. Membentuk senyum manis yang sepertinya dilewatkan oleh Vika. Lantaran cewek itu yang fokus memerhatikan penampilan Krisna.

Cowok itu sepertinya tidak setinggi Arjuna. Tapi, ia memiliki pundak yang bidang. Yang membuat Vika yakin Krisna akan bagus bila dilihat dari belakang.

'Eh?'

Vika mengenyahkan bagian yang itu. Ia lantas memindahkan fokusnya pada kulit Krisna yang terlihat kuning. Salah satu jenis warna kulit khas Indonesia.

Dalam potongan cepak, rambut Krisna yang bewarna coklat gelap tampak rapi. Pun memberikan kesan bersih padanya. Dan dalam balutan setelan tiga potong bewarna hitam itu, Krisna benar-benar terlihat apik.

Namun, bukan itu yang menjadi tujuan Vika hingga memaksa fokus untuk meneliti penampilan Krisna sedari tadi. Alih-alih karena ia penasaran akan sesuatu.

"Saya ini manusia, Mbak Vika."

Suara Krisna yang terdengar tiba-tiba membuat Vika tersentak. Kaget, ia sama sekali tidak menyadari kalau Krisna mengetahui bahwa ia sedang mengamatinya.

Malu? Tidak sih. Vika mana kenal malu. Yang ia kenal cuma kemaluan. Tapi, tetap juga. Pipinya terasa jengah juga.

"Aaah."

Krisna tuntas mengecek berkas itu. Wajahnya terangkat dan ia melihat pada Vika. Ada ekspresi geli di senyum yang tersungging di wajahnya.

"Itu kan yang Mbak pikir? Sampai-sampai ngeliatin saya dari tadi?"

Vika terkekeh dengan sedikit tak enak walau tak urung juga ia mengangguk. Membenarkan tebakan Krisna.

"Soalnya saya itu agak gimana gitu, Mas, bawaannya kalau ngeliat cowok cakep. Pikiran saya itu pasti nebak vampir."

"Ehm!"

Krisna mendehem dengan salah tingkah. Pastilah ia kaget dengan perkataan Vika yang satu itu. Tanpa tedeng aling-aling memuji ketampanannya. Dan walau yang Vika katakan memang benar, tapi bukan berarti hal tersebut adalah sesuatu yang wajar untuk dikatakan secara blak-blakan.

Maka terang saja wajah Krisna kaku seketika. Sepertinya ia belum ada keahlian untuk menghadapi cewek tipe seperti Vika.

Krisna menggeleng. "Sayangnya ... saya bukan vampir."

"Saya sempat mikir gitu. Apalagi karena Mas kerja sama Mas Arjuna."

"Semua yang kerja di sini manusia," ujar Krisna kemudian. "Bahkan nggak ada vampir seorang pun."

Vika manggut-manggut. Pada saat itu Krisna menyodorkan map tersebut. Vika menyambutnya. Langsung membuka dan mendapati ada beberapa berkas di dalam sana.

"Tolong Mbak Vika isi semua formulir di dalam sana. Saya butuh biodata dan beberapa informasi, Mbak."

Tidak mengatakan apa-apa, Vika mengangguk. Ia membuka tiap lembar kertas di sana.

Tak lupa memberikan pena pada Vika, Krisna kemudian menunggu cewek itu untuk melengkapi semua berkas yang telah ia siapkan. Persis seperti yang ia katakan pada Vika tadi. Bahwa itu adalah formulir biodata dan hal lainnya yang terkait dengan informasi pribadi Vika. Terutama nomor rekening.

Tak perlu ditanya. Senyum Vika benar-benar mengembang sempurna ketika menulis nomor rekeningnya di sana.

"Mas udah lama jadi asisten Mas Arjuna?"

Kali ini adalah Vika yang membuka topik. Sambil terus menulis, ia menyempatkan sedetik untuk melirik pada Krisna. Terlihat cowok itu mengangguk.

"Mungkin sekitar lima tahun."

Mengatakan itu, Krisna terlihat membawa pandangan matanya ke atas. Dengan fokus yang bias karena pada dasarnya ia memang tidak melihat apa-apa. Alih-alih justru mengingat masa lalu.

"Selama lima tahun kerja sama Mas Arjuna gimana?" tanya Vika lagi. "Enak nggak, Mas?"

Senyum timbul di wajah Krisna. Membuat Vika jadi urung untuk lanjut menulis.

"Pasti enak dong, Mbak. Kalau nggak enak mana mungkin lama kan?"

Vika manggut-manggut. Pena di jarinya tampak berputar sekilas. Dan tepat sebelum ia lanjut mengisi formulir di sana, suaranya kembali terdengar.

"Mas benar," ujar Vika sependapat. "Kalau lama udah pasti enak kan?"

Krisna mengerjap. "Eh?"

Vika memastikan bahwa semua kolom sudah isi dengan benar. Terutama kolom nomor rekening. Jangan sampai salah tulis. Satu nomor saja jangan sampai salah. Pokoknya jangan. Karena kesalahan yang satu ini tentu saja tidak bisa dimaafkan walau ada hari maaf-maafan.

"Ini, Mas. Coba dicek."

Krisna mengambil alih semua berkas itu. Membacanya dengan cepat dan yakin bahwa tidak ada yang terlewatkan di sana. Ia pun segera memasukkan kembali map tersebut ke dalam tas kerjanya.

"Terima kasih."

Memberikan sekali anggukannya, Vika membalas. "Sama-sama."

Bersamaan dengan itu artinya tugas Krisna hari itu sudah selesai. Di mana sebelum menemui Vika ia telah mendatangi kantor CV ADAD. Dengan demikian urusan yang melibatkan Bobon dan Vika tuntas sehingga ia bisa bernapas lega. Tapi, sebelum ia beranjak dari sana, layaknya seseorang yang profesional Krisna menyempatkan diri untuk bertanya.

"Apa ada yang mau Mbak tanyakan sebelum saya pergi? Ehm ... mungkin ada yang buat Mbak bingung soal kerjaan di sini atau yang lainnya."

Mata Vika mengerjap beberapa saat. Lalu lirihan samar terdengar lolos dari bibirnya.

"Ah! Iya. Ada yang mau saya tanyakan."

"Apa?"

Membawa kedua tangannya di atas meja, dahi Vika mengerut dalam upaya mengingat.

"Nama Mas Krisna Yudhoyono kan?"

Tak mengira bahwa Vika akan bertanya soal namanya tentu membuat Krisna bingung juga. Tapi, ia tetap mengangguk. Membenarkan hal tersebut.

"Memangnya kenapa?"

Vika mengabaikan pertanyaan Krisna. Alih-alih ia justru mendehem dengan penuh irama. Satu tangannya kemudian naik. Mengusap ujung dagunya berulang kali.

"Apa karena nama Mas ada Yudhoyono-nya ya?" tanya Vika tanpa menunggu jawaban Krisna. "Sampe-sampe Mas terlihat gagah?"

Krisna melongo. Tak mampu berkata apa-apa ketika di benaknya justru teringat pesan Arjuna beberapa saat yang lalu. Tepat ketika ia menemui bosnya itu sebelum mendatangi Vika. Arjuna berkata.

'Hati-hati. Vika itu belum jinak. Jadi omongannya kadang kayak orang gila.'

*

bersambung ....