webnovel

Tuan CEO, Jangan Cintai Aku!

Sejak kematian Melysa, kakaknya yang meninggalkan bayi mungil bernama Liesel, Genevieve yang baru berusia 17 tahun, harus mengambil alih peran sebagai ibu dari bayi tersebut. Liesel terlahir dari hubungan semalam ketika Melysa dijebak rekan kerjanya yang iri kepadanya dengan seorang laki-laki yang tidak dikenal. Akibat peristiwa itu, Melysa terpuruk dalam depresi dan akhirnya meninggal. Genevieve harus berhenti sekolah, mencari kerja, dan membesarkan Liesel sendirian. Hidupnya sangat berat dan penuh penderitaan, hingga pada suatu ketika, ia bertemu CEO tampan dari grup Wirtz tempat ia bekerja dan mereka saling jatuh cinta. Namun ketika cinta mulai bersemi, rahasia kelam di masa lalu membuat hati Genevieve terluka dan memutuskan untuk pergi. *** Adler Wirtz tidak pernah jatuh cinta kepada wanita manapun sebelum ia bertemu Genevieve. Pengalaman buruk 4 tahun lalu ketika ia dijebak mantan kekasih untuk tidur dengan seorang wanita tidak bersalah membuatnya trauma. Selama bertahun-tahun ia menyimpan rahasia kelam itu, sambil berusaha mencari wanita yang tidur dengannya empat tahun lalu itu, setidaknya untuk menunjukkan tanggung jawab. Namun sayang, ketika Adler mulai membuka hati kepada Genevieve, rahasia masa lalunya terkuak ke permukaan bersama dengan munculnya anak perempuan yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Hidup Adler serentak berubah dan hubungannya dengan Genevieve pun hancur. Apakah Genevieve akan dapat memaafkan Adler dan melupakan dendam masa lalu? Ataukah ia akan meninggalkan Adler selamanya?

Missrealitybites · Urban
Not enough ratings
296 Chs

Genna, Apa Kau Tak Ingin Punya Pacar?

Masa skorsing Genevieve sudah habis. Gadis itu kembali masuk kerja. Antrian pembeli pun dihadapinya dengan cekatan dan sikap ramah seperti biasa.

"Terima kasih sudah berbelanja. Silakan datang lagi." Genevieve tersenyum lebar.

"Aku senang melihatmu kembali ceria, Ginny. Syukurlah masalah kemarin tidak membuatmu terpuruk berlarut-larut." Erich tersenyum seraya meletakkan beberapa dokumen.

"Tuan Erich."

"Itu ada beberapa dokumen yang harus kau tanda tangani." Erich menunjuk. "Kalau sudah selesai, kembalikan ke ruanganku."

"Baik, Tuan."

Erich pun berjalan ke kassa lainnya, sekadar mengamati kinerja para kasir dalam melayani pengunjung swalayan itu.

Selama ini, kinerja para karyawan dilaporkan langsung kepada pihak pengawas swalayan. Erich sendiri tidak pernah bertemu dengan pemilik swalayan tempatnya bekerja itu. Kabar yang mereka ketahui, pemilik grup supermarket Ross ini adalah seorang wanita yang sudah berusia senja. Bahkan, nama supermarket ini diambil dari nama beliau.

Genevieve langsung menarik kaitan besi untuk menandakan kassa yang dia jaga tutup sementara. Dengan cekatan gadis itu mengisi dokumen yang diletakkan oleh Erich. Genevieve membaca ulang untuk memastikan semua sudah terisi dengan benar.

Genevieve membawa dokumen itu, melewati meja kerja Irmina. "Nona Mina, saya hendak mengembalikan dokumen ini ke ruangan Tuan Erich."

"Ya, pergilah."

Seolah-olah sudah dikomando, beberapa pasang mata staf lain mendadak menjadikan Genevieve sebagai pusat perhatian. Tiba-tiba saja raut wajah mereka bereaksi serempak, cemas mendadak.

Genevieve mengetuk pintu ruangan Erich Braun. Suara dari dalam ruangan mempersilakan gadis itu untuk masuk.

"Tuan Erich, ini dokumennya sudah saya tanda tangani." Genevieve meletakkan berkas itu di atas meja.

"Duduklah, Ginny."

"Baik, Tuan."

"Aku minta maaf karena tidak bisa mengungkap siapa pelaku sebenarnya. Tapi aku berjanji akan membersihkan namamu."

Genevieve mengernyit. Dia merasa tidak adil. Mengapa pelaku penjebakan itu tidak diberi hukuman? Ada apa sebenarnya?

Dalam hal ini, Genevieve mendadak hilang respek terhadap kondisi Erich. Padahal selama ini, dia menanggap sosok Erich sebagai panutan.

"Ada lagi yang ingin Tuan bicarakan?" Genevieve berusaha agar nada bicaranya terdengar normal.

"Kau tidak dipecat, Ginny. Tersenyumlah."

Maka Genevieve pun memaksakan sepotong senyuman agar pembicaraan tak penting di antara mereka segera berakhir.

"Oke. Kau boleh kembali ke tempat kerja."

"Baik. Terima kasih, Tuan."

Setelah ia keluar dari ruangan itu, Genevieve mengembuskan napas panjang. Dia ingin mengeluh meluapkan kekesalan karena tidak terima dengan ketidakadilan yang ia alami, tetapi di tempat kerja bahkan dinding bisa bicara. Ia tahu harus berhati-hati.

"Ginny, apa yang kalian bahas di dalam?" Diana, salah satu kasir, menghampiri Genevieve.

Genevieve hanya tersenyum tipis. "Tidak ada. Tuan Erich hanya menjelaskan tentang form yang aku isi tadi."

"Tentang masalah handphone kemarin?"

Genevieve menggeleng. "Tidak ada. Tuan Erich tidak membahas hal itu."

Genevieve tidak sepenuhnya berdusta, bukan? Toh, memang benar, tidak ada petunjuk siapa pelakunya karena Erich enggan mengungkap kebenaran.

"Aku harus buka kasir lagi." Genevieve tersenyum lalu melewati Diana. "Permisi."

"Kenapa harus dirahasiakan? Maling mana ada yang mau ngaku." Diana mengomel setelah Genevieve sudah menghilang dari pandangannya.

Genevieve melewati Irmina sembari menyunggingkan senyum seraya mengangguk. Genevieve berpikir panjang untuk menentukan langkah, karena pekerjaan ini adalah hal menyenangkan baginya.

Tentu Genevieve tidak ingin membuang peluang yang sudah susah payah dia dapatkan. Hal yang terjadi belakangan, dianggap sebagai ujian kehidupan semata.

Ketika Genevieve sampai di area kassa, Adler sudah ada di sana. Pria itu tersenyum sambil mengangkat sebotol air mineral yang dibelinya.

"Tuan Adler, maaf, karena membuat Anda menunggu. Silakan." Genevieve menarik kaitan besi yang menandakan kasir kembali dibuka.

Anehnya, Adler tidak berkata-kata apa-apa. Laki-laki itu hanya mengangguk singkat lalu pergi setelah membayar. Genevieve tertegun sejenak melihat keanehan dari sosok laki-laki yang mengenakan kemeja biru itu.

'Kenapa dengan laki-laki itu? Apa dia marah kepadaku?' Genevieve merasa bingung.

"Maaf, Nona. Saya mau membayar."

Genevieve tersentak, lalu tersenyum ramah pada pengunjung swalayan yang mengantri untuk membayar.

Setelah pengunjung swalayan yang mengantri untuk membayar di kassanya sudah tak ada lagi, Genevieve kembali menarik besi tanda tutup itu. Dia melangkah keluar, mencari keberadaan Adler.

Dari tempatnya berdiri, Genevieve melihat Adler sedang berpelukan dengan seorang perempuan cantik. Untuk sesaat Genevieve tertegun melihat adegan di depannya.

"Oh, dia sudah punya pacar, ya? Lalu kemarin itu ... apa?" Genevieve tersenyum, getir.

Genevieve berbalik badan. Ada hal aneh yang dia rasakan, karena mendadak merasa sakit hati.

'Ini aneh. Bukannya selama ini, aku tidak merasakan apa-apa terhadapnya? Kenapa sekarang malah ... entahlah.' Genevieve membatin bingung.

Genevieve melanjutkan pekerjaannya dengan hati yang penuh tanya. Ia heran dengan sikap Adler yang tadi datang tetapi tanpa basa-basi sama sekali.

Ketika jam kerja usai, Genevieve bergegas menuju loker. Ada rasa trauma yang mendadak muncul ketika hendak membuka loker itu.

"Semoga tidak ada lagi kejadian aneh," bisik Genevieve.

Gadis itu mengembuskan napas lega karena di dalam lokernya tidak ada benda asing. Genevieve memekik keras, Norbetta muncul tiba-tiba ketika pintu loker itu ditutup. Parahnya, Norbetta tidak merasa bersalah sama sekali.

"Astaga, Nona Norbetta. Kenapa mengejutkanku?" Genevieve mengelus dada.

Norbetta malah tersenyum sinis. "Enak sekali kau ini. Hanya dihukum dua hari untuk mencuri barang dari kantor. Tidak potong gaji?"

Genevieve merotasi bola mata. "Ayolah, Nona. Saya tidak terbukti bersalah. Tuan Erich sudah memastikan hal itu. Masalah selesai."

Norbetta bersedekap. "Apa hal itu yang kalian bahas hanya berdua di ruangannya? Apa kau sekarang juga menggoda Erich?"

Mendadak, Genevieve merasa tidak nyaman. "Tidak ada hubungannya, Nona. Jangan melantur!"

"Tapi aku--"

"Ada apa ini?" Irmina muncul tiba-tiba dari belakang Norbetta.

"Tidak ada, Nona Mina. Saya permisi." Genevieve berlalu di bawah tatapan sinis dari Norbetta.

Genevieve tidak ingin menambah masalah. Terlebih di tempat kerja. Sudah susah payah didapatkan, tentu saja tidak mungkin dilepas hanya karena masalah sepele.

Genevieve melangkah cepat. Hatinya sakit. Terlalu banyak masalah yang dihadapi seharian ini. Semua campur aduk menguasai pikirannya. Genevieve terus melangkah menuju jalan pulang. Ransel yang biasa dia bawa, didekap erat di depan dada. Genevieve merasa hal itu bisa melindungi diri dari rasa sakit.

***

Seperti biasa, pagi itu Genevieve turun dari flatnya untuk berangkat kerja. Hanya saja, dia tak menyangka kalau Adler sudah menunggu sembari bersandar di mobilnya.

"Hai," sapa Adler ketika Genevieve baru saja keluar dari flat.

'Seingatku, laki-laki ini tengah pasang aksi diam. Kemarin dia belanja dengan sikap acuh tak acuh. Kenapa malah pagi-pagi sudah muncul seolah-olah tidak ada masalah?' Genevieve merasa bingung. Alis matanya sedikit naik, heran atas perubahan sikap Adler.

"Aku antar kau pergi kerja. Shift pagi, kan?" Adler langsung membuka pintu mobil.

"Iya. Terima kasih."

Adler sedikit berlari mengitari mobil untuk kembali mengemudi. Semalaman lelaki itu berpikir untuk mengejar cinta Genevieve lagi.

"Apa kau sudah sarapan?" tanya Adler setelah menutup pintu mobil.

"Sudah, Tuan."

"Genna, apa kau sudah lupa? Jangan panggil Tuan lagi."

"Maaf. Hanya belum terbiasa saja."

Sebenarnya, Genevieve ingin bertanya tentang sosok gadis yang berpelukan dengan Adler. Namun, ada bisikan yang melarang untuk menanyakan hal itu.

"Nanti pulang kerja, tunggu aku, ya. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat."

"Oh, oke."

Sesaat, terjadi keheningan di antara keduanya. Mendadak, Adler menyentuh tangan Genevieve. "Apa kau tak pernah ingin punya pacar?"

Wahh... Adler udah mulai menjurus nihhh...

Menurut kalian, dia mau nyatain nggak tuh?

Missrealitybitescreators' thoughts