webnovel

Lain Omongan Lain Tindakan

"Kenapa Tuan nggak mencari orang lain? Seenggaknya yang lebih normal dibandingkan dengan ... Mbak Vika?"

Arjuna rasa-rasanya ingin membuka buku sejarah keluarganya. Hanya sekadar ingin mengecek. Apa vampir bisa merasa pusing juga? Karena Arjuna berani bersumpah saat itu kepalanya seperti berdenyut-denyut.

"Kalau saja saya nggak terlanjur puasa enam bulan gara-gara Cindy, saya juga nggak mau milih Vika," ujar Arjuna nelangsa. "Saya nggak bisa bertahan lebih lagi, Kris. Bisa-bisa saya hilang akal dan mendadak menyerang warga sipil di luar sana."

Krisna terdiam. Yang dikatakan oleh Arjuna memang benar.

"Tapi, dia benar-benar ...."

Krisna tidak menuntaskan perkataannya. Alih-alih ia hanya membuang napas panjang. Senyum pemakluman muncul di wajahnya.

"Semoga saja tidak butuh waktu lama untuk dia bisa jinak, Tuan."

Arjuna mengangguk. "Iya. Satu-satunya harapan saya sekarang dia bisa jinak sebelum jadwal-jadwal penting saya datang. Saya benar-benar nggak bisa membayangkan kalau saya harus pergi ke mana-mana dengan membawa Vika yang masih liar begitu. Bisa-bisa dia buat kekacauan di mana-mana."

Diam sejenak, Arjuna dengan satu tangan yang bertumpu siku di atas meja dapat membayangkannya. Ia yang harus pergi ke perjamuan luar negeri harus membawa serta Vika. Dan mendadak saja di pesat Vika membuat kehebohan. Entah yang mendadak mengelus dada orang, tanpa malu mencari alasan untuk mencium orang, atau mungkin melakukan hal memalukan lainnya.

Ih! Hanya dengan membayangkannya saja Arjuna sudah bergidik. Apalagi kalau itu benar-benar terjadi?

"Saya juga berharap begitu."

Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan oleh Arjuna dan Krisna kala itu. Arjuna pun mempersilakan sang asisten pribadi untuk pergi. Dan berada di ruang kerjanya seorang diri, mau tak mau Arjuna kembali terpikir oleh Vika.

"Vika, Vika. Heran. Dia selama ini makan apa ya?"

Dahi Arjuna mengerut. Wajahnya menampilkan ekspresi benar-benar ingin tau.

"Kok bisa ada manusia seperti dia?"

*

Kalau ditanya Vika selama ini makan apa, tentu saja jawabannya cuma satu.

"Aku makan segalanya."

Gendhis tersenyum. Ia mengangguk. "Baiklah, Mbak. Kalau memang nggak ada pantangan. Jadi saya bisa bebas buat nyiapin makan buat Mbak."

"Iya. Tenang aja. Hidup aku tuh simpel. Asal bisa makan, wah! Nggak peduli semur ayam atau semur daging, sop ayam atau sop daging, steak ayam atau steak daging. Semuanya bakal aku makan. Kalau kamu nggak percaya, bawa aja semua makanan itu ke sini. Pasti aku makan. Hahahahaha."

Gendhis hanya melongo. "Tenang, Mbak. Saya percaya kok. Kalau gitu ... saya permisi dulu."

Kepergian Gendhis membuat Vika mencibir tipis.

"Kirain dia nggak percaya. Terus dia bawa semua kan itu makanan. Ehm ... gagal deh makan enak sekaligus."

Vika membuang napas panjang. Di hari kedua berada di rumah Arjuna, ia memutuskan untuk menjelajah. Melihat ke sana dan kemari. Menikmati kesan tradisional yang antik. Tapi, tentu saja membawa nuansa yang cantik.

Nyaris bisa dikatakan bangunan di sana terbuat dari kayu. Tentunya bukan sembarang kayu. Dan ketika tangan Vika memegang dinding papan itu sepanjang perjalanannya, ia tersadar sesuatu.

"Pantas rumahnya terbuat dari kayu. Biar kalau ada gempa dadakan nggak mudah ambruk kan?"

Terus mengelilingi rumah itu seorang diri, Vika menemukan ada satu kolam renang. Dikelilingi oleh tanaman yang asri dan airnya terlihat biru menyegarkan. Vika mengingatkan diri. Nanti ia harus mencoba kolam itu suatu saat nanti.

Meninggalkan tempat itu, Vika memutuskan untuk kembali ke kamarnya saja lantaran dirinya yang merasa lelah. Mungkin efek dari darahnya yang diisap Arjuna. Kakinya mendadak mudah goyah. Hingga ia perlu berpegang pada dinding saat berjalan.

"Kamu nggak apa-apa?"

Vika terlonjak. Horor dan kaget melihat Arjuna yang mendadak saja sudah berdiri di sebelahnya.

"Astaga, Mas!" kaget Vika dengan mata membola. "Mau kehilangan makanan simpanan? Ck. Buat orang kaget aja. Jangan suka datang tiba-tiba ah."

Arjuna tidak bermaksud begitu. Tapi, ketika instingnya merasa tidak enak, ia pun langsung bergegas. Dan ternyata benar. Vika terlihat memucat.

"Mas kan vampir, bukan jailangkung. Jadi jangan datang tiba-tiba."

"Terus saya harus datang pakai pengumuman? Ini juga rumah saya kok."

Cengiran dengan lebar langsung mengembang di wajah Vika. "Bener juga."

Arjuna mengabaikan cengiran Vika. Alih-alih melihat keadaannya. Tangan dan kaki Vika terlihat gemetaran. Bibirnya juga memucat.

Harusnya Arjuna sadar. Bahwa walau Vika itu gila, tapi bukan berarti tubuhnya adalah tubuh manusia super. Nyatanya baru semalam ia kehilangan darah dalam jumlah yang tidak sedikit, tentunya tubuh cewek itu belum pulih seutuhnya.

"Kamu mau ke mana?" tanya Arjuna. "Mau ke kamar kamu?"

Vika membuang napas. Tangannya masih bertahan pada dinding papan itu. "Ya iya dong, Mas, saya mau ke kamar saya. Masa saya mau ke kamar Mas," tukasnya seraya melirik warna merah yang seketika muncul di wajah Arjuna. "Emangnya boleh? Kalau boleh sih saya juga nggak bakal nolak."

Arjuna mendehem. Berusaha menetralkan ekspresinya. Mata vampir itu tampak menyipit ketika ia menanyakan rasa penasarannya.

"Saya mau tau. Apa kamu sehari-hari memang begini? Suka menggoda semua cowok?"

Bibir pucat Vika manyun. "Nggak ada, Mas. Emangnya Mas ada ngeliat saya godain siapa sih? Mas Krisna? Ck. Udah dibilangin salah ngomong juga. Masih aja ngeyel."

Perkataan Vika memberikan kesan seolah Arjuna adalah vampir yang tidak dewasa saja. Ehm ... menjatuhkan harga diri.

"Saya cuma nanya buat memastikan bahwa kamu nggak bakal macam-macam selama tinggal di sini."

Vika angguk-angguk kepala. "Iya, Mas, iya. Tenang aja. Pokoknya saya nggak bakal macam-macam di sini. Kalau saya mau macam-macam, saya bakal keluar bentar."

"Berarti kamu ada rencana buat macam-macam?"

"Di kontrak kerja ada larangan saya nggak boleh macam-macam, Mas?" tanya Vika seraya mengingat. "Kayaknya nggak ada deh."

Memang tidak ada. Tapi, bukan berarti Arjuna akan membiarkannya.

"Kamu jangan sembarangan keluar masuk rumah ini. Kalau mau keluar," kata Arjuna sambil menunjuk hidung Vika. "Harus izin saya."

"Ih," gerutu Vika sambil manyun. "Bapak saya bukan. Kakak saya bukan. Tapi, harus izin segala." Mata Vika melirik dan manyunnya berganti senyum kecil. "Atau Mas ini calon suami saya?"

Jari Arjuna yang semula ada di depan hidung Vika, naik. Ke dahi cewek itu dan menekannya. Hingga mata Vika memejam spontan dan kepalanya terdorong ke belakang perlahan.

"Kamu kayaknya memang belum sembuh. Lebih baik kamu istirahat sebelum gila kamu makin parah."

Tuntas mengatakan itu, Arjuna langsung beranjak. Di tempatnya Vika membuka mata dan mengusap dahi. Sejenak ia masih bergeming di sana. Melihat bagaimana Arjuna yang melangkah dengan satu tangan yang masuk ke dalam saku celana. Kala itu senyum malu-malu bertahan di wajah Vika. Berikut dengan perkataan lirihnya.

"Ehm ... kayaknya sih galak, tapi sebenarnya Mas Arjuna ini perhatian banget deh sama aku."

Hanya berselang sedetik setelah Vika mengatakan itu, suara Arjuna pun menggema.

"Saya dengar loh apa yang kamu bilang."

Vika buru-buru menutup mulutnya.

"Ups!"

*

bersambung ....