1 Prolog.

Suara ketukan palu hakim menjadi akhir hubungan pernikahan Calista Evanya serta Ardan Januar yang baru empat tahun merajut rumah tangga, wanita yang duduk tak jauh dari Januar itu meremas lututnya sendiri seraya menahan air matanya agar tak jatuh, tapi lagi-lagi ia yang kalah. Air matanya jatuh begitu saja mengekspresikan perasaannya hari ini, gugatan cerai dari Ardan tak bisa dielak sama sekali, Calista tak bisa melakukan apa-apa. Padahal tak ada yang berkhianat antara keduanya, bukan juga masalah ekonomi yang menjadi momok klasik bagi pasangan suami-istri, masalahnya sederhana; restu yang tak pernah bisa Calista dapatkan.

Wanita 25tahun itu sadar betul seperti apa bencinya Maya—sang ibu mertua—terhadap dirinya sejak Calista dan Ardan menjalin hubungan saat mereka masih sama-sama kuliah, ternyata tulusnya perasaan Calista yang ia pertahankan sejak enam tahun lamanya tak sanggup meruntuhkan hati Maya yang beku, tak sanggup melunturkan kebencian terhadap dirinya yang dianggap tak pantas untuk Ardan. Meski Ardan sendiri tetap menentang sang ibu dan menikahi Calista tanpa restu, tapi lambat laun semua pun pupus pada akhirnya.

Entah seperti apa, restu seorang ibu adalah pengokoh hubungan paling kuat di antara pasangan suami-istri pun antara Ardan serta Calista, sakit hati selama dua tahun menjalin hubungan dengan Ardan selalu Calista tahan, ia kuatkan batinnya hingga mereka menikah tanpa restu, tapi sikap Maya lebih menyakitkan setelahnya, wanita itu bahkan tak menganggap Ardio—putra Ardan dan Calista—sebagai cucunya, belum cukup sayatan yang Maya bagi, karena wanita itu memilihkan wanita lain untuk jadi istri kedua Ardan, setelahnya semua guncangan itu meruntuhkan pertahanan kesabaran Calista, ia gagal untuk segalanya.

Kini, Calista Evanya resmi menjadi seorang janda, dan hak asuh atas Ardio Januar resmi jatuh ke tangan Calista setelah Ardan memang tak mungkin mengurus sang putra saat ibunya sendiri begitu benci pada balita tak berdosa itu.

Ardan hanya diam setelah putusan terakhir dari sang hakim, ia menoleh pada Calista yang terlihat menangis, wanita itu bergerak keluar disusul pengacaranya setelah hakim mengakhiri sidang pagi ini.

"Aku mau langsung pulang aja, Mer," ucap Calista seraya menuruni sekitar lima anak tangga menuju parkiran pengadilan, Meri—sang pengacara—sekaligus teman dekat Calista itu menghela napas panjang, ia bingung harus bagaimana menghibur Calista yang kini begitu hancur, Meri tahu seperti apa kisah Calista dan Ardan sejak mereka masih duduk di bangku kuliah.

"Lista, kalau kamu butuh tempat bercerita atau hal lain, tolong hubungi aku." Meri menepuk bahu wanita itu saat Calista membuka pintu mobilnya. "Aku siap kapan pun buat kamu, nggak akan ada yang berubah."

Calista mengurungkan niatnya untuk masuk ke mobil, ia mengusap air matanya dan memaksa tersenyum. "Makasih, sendiri dulu mungkin lebih baik. Makasih kamu udah mau jadi pengacaraku hari ini. Maaf bikin repot kamu, Mer."

"Itu kewajibanku, Lista. Hati-hati di jalan, ingat ya, hubungi aku kapan pun kamu butuh." Meri menepuk lagi bahu Calista sebelum melenggang menghampiri mobilnya.

Tepat setelah Meri melenggang pergi, sosok Ardan datang dan menahan Calista yang sudah membuka lagi pintu mobilnya, wanita itu kembali mengurungkan niat dan meluruhkan tangan Ardan dari lengan kanannya.

"Calista, maaf."

"Saya tahu, saya paham, saya yang salah. Harusnya memang cerita saya sama kamu nggak seperti ini, Ar. Ibu nggak akan paham, kamu tenang aja ya ... lima bulan lagi semua berubah, saya pasti datang ke acara pernikahan kamu, sambut hari bahagia kamu tentunya." Wanita yang mengenakan hijab pashmina putih itu meluruhkan lagi air matanya, sudah pasti hari ini air mata akan terus menetes tiada akhir. Siapa yang menyukai sebuah perpisahan memangnya?

"Lista, andai kita punya pilihan, saya cinta sama kamu, nggak akan berakhir." Raut melankolis Ardan begitu kentara, dia juga sama remuknya karena harus meninggalkan seorang wanita yang sudah enam tahun bersamanya melalui liku-liku tak mudah, tapi Ardan sadar—kalau hubungan mereka tetap berlangsung, maka Calista yang akan terus terluka oleh keangkuhan Maya.

"Kita memang nggak pernah punya pilihan sejak lama, tapi kita paksa, dan inilah akhirnya. Saya sama kamu nggak pernah berlanjut, Ar."

"Dio gimana?"

"Dio putra saya, biar saya yang urus semua, permisi."

"Calista, tapi—"

Wanita itu sudah lebih dulu masuk mobil dan menutup pintu, ia parkir mundur kendaraannya seraya terus menangis, andai mereka tak pernah menentang keputusan Maya, pasti takkan ada luka menganga sebesar itu. Sejak lama Calista membiarkan luka-lukanya semakin bernanah tanpa bisa mengobatinya, lalu Maya sayat lagi di sisi yang lain tanpa membiarkan Calista agar sembuh, cinta seperti apa yang harus dipertahankan saat pihak lain tak bisa melanjutkan.

Calista sudah berada di puncak akhir, ia memilih mundur dan meninggalkan laju yang tak bisa dilanjutkan, ia berhasil keluar dari labirin penuh liku yang dibuat Maya, ibu mertuanya itu akan senang menghadapi resminya perpisahan antara Calista dan Ardan.

"Kita yang salah, aku memang nggak pantas buat kamu, Ar. Selamat tinggal."

***

avataravatar
Next chapter