34 Lebih dari Sekedar Pelatih

Pagi yang cerah ini aku awali dengan segudang bahagia yang telah aku persiapkan sejak pagi buta tadi. Sejak diriku terinspirasi untuk menjadi siswi aktifis, aku kini banyak berubah terutama di rumahku.

Yang semula setelah Shalat Subuh aku kembali tidur, kini aku bangun lebih awal sebelum ayam-ayam berkokok dipagi buta. Selain itu, sepertinya kedewasaan mulai terbit dari dalam diriku.

Sesekali pernah aku fikirkan bahwa aku telah jatuh cinta terhadap diriku yang sekarang ini. Yang lebih giat untuk menjadi seorang anak yang baik, untuk menjadi seorang kakak yang dapat dijadikan contoh, dan sebagai siswi yang lebih rajin disekolah.

"Mah, Pah. Kakak berangkat. Assalamu'alaikum." Seperti biasa, sebelum berangkat menuju sekolah, aku menyempatkan untuk mencium punggung tangan Papah dan Mamah terlebih dahulu.

Ketika ditengah perjalanan, aku melihat anak-anak di sekolahku mengenakan seragam Pramuka. Sementara aku kini tengah mengenakan seragam putih abu-abu seperti biasanya.

Hari Pramuka jatuh pada hari ini, sebelum aku tiba di sekolah, aku singgah di Masjid dekat dengan sekolah untuk berganti pakaian, karena memang aku membawa baju Pramuka dari rumah. Hari semakin siang dan aku masih bertahan di kamar mandi Masjid yang ku singgahi ini.

Setelah berganti pakaian, dengan terburu-buru ku hentakan kaki menunju sekolah. Aku tahu aku adalah siswa yang langganan kesiangan. Tapi kali ini, meskipun aku terlambat, aku tidak di intimidasi oleh OSIS atau guru yang menjaga gerbang sekolah.

Ketika aku tiba di lapangan sekolah, lapangan upacara telah dipadati oleh siswa-siswi yang telah siap untuk mengikuti upacara menggunakan seragam Pramuka. Setibanya aku dilapangan, aku dikejutkan dengan hebohnya teman-teman Pramukaku memanggilku.

"Shan, kamu jadi pengibar bendera, ya?" Ucap Kak Mina kakak kelasku dari Pramuka seraya menghampiriku memasang wajah panik.

"Iya, Shan. Kamu saja, ya?" Timpal Risma seraya menarik-narik tanganku.

"Kok mendadak gini? Kemarin yang ikut latihan siapa?" Tanyaku yang mulai terbawa panik sembari membenarkan topi Pramukaku.

"Tak tahu. Kemarin latihannya gak bener." Sahut Kak Mina kembali yang semakin panik.

Bagaimana tidak panik, sebab semua yang menjadi petugas upacara adalah anak Pramuka. Dan lebih parahnya lagi semua petugas upacara tidak mengadakan pelatihan terlebih dahulu.

Dengan terpaksa tapi sedikit girang, maka aku menerima penawaran Kak Mina untuk menjadi pengibar bendera bersama Kak Mina dan Risma dan akulah yang menjadi pembawa bendera dimana posisi inilah yang selalu ditempati oleh kak Rangga, Tuan Cokelatku.

"Terus ini gimana? Kita tuh harus ngapain ini?" Tanya Kak Mina dengan panik setelah melihat seluruh siswa-siswi mulai memadati lapangan upacara.

Tanpa permisi, fikirku tertuju pada Kak Cokelat. Aku fikir inilah kesempatanku untuk lebih dekat dengannya. Dan ini memang sangat kebetulan, Kak Rangga memang ahli dalam bidang Baris-berbarisnya di Paskibra.

"Minta Kak Rangga saja yang ngajarinnya, Kak. Tuh ada di kelas IPS 1!" Tunjukku seraya melihati Kak Rangga yang sedang bergurau di depan pintu kelasnya.

"Ya sudah, ayo!" Ujar Kak Mina seraya berjalan menarik tanganku sementara hatiku berdebar begitu kencang ketika melihat wajah kak Rangga yang semakin dekat.

Aku dan Kak Mina akhirnya telah tiba di hadapan Kak Rangga. Sebelum kami mengungkapkan apa yang kami mau kepada Kak Rangga, Kak Mina bertanya padaku, "Siapa namanya, Dek?"

"Kak Rangga," ucapku seraya berbisik kepada Kak Mina dan memalingkan wajahku dari hadapan Kak Rangga.

Dapat ku lihat dari gelagat wajahnya, sebenarnya Kak Rangga melihatku, tetapi Ia pura-pura tidak melihatku. Bagaimana tidak, bola matanya itu, aku faham kemana dia mengarah.

"Ayo, kamu saja yang ngomong, Dek!" Desak Kak Mina kepadaku. Karena terlalu malu, maka aku menolak apa yang Kak Mina minta. Akhirnya Kak Minalah yang berbicara kepada Kak Rangga. Sementara aku hanya menyimak seraya curi-curi pandang dengan Kak Rangga.

"Enggak, jangan ke saya. Takut salah. Tuh ada Bastian, coba saja ke Bastian," ujar Kak Rangga menolak permintaan kami untuk berlatih mengibarkan bendera.

Belum saja Kak Rangga tutup mulut, Kak Bastian sudah ada sedikit jauh dari belakangku. Kak Rangga memanggil Kak Bastian dan menyampaikan apa yang aku dan Kak Mina mau.

Akhirnya Kak Rangga dan Kak Bastian turun tangan untuk menjadi pelatih kami. Aku fikir Kak Rangga bukan hanya pelatih bagiku, tetapi lebih dari itu. Dia adalah bahagiaku, dia adalah matahariku, dia adalah badaiku, dia adalah tangisku. Kak Rangga terkadang adalah sebuah madu bagiku, tapi di waktu yang sama dia bisa menjadi racun bagiku.

Selama aku berlatih, aku tak pernah melewatkan setiap detiknya untuk memandang wajah Kak Rangga dalam jarak yang sangat dekat. Rasanya aku ingin berteriak, "Tuhan, terimakasih, dia indah!"

Aku tau, Kak Rangga bersikap canggung kepadaku, tetapi tidak kepada teman-temanku. Aku benar-benar tak dapat membaca fikiran Kak Rangga tentangku. Sesekali ingin ku tanya padanya, "Siapa aku dalam fikiranmu, Kak Rangga? Dan siapa aku dalam hatimu?"

Selama aku membenarkan bendera didepan tiang bendera, Kak Rangga berpindah tempat yang semula berada di depanku, kini berada di sampingku seraya tersenyum girang saling bertukar kode dengan Kak Bastian yang tidak aku fahami apa maksudnya.

Tapi aku sangat bahagia melihat Kak Rangga berdiri di sampingku dalam jarak yang sangat dekat. Aku harap dibelakang sana Anis melihatku yang sedang bersanding dengan Kak Rangga supaya dia tau bahwa Kak Rangga hanya pantas denganku.

Aku tau ini berlebihan. Tetapi ada yang mengatakan bahwa cinta selalu menang, cinta tak bisa disalahkan. Dan untuk mencintai Kak Rangga bukanlah mauku. Bukankah kita tidak bisa memilih kemana hati akan jatuh cinta? Dan kini aku sepenuhnya percaya.

Oh Tuhan, aku tidak tau lagi bagaimana aku harus bersyukur pada-Mu atas bahagia yang terlalu ini. Jatuh cinta itu ternyata menyenangkan jika yang dicinta merespon baik.

Aku selalu menikmati hidup di masa remajaku dengan indah ini. Walau aku tau masalah selalu datang silih berganti. Tapi aku tidak akan diam memandangi masalah yang menimpaku. Aku selalu punya cara untuk keluar dari masalah yang aku hadapi.

Pagi telah berlalu, kini matahari mulai menjilat bumi dengan cahaya hangatnya. Ketika istirahat tiba, aku dan sahabat-sahabatku segera bergegas ke kantin Abah seperti biasanya. Dan benar dugaanku, didalam kantin ternyata sudah ada Kak Rangga. Sang keindahan yang sayang untuk dilewatkan tanpa di pandang.

"Abah, biasa ya. Cokelat panas." Kataku pada lelaki paruh baya itu.

"Cokelat panas rasa apa, Shan?" Tanya Risma seraya berkedip nakal padaku. Aku tau Risma tengah menggodaku karena ada Kak Rangga disini.

"Oiya. Cokelat panas rasa cinta, ya, Bah?" Celotehku diakhiri dengan tawa. Lulu, Risma dan Evapun ikut tertawa.

Suasana semakin hangat dan seru ketika Abah yang telah tua itu mengaduk minuman cokelat panas ku seraya berkata dengan mencondongkan wajahnya kearah gelas, "I lap you"

Tawa kami semakin menjadi-jadi setelah melihat apa yang kakek itu lakukan. "Rasa cinta 'kan, Neng?" Seloroh Abah seraya memberikan minuman cokelat ditangannya padaku.

"Haha, Abah ternyata bisa bucin, ya?" Kataku seraya mengambil minuman cokelat dari tangan Abah.

Sesekali aku melirik Kak Cokelatku yang sedang memakan jajanannya. Wajahnya datar dan dingin, tapi bagaimanapun ekspresi wajahnya, aku tetap suka.

Ketika aku kembali ke tempat dudukku, aku kembali melirik kak Rangga yang sedang bersenda gurau dengan temannya. Oh Tuhan, senyumnya manis sekali! Gigi gingsul putihnya menambah ke-eleganan pemuda itu.

avataravatar
Next chapter