webnovel

Tuan Suami, Ajari Aku Cinta!

Bagaimana jika seorang wanita yang membenci makhluk berjenis kelamin laki-laki ditekankan untuk menikah? Sebagai seorang wanita yang menganut prinsip "being single is all-right, do not worry or ashamed for being single in twenty-something. " Yang paling ia benci adalah seseorang yang bertanya kapan ia menikah. Yang paling ia hindari ialah lelaki yang menyukainya. Dia menghindari lelaki seperti ulat bulu. Tapi ... Bagaimana caranya menghadapi desakan orang tuanya untuk menikah? Bagaimana juga cara dia menghadapi seorang lelaki yang mendekatinya selangkah demi selangkah, untuk mendapatkan jiwa dan raganya? Akankah dia berhasil menghindarinya, atau malah terperangkap dalam perangkap yang dirancang lelaki itu? Dia mengatakan. "Pergi menjauh dari ku!" Sementara lelaki itu mengulas senyum percaya diri, menekannya di antara kursi mobil dan dirinya. "Kamu mengusir ku setelah menggunakan ku? Sayang, betapa kejamnya hatimu? Ah? Juga, bukankah seharusnya kamu bertanggung jawab padaku?

kaifaaa1301 · Urban
Not enough ratings
1 Chs

01. Menikah? Tidak!

"Bu, pokonya Nana belum mau menikah!"

Entah sudah berapa kali kalimat itu terucap dari mulut Nana Alfiana, gadis kelahiran Jawa tengah yang saat ini menetap di Ibu kota itu.

"Lalu kapan to, Ndhuk? Usia kamu sudah tidak muda lagi loh." Seorang wanita paruh baya membalas saat dia menatap Nana dengan raut khawatir.

Bagaimana dia bisa tidak khawatir? Putri semata wayangnya sudah berusia 24 tahun dan belum pernah membawa pulang seorang lelaki sekalipun untuk diperkenalkan padanya.

Baik, itu mungkin tidak terlalu tua bagi sebagian orang, tapi, baginya yang berasal dari keluarga petani di daerah perkampungan di Jawa tengah, seorang gadis seusia putrinya dan belum menikah benar-benar bisa dianggap perawan tua.

Nana memutar bola matanya tanpa sadar, mendengar keluhan Ibunya. Dia baru 24 tahun dan itu belum terlambat untuk menjalani hidup bebas dan meraih cita-citanya selama beberapa tahun lagi.

Lagi pula, siapa yang ingin menikah?

Nana menggeleng samar saat senyum sarkas menghiasi bibirnya.

Mereka, laki-laki, hanya perwujudan binatang buas yang berpikir menggunakan tubuh bagian bawahnya. Jadi, apakah dia harus mengorbankan dirinya untuk serigala berbulu domba, berwujud manusia, berjenis kelamin laki-laki itu?

Nana mendecak sinis secara internal. Dia wanita kuat dan mandiri, tidak diperlukan baginya bergantung pada binatang buas manapun itu!

Menatap ibunya yang masih memasang raut cemas, Nana hanya menghela napas sebelum memasang senyum paksa di bibirnya. "Bu, perihal pernikahan Nana, biarkan itu berjalan mengalir seperti air. Ibu tidak perlu terlalu memikirkannya, toh jika jodoh itu datang Nana akan tetap menikah bagaimanapun Nana menolaknya, bukan?"

"Tapi—"

"Bu, Nana masih ada pekerjaan. Jadi, Nana pamit dulu." Lalu menyalami tangan Ibunya ;mengecup ke-dua pipinya sebelum berjalan keluar tanpa sepatah katapun.

Setelah keluar dari Rumah ibunya, Nana tidak bisa tidak menghela napas lega.

Akhirnya itu berakhir!

Lalu mengangkat smartphone nya yang terus bergetar dengan layar berkedip menunjukkan nama yang akrab baginya, Fina.

"Hallo, Asslamu'alaikum, ada apa?" Nana memberi salam saat panggilan terhubung.

Di sisi lain, Nana mendengar helaan napas panjang sebelum suara yang sirat akan kesedihan terdengar. "Wa'alaikum salam, Na. Lo dimana?"

Nana mengernyit mendengar suara Fina yang terdengar menyedihkan diiringi isakan kecil. "dimana lo sekarang?" Nana bertanya, suaranya menyiratkan ketidak sabaran, kemarahan, dan iba yang mendalam.

Fina,

Sahabat yang dia kenal semenjak SMP sekaligus satu-satunya sahabat yang dia punya. Jadi, untuk alasan apa dia tidak merasa marah, kesal, dan tidak berdaya menghadapi sahabat yang sudah dia lebeli dengan gelar 'bucin kelas kakap' itu?

Sungguh, jika dia bisa, dia ingin membuka kepala Fina dan melihat apa isi otak wanita itu!

Cercaan Nana berhenti mendengar jawaban dari Fina. "gue di tempat yang biasa, Na."

Nana menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara selembut mungkin. "oke, lo tunggu di sana sebentar." Lalu menutup telepon dan berjalan memasuki mobil hitam dan melaju menuju tempat di mana Fina berada.

Di dalam perjalanan, itu sunyi dan tenang dengan hanya terdengar suara deru mesin dan helaan napas Nana yang sesekali terdengar.

Tidak sampai sepuluh menit kemudian, dia mencapai rumah kosong yang mereka sebut 'markas'.

Memarkir mobilnya, Nana keluar dari mobil dan berjalan memasuki 'markas' mereka.

Di dalam, Nana melihat Fina duduk di sofa di dekat jendela dengan mata sembab dan wajah lebam dengan jari-jari besar tercetak di pipi kirinya.

"Fin, udahlah. Lo gak capek apa dikerasin sama dia?" Tanyanya sambil melepas hak tinggi yang dia kenakan.

Fina yang tengah melamun menatap keluar jendela sedikit terkejut mendengar suara Nana. Menoleh, dia melihat wanita itu berjalan ke arahnya dengan wajah kesal.

"Lo tau gue gak bisa ngelakuin hal itu, Na."

Nana menggeleng. "lo selalu ngeyel kalau dibilangin!"

Bibir Fina melengkung membentuk senyum pahit saat dia menunduk untuk menutupi ekspresi menyesalnya yang menyedihkan.

Benar,

Dia selalu menjadi orang yang keras kepala. Sulit dinasehati.

Mendongak, Fina melihat Nana berjalan ke arah kotak P3K di sudut ruangan. "Arka masih terlalu kecil untuk itu, Na," lalu menghela napas melihat Nana menatapnya dengan alis terangkat. "Dan gue masih memiliki keyakinan kalau Mas Rian bisa berubah."

Mendengus, Nana berjalan menghampiri Fina saat dia berkata dengan sinis. "Berubah? Lo udah ngucapin kata ini berkali-kali. Tapi apa? Dia gak pernah berubah!"

"..." Fina menunduk, menggigit bibirnya ;enggan menjawab pernyataan menyudutkan yang sahabatnya lontarkan.

"Fin, sampai kapan lo mau bertahan sama sesuatu hal yang gak pasti?"

Fina menggeleng yang Nana mengerti maksudnya.

—dia tidak tahu.

"Apa lo nunggu dia mukulin lo sampai mati?"

"Na! Dia nggak akan!"

Nana menghirup napas dalam. Inilah yang membuatnya memandang rendah terhadap laki-laki dan apa yang disebut cinta.

Baginya, lelaki hanyalah binatang buas berwujud manusia, sedangkan cinta?

Itu hanya perasaan menjebak yang membuat manusia menjadi bodoh,  buta, dan tuli. Sulit dinasehati.

Mendecak, Nana meraih botol obat anti septik, menuangkannya ke atas kapas sebelum meraih dagu Fina untuk membuatnya menatapnya. "O**ke, gue minta maaf! Sekarang, gue obatin luka lo dulu," lalu menyeka bekas darah di sudut bibir Fina.

"Kalau gue tahu begini jadinya, gue gak akan restuin hubungan kalian apapun resikonya!" Nana mendumel, "sialan tuh cowok! Dulu aja sikapnya lembut dan baik banget sama lo. Sekarang? Ck! Bener kata gue kalau cowok itu—"

"Ah,"

Fina mengerang saat sentuhan kapas di sudut mulutnya menguat.

Nana tersentak, menatap wajah Fina yang meringis dengan perasaan bersalah. "Maaf, maaf, gua gak sengaja!" Lalu melembutkan sentuhannya, "lagian gue kesel plus nyesel banget udah ngenalin lo sama dia!" Dia melanjutkan dengan kening berkerut dan alis menyatu. Suaranya dipenuhi dengan rasa penyesalan.

"Itu bukan salah lo, itu takdir dari  Tuhan buat gue. Jadi, lo gak perlu nyalahin diri lo sendiri," Fina berkata penuh penghiburan, lalu dia tersenyum dengan tatapan menerawang, "dan gue percaya semua akan berakhir indah pada waktunya." Dia melanjutkan dengan quotes klasik yang membuat Nana lagi-lagi mendengus.

Untuk apa yang disebut 'cinta' dan 'semua akan indah pada waktunya,' berapa banyak lagi orang yang menghabiskan waktunya untuk menunggu dan berharap pada seseorang yang tidak benar-benar menghargai keberadaannya?

Nana menggeleng, senyum sarkas kembali menguasi bibirnya,

—itu hanya konyol dan bodoh!

Sementara Fina menatap Nana dengan ekspresi rumit. Untuk orang yang mengetahui kegelapan apa yang dialami Nana selama ini, bagaimana dia bisa menyalahkannya untuk memandang remeh pada cinta dan lelaki? Lagi pula, dia benar-benar bersyukur sahabatnya tetap menjadi kuat dan tegar setelah semua!

Menghela napas Fina menatap wajah serius Nana. "Dan lo,  sampai kapan lo terus begini?"

Hening,

Hanya desah napas samar yang terdengar.

"Na,  lo gak bisa sendiri seumur hidup lo kan? Lo gak bisa terus menerus nutup hati lo."

"..."

"Na,  lo harus percaya kalau lo bakal nemuin Cowok yang baik sama lo,  yang cinta sama lo dan sebaliknya lo juga cinta sama dia."

"Na—"

"Cukup! " Nana menyela,  menutup kotak P3K setelah dia selesai menggunakannya.

"Na—"

"Gue masih ada kerjaan, jadi, maaf gue gak bisa tinggal lama," lalu sebelum Fina merespon wanita itu mengembalikan kotak P3K ketempat semula sebelum meraih tasnya dan berjalan ke pintu, "Dan ya, apa yang gue janjiin ke elo belum berubah. Suatu saat, kalau lo mau cerai sama cowok itu, lo bisa dateng ke gue!" Lalu berbalik meninggalkan Fina yang mengulas senyum pahit di tempat.

"Makasih, Na," dia bergumam dengan kepala tertunduk. Mungkin dalam hidupnya, hal yang paling dia syukuri adalah bertemu orang seperti Nana dan menjadi salah satu orang di dunianya yang sunyi.