webnovel

Tuan CEO, Jangan Cintai Aku!

Sejak kematian Melysa, kakaknya yang meninggalkan bayi mungil bernama Liesel, Genevieve yang baru berusia 17 tahun, harus mengambil alih peran sebagai ibu dari bayi tersebut. Liesel terlahir dari hubungan semalam ketika Melysa dijebak rekan kerjanya yang iri kepadanya dengan seorang laki-laki yang tidak dikenal. Akibat peristiwa itu, Melysa terpuruk dalam depresi dan akhirnya meninggal. Genevieve harus berhenti sekolah, mencari kerja, dan membesarkan Liesel sendirian. Hidupnya sangat berat dan penuh penderitaan, hingga pada suatu ketika, ia bertemu CEO tampan dari grup Wirtz tempat ia bekerja dan mereka saling jatuh cinta. Namun ketika cinta mulai bersemi, rahasia kelam di masa lalu membuat hati Genevieve terluka dan memutuskan untuk pergi. *** Adler Wirtz tidak pernah jatuh cinta kepada wanita manapun sebelum ia bertemu Genevieve. Pengalaman buruk 4 tahun lalu ketika ia dijebak mantan kekasih untuk tidur dengan seorang wanita tidak bersalah membuatnya trauma. Selama bertahun-tahun ia menyimpan rahasia kelam itu, sambil berusaha mencari wanita yang tidur dengannya empat tahun lalu itu, setidaknya untuk menunjukkan tanggung jawab. Namun sayang, ketika Adler mulai membuka hati kepada Genevieve, rahasia masa lalunya terkuak ke permukaan bersama dengan munculnya anak perempuan yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Hidup Adler serentak berubah dan hubungannya dengan Genevieve pun hancur. Apakah Genevieve akan dapat memaafkan Adler dan melupakan dendam masa lalu? Ataukah ia akan meninggalkan Adler selamanya?

Missrealitybites · Urban
Not enough ratings
296 Chs

Makeover Bersama Fabiano

"Kau tampak berbeda, Bee." Genevieve tersenyum lebar melihat wajah sahabatnya, Beatrice, yang pagi bersemu kemerahan. Ia memperhatikan sedari tadi Beatrice tampak tersenyum sendiri dan bahkan bersenandung gembira. Ia menduga ada sesuatu yang terjadi.

Beatrice menggeleng. "Aku biasa saja, Ve."

"Tidak. Ada sesuatu yang berbeda denganmu. Apakah kau ... punya pacar?" Genevieve menebak.

Beatrice terkejut. Gadis itu merasa heran. Bagaimana bisa Genevieve mendadak menjadi penebak jitu?

"Eh.. dari mana kau tahu?" tanya Beatrice sambil tertawa.

"Ah, kau terlihat seperti orang yang sedang jatuh cinta. Siapa lelaki beruntung itu, hm?" Genevieve tersenyum menggoda sahabatnya.

Beatrice tampak malu-malu. "Uhm… dia asisten dosen."

Mata Genevieve membulat sempurna. "Lelaki itu pasti cerdas dan sangat tampan. Apa kau sudah siap untuk—"

"Diamlah. Aku belum mengatakan apa pun padanya." Beatrice membekap mulut Genevieve.

"Mommy, pacal itu apa?" Liesel yang sedang mengaduk serealnya bertanya dengan nada menggemaskan.

Beatrice melotot galak pada Genevieve yang mendadak kehilangan kosa kata untuk menjawab. "Bidadari kecil, ayo, habiskan serealnya."

Genevieve mengucapkan kata 'maaf' melalui gerak bibir. Beatrice hanya melengos dan tersenyum sebagai jawaban.

Ketiganya kembali asyik menyantap menu sarapan. Sesekali Genevieve mencoba berkomunikasi dengan bahasa isyarat dan langsung dibalas Beatrice yang melotot galak.

Bukannya takut, Genevieve malah tertawa kecil sembari sesekali tetap mencuri pandang bergantian ke arah Beatrice dan Liesel.

Bertepatan dengan piring yang diletakkan di wastafel, ponsel di saku kemeja Genevieve berdering.

"Siapa yang menghubungi aku sepagi ini?" Genevieve bergumam.

Agak tergesa, dia mengelap tangan lalu meraih ponsel itu. Jantung Genevieve mendadak berdetak lebih kencang.

"Tuan Adler? Sepagi ini? Yang benar saja." Genevieve hanya memandangi layar ponsel itu tanpa berniat untuk menjawab panggilan.

"Ve, kenapa tidak diangkat? Dari siapa?" Beatrice menghampiri sembari membawa peralatan bekas makan milik Liesel.

"Eh, it-itu ... bukan hal yang penting. Bee, aku harus segera berangkat. Tolong jaga Lily seperti biasa, ya."

"Oke. Pergilah. Selamat bekerja, Ve."

Genevieve merunduk untuk memeluk lalu mengecup pipi Liesel. "Jadilah anak manis dan jangan merepotkan Beatrice. Oke?"

"Oke, Mommy."

Genevieve mengusap lembut rambut Liesel. "Aku mencintaimu, Lily. Kau adalah permata hati Mommy."

Kalimat itu selalu diucapkan oleh Genevieve setiap mengusap rambut putri kecilnya. Selalu saja ada rasa haru yang menyeruak ketika Genevieve menatap ke dalam mata Liesel. Mata itu mengingatkan Genevieve pada sosok Mellysa.

Beatrice hafal betul apa arti tatapan mata Genevieve.

"Ve, pergilah. Nanti kau bisa telat," katanya.

Genevieve menegakkan badan kembali. Dia menatap ke arah Beatrice, seperti ada keinginan untuk mengatakan tentang skorsing yang diterimanya.

"Kenapa? Apa ada masalah?" Beatrice mengernyit.

Ponsel Genevieve berdering lagi. Hal itu membuat Genevieve membatalkan niat untuk berterus-terang. Gadis itu langsung melambaikan tangan lalu segera keluar dari flat mungil yang mereka sewa.

Adler langsung tersenyum sumringah ketika melihat Genevieve mendekat. "Selamat pagi, Genevieve. Tidurmu nyenyak?"

Genevieve tersenyum. "Pagi, Tuan. Ya begitulah."

Adler membukakan pintu mobil untuk Genevieve. Setelah memastikan gadis itu duduk dengan nyaman, barulah ia mengitari mobil untuk segera masuk dan mengemudi.

Adler baru memperhatikan penampilan Genevieve dengan seragam khas swalayan milik keluarga Wirtz. Tentu tidak mungkin membawa gadis itu berjalan-jalan dengan seragam itu.

Adler tersenyum samar. Mendadak muncul ide di kepalanya. "Kita berangkat sekarang."

Genevieve tentu tidak berani bertanya ke mana tujuan mereka. Mungkin terdengar naif, karena gadis itu sudah menaruh kepercayaan penuh pada Adler.

Untuk mengusir rasa canggung, Adler menyetel lagu. Karena untuk mengajak Genevieve berbincang-bincang, entah kenapa Adler seperti kehilangan kemampuan. Keduanya saling diam dan larut dalam pikiran masing-masing.

"Oke. Kita sampai."

Genevieve tersentak lalu merasa heran dengan tempat yang mereka tuju. Otaknya berpikir mungkin Adler punya urusan pekerjaan di tempat yang tampak masih belum buka itu.

"Ayo, turun. Kita harus menemui seseorang terlebih dahulu."

Genevieve merasa tebakannya tepat. Dia ikut turun tanpa perlu bertanya kepada Adler.

Namun, semuanya berubah ketika Adler menggandeng lengan Genevieve. Mendadak Genevieve merasa canggung sekaligus gugup secara bersamaan.

"Hai, Ad. Sudah lama tidak mampir." Sosok kemayu itu mendadak muncul dari arah pintu yang terbuka.

"Tu-tuan, ini--"

"Tenanglah. Ikuti saja." Adler menepuk lembut lengan Genevieve.

"Hm, siapa gadis ini, Ad?"

Mendadak Genevieve merasa tidak nyaman mendengar nada bicara sosok yang memindai penampilannya. Terkesan mengandung nada tak suka.

Adler tertawa kecil. "Genevieve. Tolong perlihatkan padanya tangan ajaib yang kau punya, Fab."

Lelaki itu tersenyum tipis, kentara mencoba menyembunyikan sesuatu. "Seandainya saja aku tau kalau kedatanganmu ke sini hanya untuk mengubah seorang gadis. Ck!"

Adler melepaskan tangannya dari Genevieve. "Ah, ayolah, Fab. Hanya kau satu-satunya sahabat yang mengerti seleraku. Kau yang terbaik, Fabiano."

Dirangkulnya bahu lelaki yang mengenakan kemeja berwarna pink elektrik berbahan sutra itu.

"Ah, kau selalu bisa meluluhkan hatiku, Addie." Mendadak nada bicara Fabiano berubah manja.

Genevieve hanya bisa melongo melihat perubahan sikap lelaki kemayu itu. 'Apakah sedari tadi dia cemburu padaku?'

Melihat kedua lelaki itu berjalan masuk, Genevieve pun ikut mengekor. Mulut Genevieve langsung menganga melihat ruangan yang dia masuki. Tak hanya ruang make up tetapi juga banyak gaun dan wardrobe yang berjajar rapi. Manekin berbagai pose pun berderet dengan aneka gaun yang melekat.

"Selamat datang di dunia kesukaanku." Fabiano berubah menjadi ramah.

Jika di depan pintu masuk tadi Fabiano merasa cemburu, tidak di ruang kerjanya. Di tempat kebanggaan itu, Fabiano harus bersikap profesional.

"Aku akan membuatmu menjadi perempuan yang sangat cantik." Fabiano berjalan memutari Genevieve.

Adler yang memperhatikan keduanya hanya tersenyum simpul. Ada acara jamuan makan siang dengan beberapa klien penting. Agenda rapat tertutup mengenai bisnis baru yang ingin ia rambah.

Membawa Elma turut serta bukanlah hal yang tepat mengingat gadis itu tak akan sungkan merajuk karena bosan. Maka Adler sengaja membawa Genevieve yang sudah pasti akan diam dan menurut.

Genevieve duduk di kursi empuk berhadapan dengan kaca yang besar dan memanjang. Fabiano melepas kuncir rambut milik Genevieve. Aroma shampo murah langsung menyeruak, membuat lelaki gemulai itu mengejek dalam hati.

Terlebih ketika mengetahui kalau kemeja yang dikenakan adalah seragam swalayan, Fabiano semakin merasa geli. Dalam hati ia mengejek selera Adler yang mendadak turun drastis. Bukannya kekasih Adler adalah Elma, sang mantan supermodel yang cantik dan modis itu? Kenapa Adler sekarang datang dengan gadis kampungan, ya?

Fabiano tidak suka kepada Elma. Menurutnya mantan model itu terlalu sombong. Jadi, kalau sampai Adler meninggalkannya untuk gadis baru, Fabiano sih menduking saja. Tetapi ia tidak mengira selera Adler akan berubah seperti ini.

Bukannya Fabiano tak mengetahui tentang rumor mengenai Adler di luar sana. Lelaki tampan yang digilai banyak wanita. Walau Adler ramah tetapi tidak suka main perempuan. Selama ini hanya satu wanita yang diakui oleh keluarganya sebagai calon istri pemuda itu. Ya, si Elma Cecilia Hoffman itu.

Fabiano penasaran ingin tahu apakah Adler dan Elma sudah putus dan kenapa.

"Apa kau keberatan kalau aku sedikit merapikan rambut ini?" tanyanya kepada Genevieve.

"Tidak, Tuan. Sudah lama saya ingin membentuk rambut, hanya tidak sempat saja." Genevieve tersenyum.

Gadis itu mencoba menutupi kenyataan bahwa memotong rambut di salon kecantikan membutuhkan biaya. Bagi ibu tunggal sepertinya, masih banyak hal penting yang butuh biaya ekstra. Potong rambut tidak termasuk dalam skala prioritas.

Gunting tajam milik Fabiano pun mulai bekerja. Adler tahu proses perubahan Genevieve akan memakan waktu lama. Jadi, lelaki itu pun lebih memilih untuk menyelesaikan pekerjaan melalui ponsel pintar miliknya.

Ini kali kedua Adler mencoba mengubah penampilan sederhana yang melekat pada diri Genevieve. Genevieve resah. Kebaikan hati Adler mendadak menjadi beban di kepalanya. Terlalu banyak hutang budi yang tak bisa diuangkan.

Dia ingin bertanya berapa tarif yang dikenakan, tetapi takut, mengingat sikap Fabiano yang bisa berubah dengan cepat.

'Mungkin aku lebih baik jujur saja pada Tuan Adler. Karena semua ini terasa sangat berlebihan. Aku tak suka dengan niat terselubung.' pikir Genevieve cemas.