1 Teman Minta Jatah

Aku mempunyai teman, seorang straight. Dia mengetahui jika Aku seorang Gay saat tidak sengaja berkunjung ke kossanku, bodohnya saat itu aku tidak mengunci pintu, sehingga temanku melihat adegan seorang laki-laki menghujam liang senggamaku.

Aku takut bukan main, takut jika dia jijik dan menghindar dariku. Namun tak disangka setelah kejadian ia memergokiku, ia sama sekali tidak menghindar, malah ia semakin sering berkunjung, dan tentunya minta jatah preman karena ia penasaran ingin ikut mencicipi tubuhku. Aku sebenarnya tidak mau, karena aku menganggapnya teman, apalagi aku mengenal pacarnya, bahkan aku dan Pacar perempuannya cukup dekat. Namun karena aku sedikit takut sebab ia tahu rahasiaku, Aku memberikan saja keinginannya untuk mengagahiku, dan ia malah ketagihan. Hampir setiap saat dan setiap waktu ia datang padaku hanya untuk meminta jatah, aku sudah sempat menolak, tapi dipikir-pikir rasanya enak.

Ia keturunan arab, dadanya berbulu lebat hingga menyatu ke bagian selangkangannya, masalah ukuran otong tidak perlu ditanya, sesuatu di selangkangannya super jumbo, bagaikan logo microphone pelunas hutang, tapi bagian microphonenya saja, tidak termasuk gagangnya. Jelas saja aku berat untuk menolak permintaanya, mana bisa aku cuek dengan bentuk microphone jumbo di selangkangannya itu.

Namun diluar hubungan sex kami, kami masih berteman. Hangout bersama, di kantorpun tidak kaku, kami masih sering makan siang bersama tanpa membahas kejadian kejadian sex yang pernah kami lakukan berdua. Baginya sex denganku hanya pelampiasan nafsunya saja. Diluar itu, kami tetaplah sepasang teman, tidak kurang dan tidak lebih.

"Wey Gabriel, ngelamun aja, pasti ngelamun jorok ya?" ia menepuk bahuku cukup kencang, membuyarkan lamunanku yang telah jauh diawang- awang, memikirkan selangkangannya dan juga tubuhnya yang beberapa hari ini sering hadir dalam mimpiku.

Entahlah, akhir-akhir ini aku terlalu berperasaan saat melayani nafsunya, sepertinya aku mulai jatuh hati.

Aku yang sedang duduk di bangku kerjaku tersenyum, sambil memainkan pulpen di bibirku. "Dasar Ibrahim bego, ngagetin mulu kerjaannya" ujarku melotot.

"Geb, ganti aja, jangan pake pulpen, pake ini mau gak?" ujarnya menggodaku yang mengemut pulpen, ia menunjuk selangkangannya.

Laki-laki keturunan arab itu bernama Ibrahim, nama yang bagus, seperti nama Nabi. Sayangnya kelakuannya tak sama, berbanding terbalik. Dengan wajah tampan khas arabian hot man yang sering ku googling, ia selalu memanfaatkan ketampanannya untuk bergonta ganti pacar agar bisa ditiduri. Tentu saja, jangan pikir setelah dia meniduriku, dia berubah menjadi gay, nyatanya tidak, walaupun aku mau dan tidak menolak, tapi Ibrahim tetap hanyalah menjadikan aku selingan saat ia tak menemukan mangsa wanita.

"Gua isep depan orang, biar tau rasa lu" ujarku membuatnya tertawa.

Aku dan Ibrahim satu kantor, satu management, bahkan satu divisi, kami sama sama Assisten Manager Marketing di perusahaan ini. Ibrahim tugasnya memeriksa penjualan para sales lokal, sedangkan aku memeriksa penjualan dari para sales export, tentu saja pekerjaanku lebih ringan, tidak seperti Ibrahim, karena penjualan didalam negeri meliputi hampir semua wilayah yang ada di Indonesia, sedangkan untuk export, produk yang dibuat oleh perusahaan tempat kami bekerja baru menyentuh negara Amerika Serikat, Inggris, Meksiko dan Kanada.

Kami berada dalam satu ruangan tertutup dengan lapisan kaca, meja kami berhadapan, kaca ruangan diatur dengan kaca yang bisa dilihat dari dalam namun tidak dapat tembus dari luar. Selain aku dan Ibrahim di ruangan ini, ada manager kami, namanya Ibu Melanie namun lebih suka dipanggil Mba Mel, meja kerjanya ada dipojok ruangan, dipisahkan oleh sekat kaca transparan, sehingga baik kami atau Bu Melanie bisa saling melihat satu sama lain.

"Geb, Mba Mel kemana?" tanya Ibra yang duduk di kursi depanku, kursi yang biasa untukku menerima tamu.

"Gua Gabriel, bukan Gebby" ujarku cemberut, ia mengubah panggilannya semenjak tau aku adalah seorang gay, bahkan ia meracaukan nama Gebby saat batangnya menghujam liang senggamaku.

"Bagusan juga Gebby, jadi pas gua entot, gua enak manggil nama lu nya, aah ... aaah Gebby, seret, enaak aaah ... Gebby" ujarnya tertawa terbahak bahak, merasa sesuatu yang dipraktekannya lucu, apa dia tidak mengetahui bahwa aku justru terangsang dengan gerakannya barusan yang memaju mundurkan selangkangnya di depanku.

"Suka-suka lu dah Bra, Mba Mel pergi, katanya ada urusan sama vendor"

"Gua entod ya manggil nama gua Bra, emangnya gua kutang" ujar Ibra mendelik, habisnya aku tidak biasa memanggil namanya Baim, terlalu pasaran, Ahim atau Rahim juga kurang keren, makanya aku memanggil namanya Ibra, menurutku jauh lebih gagah didengar, dan sesuai dengan kegagahannya di ranjang.

"Udah sering kali Ibra, udah gak keitung lu ngentotin gua" ujarku melempar pulpen yang kugigit tepat di selangkangannya.

"Salah sendiri enak, kalo gak enak, gak mungkin gua minta lagi dan lagi, terus kenapa juga lu mau?" tanya Ibra membela diri.

"Sembarangan!!, lu ngancem mau nyebarin rahasia gua, gimana gua mau nolak lu"

"Hehehe, itu kan anceman dulu banget pertama kali lu nolak gua buat nyobain, lagian cuma becanda masih diinget aja, jangan ngambek dong, gua masih butuh lu sebagai temen gua" ujar Ibra menggaruk kepalanya.

"Temen apa temen?" tanyaku memancing.

"Ya temen lah, kan banyak hal positif lain yang kita lakuin berdua, gua butuh lu gak cuman pas sange doang kan!!"

"Justru gua kangen masa masa kita jadi bener bener temen, Ibra"

"Gak usah mellow dah, kayak sekarang ini udah paling enak, kita TTM" ujarnya tersenyum, manis sekali.

Wajah arab sialan itu memang sangat menggoda, seandainya aku wanita, aku sudah pasti rela dihamilinya, yah walaupun masih harus berpindah agama terlebih dahulu. Karena nama Gabriel Florentinus Lauw bukan nama islami seperti Ibrahim Yusuf Almuzakky yang sedang ada di depanku.

"Teman Tapi Mesra, najis, geli gua dengernya hahaha" Ledekku menertawai Ibra.

"Hmm ... sotoy, TTM dari gua artinya Teman Tapi Makinglove" ujarnya tersenyum.

"Gak cocok" timpalku membuat kedua bola matanya memutar, masih mencari kata-kata yang cocok.

"Teman Tapi Mengentot, udah fix cocok hahaha" ujar Ibrahim tertawa.

"Brengsek, bikin pengen aja" lirihku pelan.

"Bisa diulang Geb!"

"Apanya?" tanyaku kebingungan

"Yang tadi"

"Tadi yang mana sih Ibra?" aku makin bingung

"Itu lho yang lu bilang barusan" ia memperjelas lagi.

"Bikin pengen maksudnya?" aku menekankan kata tersebut.

"Emang lu lagi pengen?" tanya Ibrahim mendekatkan wajahnya, ia meniupku dengan nafas segarnya. Sialan, bulu kudukku merinding dibuatnya.

"Apaan sih, gua kan cuman peran pengganti, peran utamanya kan lu, gua mana bisa minta, gua kan cuman nunggu" ujarku, tapi aku menyesal mengatakan itu, secara tidak langsung itu adalah curahan hatiku.

Tepat sekali, selama ini aku hanya menunggu kapan Ibrahim mau menyetubuhiku, bukan karena aku yang minta. Padahal sesekali aku sangat mendamba sentuhannya, namun aku tidak berani jika harus meminta langsung kepada Ibrahim.

"Emang lu pernah Geb, ngerasain penge...en banget dientod sama gua?" tanya Ibrahim.

Pertanyaan macam apa itu, jelas saja jawabannya IYA, tidak mungkin TIDAK. Bahkan bukan pernah lagi, tapi sering, malah setiap hari rasanya ingin minta ke Ibrahim untuk berkata Ibrahim, Please Fuck Me.

"Ya enggaklah, ada-ada aja" jawabku lantang. Susah kalau punya sifat gengsian, apa yang dipikirkan di otak tidak sinkron dengan yang keluar di mulut.

"Ooh, kirain pernah" ujar Ibrahim tersenyum kecut, apa seorang Ibrahim berharap keluar kata iya dari mulutku, tidak mungkin.

"Geb, pengen nih, yuk" ajak Ibrahim tanpa malu malu.

"Gila lu!! ini dikantor" makiku dengan suara pelan.

"Kan Mba Mel lagi gak ada" jawabnya enteng.

"Iya, Mba Mel nggak ada, tapi diluar itu kan banyak admin sama staff yang lain Ibrahim bego!!" makiku lagi dengan suara pelan, takut terdengar staff dan adminku yang ruangannya di luar ruangan kami.

"Ya elah, kan nggak keliatan dari luar" ia kembali mengentengkan jawaban.

"Iya gak keliatan, tapi kedengeran, kalo gua ngedesah, ngerintih, gimana?" pelototku kearahnya

"Mainnya jangan berisik" jawab Ibrahim Enteng.

"Nggak ah, ide lu gila" tolakku tegas.

"Ya udah kalo nggak mau, gua ngocok aja disini, udah nggak tahan"

Ibrahim membuka resleting celananya, jas yang membalut tubuhnya ia singkap, begitu juga dengan kemejanya yang berwarna cream. Batang kejantanannya langsung mencuat dari balik resleting celananya, aku menelan ludah, aku pikir Ibrahim berbohong jika ingin mengocok batangnya, namun ternyata ia benar-benar melakukannya didepanku. Sial.

Tidak sampai disitu saja, Ibrahim melepas ikat pinggangnya, lalu membuka kancing dan melorotkan celananya hingga ke bawah lutut dengan posisi masih duduk di kursi yang ada didepanku. Aku tak tahan lagi, aku menginginkan batang Ibrahim, batang besar dengan rambut kemaluan yang lumayan lebat, serta bulu paha yang menggoda, itu yang tak bisa kulupakan dari seorang Ibrahim.

Aku melangkah menuju pintu, lalu membalikkan papan yang ada di pintu, papan langsung berganti dengan tulisan busy.

"Perhatian, saya lagi ada meeting sama Mas Baim, kalau ada yang penting dihandle sendiri dulu ya" ujarku dengan suara cukup kencang pada admin dan juga staff kami yang ada di luar ruanganku.

"Berapa lama Ko Gabriel? soalnya Lita ada dokumen yang harus ditanda tangani, tapi belum Lita siapkan" Sahut Lita, dia adalah bawahanku.

"Iya Koh, Lusi juga ada dokumen yang mesti ditanda tangani Mas Baim, sekalian titip buat Mba Mel" Lusi ikut menimpali.

Aku melirik jam dinding di ruangan staffku, biasanya Ibrahim kuat bercinta hingga 1 jam bahkan bisa lebih. Aku mendadak jadi bingung, akhirnya kuputuskan untuk mengatakan 1 jam, lalu kembali masuk ke dalam ruangan, aku langsung mengunci pintu dari dalam.

Ibrahim sudah telanjang bulat, ia masih saja memainkan kemaluannya dengan tangannya sendiri. Ia serius onani di ruangan kami.

"Udah sini tangannya gua gantiin, gua nggak mau lu begini" omelku.

"Gitu dong dari tadi, cepet isepin Geb" perintah Ibrahim.

Tanpa dikomando oleh Ibrahim, Aku sudah pasti akan menghisap batangnya, tidak mungkin aku sia-siakan, selama perjalanan sex ku dengan pria lain, bagiku Ibrahim adalah pria terlezat yang pernah aku cicipi.

Kuhisap sedalam dalamnya kejantanan Ibra hingga menyentuh kerongkonganku, "emphh ... ssh ... ahh".

Aku begitu tergila gila dengan kejantanan pria arab ini, aroma selangkangannya bagiku tidak bau, justru harum, apalagi bulu-bulunya. Aku memberi jilatan pada bulu yang tertata rapi di atas kejantanannya, lalu menjalarkan lidah ke batang kejantanannya yang kupegang, kemudian berhenti di kepalanya yang sunat, beda dengan milikku yang berkulup, kujilati lubang kecil yang kasat mata di kepala kemaluan Ibra dengan penuh nafsu, membuat Ibra mendesah cukup kencang.

"Aaachhh ...." ia mendesah.

"Ssst, tadi lu bilang jangan berisik"

aku menghentikan aktifitas hisapanku di kejantanannya, aku memarahi Ibrahim yang sempat mendesah terlalu kencang.

"Sorry, keceplosan, abisnya sumpah, isepan lu emang paling enak diantara semua cewek yang pernah ngisep punya gua" ujarnya membelai rambutku.

"Gua cowok, masa dibandingin sama cewek" balasku melotot.

"Ya abisnya mau bandingin sama siapa? kan cuman lu cowok yang nyicipin gua, tar gua cobain dulu cowok lain kalo mau dibandingin sesama cowok" ia terkekeh.

"Gua hajar lu, gak ada cowok lain yang boleh cobain punya lu selain gua" aku mendelik mengancam Ibrahim.

"Kayaknya lu mulai baper sama gua?" Ibra menaikkan alisnya.

"Enak aja, kita cuma fun, gak lebih" ucapku tegas.

"Iya, udah buruan lanjutin lagi, jangan berisik, bacot aja dari tadi" omelnya memerintah.

Aku kembali menghisap kepala kemaluan Ibrahim, tubuh Ibrahim mengejang, pahanya ia lebarkan agar mulutku leluasa naik turun mengulum permen lollipopnya yang sebesar jagung tua.

"Ini gua gak boleh teriak, aduh kesiksa banget" lirih Ibrahim menekan suaranya.

Nafas Ibrahim naik turun seperti orang yang habis berlari puluhan kilometer. Kuhentikan hisapan mulutku di kejantanan Ibrahim, lalu kulepas dasiku dan kukalungkan ke leher Ibrahim. Dia tersenyum, kutarik dasi yang mengikat lehernya, seperti hewan peliharaanku, Ibrahim hanya menurut saja saat aku menunjuk ke meja kerjaku, seolah mengerti ia duduk di atas meja, aku mengambil baju kemejanya yang ada di kursi, kupakaikan lagi menutupi lengan dan tangan Ibrahim tanpa mengancingnya.

"Ngapain dipakein lagi?" protes Ibrahim dengan suara yang pelan.

"Lu lebih sexy kalo nggak telanjang" pujiku membuatnya tersenyum.

Ibrahim menarik kerah kemejaku, lalu mencium bibirku. Aku terperanjat, ini serius Ibrahim mencium bibirku, selama ini Ibrahim hanya mau dihisap, lalu dia menghujamkan kejantanannya di liang senggamaku, tapi hari ini dia mencium bibirku.

"Kok lu diem, lu gak bisa ciuman, Geb?" tanyanya menghentikan ciumannya.

"Bukannya ... biasanya lu gak mau ?" aku malah balik bertanya dengan wajah menunduk.

"Udah nanggung, lagian gua tau lu gak ngerokok, gak minum, rajin ke dokter gigi, apa yang mesti bikin gua jijik dari bibir lu, udah gak usah bengong buruan cium gua, tadi enak kok" perintah Ibrahim menepuk pipiku pelan.

Karena sudah mendapat persetujuan Ibra, aku segera menarik dasi yang melilit lehernya, sehingga kepalanya ikut tertarik mendekat, langsung kulumat bibir Ibra. Ibra tak mau kalah, ia mengeluarkan jurus ciumannya yang memabukkan, lidahnya menyapu seluruh area mulutku, tak ada yang ia sisakan, bahkan gigiku ikut terkena jilatan Ibra.

"Ah ... wangi kayak mulut si Rasty" puji Ibra menyamakanku dengan Rasty, temanku sekaligus pacar barunya yang montok itu.

Aku kembali menciumi Ibra dengan penuh nafsu, tanganku bergerilya ke tubuhnya, sambil terus bergerak menuju kejantanan Ibra, kuberi kocokan lembut di kejantanannya, tubuh Ibra kembali mengejang, tapi ia tak mampu mendesah karena mulutnya terkunci di mulutku, hingga hanya kata empphhh saja yang keluar dari mulutnya.

Masih dengan posisi berciuman, Ibra melepas kancing kemejaku, Ia membiarkan kemeja bahkan jas ku menutupi tanganku, Ia menyibakkan kemejaku, tangannya dengan nakal memelintir putingku, aku ingin mendesah kencang namun tidak mungkin kulakukan, karena diluar sana banyak anak buah kami, apa kata mereka jika suara desahanku terdengar.

Ibra menyudahi ciumannya, lalu ia beralih ke kedua putingku, ia menghisapnya dengan kuat, Ahhh ... ini juga pertama kalinya Ibra menghisap putingku, sebelumnya ia tidak akan mau menggerayangi tubuhku.

"Ibra, lu kok jadi aneh gini? ahh ..." tanyaku keheranan.

"Jangan berisik, banyak tanya, nikmatin aja" omelnya padaku dan melanjutkan aksinya seperti bayi yang menetek.

Dengan buas Ibra menghisap dadaku bergantian, ia menggigit putingku dengan pelan, aku memekik tertahan, ingin teriak tapi tak bisa. Sialan, tersiksa sekali rasanya bercinta namun harus menjaga suara, wajahku pasti sudah memerah seperti kepiting rebus.

Ibra menarik kerah bajuku, aku didorong ke meja, tubuhku dibalikkannya hingga posisiku membelakangi tubuh telanjang Ibrahim yang mengenakan kemeja namun bagian bawahnya sudah polos tanpa benang.

"Ahh ... ini nih yang bikin gua ketagihan" pujinya di telingaku sambil menampar bokongku.

Dengan cepat Ibra melucuti celanaku, namun ia membiarkan celanaku hanya sebatas lutut, tubuhku didorong sehingga aku tertungging bertumpu badan pada meja kerjaku, kepalaku sampai tersantuk dengan laptop di mejaku.

"Awww" teriakku pelan, lumayan sakit karena bagian sisi laptop terbuat dari besi.

"Jenapa Riel?" tanya Ibra.

Aku diam, jelas saja aku diam, Ibra tak salah memanggil, selama ini dia memanggilku Gabby, apalagi saat ingin menyetubuhi aku seperti ini, tapi barusan dia menyebut nama asliku, aku yakin tidak salah dengar.

"Kok malah diem, ya udah, siap-siap ya Riel, sekarang langsung gua masukin" ujar Ibra lagi, aku tersenyum senang, bahagia sekali mendengarnya.

Aku sudah tidak memerlukan ancang-ancang, kuda-kuda ataupun persiapan. Kejantanan Ibra sudah biasa keluar masuk di pantatku, jadi dengan mudah batangnya amblas, namun tetap saja rasa pertama itu sakit, panas, perih, barulah setelah Ibra menggoyang batangnya rasa nyeri itu hilang.

Ibra menghentakkan pinggangnya cukup kuat.

"Aaghh ... Emphh ... emphh" hampir saja aku berteriak kencang kalau tidak tangan Ibra segera membekap mulutku.

"Ssttt, tadi Ibra bilang apa, Gabriel jangan berisik" ujarnya berbisik di telingaku.

Wajahku merona, aku tersipu malu, Ibra berbicara dengan begitu lembut ditelingaku, tidak menggunakan Lu dan Gua, tidak menggunakan panggilan Gebby, tapi dia menyebut namaku dan namanya.

"Ibra gerakin ya Riel" ujarnya lagi berbisik.

Aku mengangguk, Ibra mulai memaju mundurkan pinggangnya, penis jumbonya menusuk di liangku, berkali kali ditusuk Ibra namun masih saja sakit, berkali-kali di tusuk Ibra tapi tetap saja nikmat. Ibra tidak tahu bahwa ... semenjak aku disetubuhi Ibra, aku sama sekali tidak berminat ke lelaki lain, hanya Ibra seoranglah yang kuinginkan, kujaga tubuhku untuknya, bahkan aplikasi gay dating untuk mencari teman fun kuhapus, karena bersama Ibra, aku tak hanya merasakan nikmat, tapi juga kenyamanan.

Batang Ibra terus menusuk, terhujam di dalam liang senggamaku, mataku memejam, kepalaku mendongak, gigiku menggigit bibirku sendiri, berusaha untuk tidak membunyikan suara suara yang berisik, oh god, nikmat sekali batang kejantanan pria arab ini.

"Gabriel, ahh ... seret sayang" bisik Ibra pelan ditelingaku, lidahnya menjulur menggelitik daun telingaku.

Sialan! Ibra dengan nakal malah memanggilku sayang, benar benar tidak memikirkan perasaanku.

"Jangan berisik" ujarku menoleh dan memagut bibirnya.

Ibra terus menggenjotku, tak ada lagi suara di mulut kami, selain suara kecipakan batangnya yang keluar masuk di dalamku.

Tangan Ibra melingkar di perutku, menjalat turun lalu membelai batangku yang menegang. Aku ingin berteriak mendesah, nikmat sekali, nikmat saat tubuhku digenjot, sedangkan kemaluanku dikocok, lagi lagi ini hal baru yang dibuat Ibra padaku, baru kali ini dia mengocok batangku.

Aku melirik jam dinding, sudah hampir satu jam kami bercinta, gawat jika lebih lama, bisa bisa bawahan kami merasa aneh. Ibra mempercepat kocokannya di batangku dan juga mempercepat genjotan batangnya di liang senggamaku.

Teriakanku tertahan mulut Ibra, saat cairanku tumpah ruah di meja kerja, ahhh ... aku puas, puas sekali. Akupun melepas pagutan bibirku.

"Aku mau keluar Riel" bisiknya, aku hanya mengangguk, lalu gantian membekap mulut Ibrahim.

"Emph ...." teriaknya seperti anak kecil yang dibekap seorang penculik.

Tembakan cairan Ibra membasahi liang senggamaku, Ibra malah memaju mundurkan batangnya lagi di dalam liang senggamaku yang becek.

"alAstaga, udah Ibra!" pekikku pelan, namun Ibra tetap memegang pinggulku tak mau melepasnya.

"Jangan berisik" hawabnya tetap menggenjotku.

"Lu kan udah keluar" teriakku tertahan.

"Emang, tapi masih enak" ujarnya memaksa.

"Plis udah, gua janji sama anak anak 1 jam doang meetingnya" aku mengiba

"gak mau" timpal Ibra.

"Jangan ampe gua teriak ya" ancamku

"Teriak aja, paling kamu yang malu"

"Hah, kamu? Ibra, lu gila ya?" tanyaku keheranan.

"Aku bakal lepasin kamu, tapi janji dulu, mulai sekarang jangan pake Lu Gua saat ngentot sama aku" ujarnya sambil tersenyum.

"Iya" jawabku

"Janji?" tanyanya lagi

"Iya, Ibra, lepasin punya kamu, aku udah gak kuat" ujarku memelas.

Ibra tersenyum, ia melepas genjotannya, huuh ... lega rasanya, ia malah terkekeh.

"Aku emang doyan ngentod samakamu, tapi aku bukan hypersex tau gak" ujarku melotot.

"Doyan banget?" tanyanya menggoda

"Iyalah pake nanya" ujarku cemberut

Ibra malah mencium bibirku dan melumatnya lagi.

"Aku juga riel, kamu janji dulu selamanya jadi TTM ku? kalo iya, aku juga janji bakal nyebut nama Gabriel saat ngentod, bukan Gebby lagi" ujarnya tersenyum melepas pagutannya, ia memandangku tajam sekali menusuk ke dalam sanubari.

Aku menunduk menahan tersipu, dalam kesadaranku, aku mengangguk.

Next Part """

avataravatar
Next chapter