webnovel

TRISALVARD

Aku bahkan tidak mengetahui siapa aku sebenarnya, dari mana asal-usulku, dan orangtuaku. Yatim piatu, begitu orang biasanya menjulukiku. Saat ini aku hidup di sebuah negeri yang bernama Slanzaria, Kerajaan yang sangat berjasa bagiku sebab telah mengangkatku sebagai anaknya. Aku bertekad untuk membalaskan jasa pada negeri ini, dengan mengejar impianku menjadi seorang Prajurit Suci. Namun, beberapa hari sebelum aku dikukuhkan sebagai calon Prajurit Suci, peristiwa-peristiwa aneh dan menyeramkan menghampiri hidupku. Bayangan makhluk itu datang kembali dan mencakar kulitku, kemudian menghilang meninggalkan rasa sakit dan tanda tanya besar di hari-hariku. Perlahan-lahan, aku menjalani rentetan misteri dan teka-teki yang menghampiriku. Yang perlahan-lahan membongkar siapa diriku yang sebenanarnya, dan membongkar misteri tentang negeri ini yang disimpan selama ratusan tahun.

YourPana · Fantasy
Not enough ratings
25 Chs

Sampan di Lautan

Anak laki-laki itu tak lain adalah Arion. Joah dan Shany panik bukan kepalang menyaksikan tubuh yang biasanya kokoh namun kini berguncang deras, wajahnya tampak memucat dan gigi-giginya juga bergemeretak. Joah dan Shany berusaha menanyakan padanya apa yang terjadi. Sedangkan jawabannya hanya dengan membuka mulut untuk menyebut-nyebut nama Joah dan Shany berulang-ulang, lalu terhenti tanpa ucapan lagi. Jelas, Arion sedang ketakutan.

"Kau ini kenapa? Jangan buat jantung orang membeku karena perbuatanmu!" desis Joah.

"Jangan banyak bergetar-getar di atas laut, pamali!" Shany memberi peringatan.

"Tenang Arion! Ceritakan pada kami pelan-pelan!" tuntun Joah. Namun usaha mereka untuk meredakan ketakutannya tidak berhasil.

Tiba-tiba, dari pintu masuklah Alan dengan seorang wanita muda yang menggandeng lengannya. Ketakutan Arion berkurang perlahan-lahan ketika mereka berdua sampai di ranjang dimana Joah berbaring. Tetapi kedua bola mata Alan hanya menancap pada mata Joah lalu berucap,

"Kau baik-baik saja?" nadanya datar, memberi kesan tidak ikhlas berbicara.

"Aku baik-baik saja, aku sudah meminum ramuan dan bubur itu. Bagaimana denganmu?" balas Joah.

"Oh, sudah lama tidak ada yang menanyakan kabarku." Respon Alan.

"Aku antara baik dan tidak baik." Sambungnya. Alan duduk di ranjang, sedangkan wanita itu tetap berdiri.

Wanita itu memakai jubah hitam yang menutupi seluruh tubuhnya, rambut kepalanya ia tutupi dengan kerudung jubah bahkan pada wajahnya terpasang cadar. Begitu Joah mulai menandai pakaian wanita itu, seketika wanita itu langsung membuka jubah kerudung dan cadarnya.

Wanita itu menunjukkan bagaimana dirinya yang sebenarnya, dia sudah pasti adalah Geva. Dia memamerkan tubuh tinggi dan kaki jenjangnya dengan pakaian biru terang yang melilit kulit sawo matangnya, serta anting-anting yang sewarna.

Joah dapat merasakan betapa rampingnya pinggang wanita itu. Bibirnya merekah dan bola matanya hitam menghanyutkan, serta rambut hitam panjangnya terhembus angin darat. Seolah-olah dia adalah seorang dewi laut yang menampakkan diri.

Joah tidak terlalu mengubris mata Alan yang masih menatapnya penuh keseriusan. Ia melirik Arion dan anak itu sudah tidak bergetar lagi, tetapi raut wajahnya masih ketakutan, mungkin kehadiran Alan perlahan-lahan menenangkannya.

Joah masih penasaran apa yang menyebabkan Arion ketakutan, apa yang dia lihat? Apa dia melihat tentakel gurita raksasa pelahap bangkai kapal yang sedang menyengkeram dek kapal dan siap membalikkan kapal? Kalau memang begitu, seharusnya dia segera memberitahukannya agar mereka dapat meloloskan diri, seperti menceburkan diri ke laut.

"Joah yang manis, namaku Geva. Senang bertemu denganmu!" mendadak sebuah telapak tangan mulus mengarah pada Joah. Geva tersenyum tipis padanya berharap Joah membalasnya.

Joah meraih telapak tangan itu. Namun mereka hanya mampu berjabat tangan selama satu detik, tiba-tiba wanita itu mencampakkan telapak tangan Joah dengan kasar. Semua kepala menoleh kepadanya,

"Ada apa, Geva?" tanya Alan kebingungan.

"Lain kali, bersihkan tanganmu jika ingin bersalaman. Tidak sopan!" Wanita itu melingking di hadapan Joah.

"Maaf, aku lupa membersihkan tanganku. Aku tidak sengaja melakukannya." Jawab Joah membela diri, tidak menyangka ternyata wanita itu sangat ketat soal sopan santun.

Wanita itu melap telapak tangannya pada jubahnya untuk membersihkan sisa air yang berasal dari tangan Joah. Setelah dia rasa tangannya sudah bersih, dia lalu menatap Joah dan berkata,

"Tidak apa-apa, aku tidak akan menganggapmu anak kurang ajar. Aku tahu kau baru tersadar sehingga pikiranmu belum bisa mengontrol perilakumu dengan baik." Ucapnya, mendadak suaranya berubah menjadi lembut.

"Sekali lagi, maafkan aku!" ulang Joah. Berharap ia tidak diceburkan ke laut hanya karena kesalahan ini.

"Maafkan aku juga karena sudah membentakmu seperti tadi. Aku merasa bersalah, seharusnya aku pun mampu mengontrol emosiku. Maafkan aku ya!" mohon wanita itu.

Joah mengangguk kepadanya. Dan setelah beberapa detik, wanita itu berjalan melenggang ke arah tangga yang mengarah ke lantai atas kabin. Wanita itu pergi begitu saja meninggalkan mereka berempat, tanpa kata perpisahan atau basa-basi apapun. Bagi Joah, perbuatan seperti itu jelas lebih tidak sopan daripada perbuatannya.

"Alan, mau kemana Geva?" tanya Shany.

"Ke lantai atas kabin, di sana ada kamarnya." Jawab Alan.

"Apa dia pergi karena marah pada Joah?" Shany memastikan.

"Aku pikir tidak. Dia pasti sangat merasa bersalah karena membentak Joah, sehingga hal itu membuatnya tidak enakan." Jawab Alan.

Lalu mereka pun melupakan Geva, begitu pula dengan Joah. Ia bertanya kepada Alan,

"Alan, kira-kira berapa hari supaya kita sampai ke Gunung Erinah." Tanya Joah yang sudah sangat tidak sabar ingin mendapatkan axorius.

"Geva mengatakan kalau ini adalah kapal yang sudah sangat tua. Aku tidak tahu apa kalian menyadarinya atau tidak, tapi kapal ini berlayar sangat lambat. Kira-kira dua malam perjalanan, padahal sebenarnya jarak antara Pulau Ospillia dan Aphoria tidak begitu jauh." Alan menjelaskan.

"Oh begitu. Aku ingin bertanya satu hal lagi." Tambah Joah.

Alan mengangguk.

"Sebagai seorang penjelajah kau pasti tahu, apa perairan yang sedang kita layari ini memiliki semacam monster yang mendiaminya?" tanya Joah diikuti dengan lirikan kecil pada Arion.

"Aku tidak pernah mendengar jika kraken hidup di Laut Asquir." Jawab Alan seakan dia mampu membaca pikiran Joah.

"Bagus kalau begitu." Balas Joah sambil menoleh pada Arion, berharap anak itu tidak ketakutan lagi, namun hasilnya sama saja.

"Fajar sudah hampir dekat. Aku harus meninggalkan kalian, aku harap kalian segera tidur. Biarkan Joah sendirian, dia harus beristirahat!" pinta Alan.

"Arion, kau tidur di ranjang samping Joah. Sedangkan kau Shany, tidur di kamar lantai atas bersama Geva. Jika kalian membutuhkanku, temui aku di kamarku di seberang lantai dua." Tambah Alan.

Pria itu langsung meninggalkan mereka bertiga menuju tangga yang berbeda dengan yang dilewati Geva. Namun tiba-tiba pintu tangga kembali terbuka, kepala Alan muncul dan berkata,

"Tidurlah dengan nyenyak, aku jamin tidak akan ada duddler yang datang ke sini." Lalu dia menutup pintunya, dan benar-benar menghilang.

Arion entah kenapa langsung merebahkan diri pada ranjangnya dan menyelimuti seluruh tubuh dan kepalanya. Shany merapikan seluruh mangkuk, gelas dan peralatan-peralatan di atas meja yang dia gunakan untuk membuat ramuan dan bubur. Kemudian dia berkata,

"Kebetulan aku juga sudah mengantuk. Kalian berdua jangan melakukan apa-apa lagi." Shany memperingatkan, gadis itu langsung meninggalkan mereka melewati tangga yang dilalui Geva.

Dan kini hanya tinggal Joah dan Arion. Joah membalikkan tubuhnya menghadap Arion, ternyata Arion menghadapkan tubuhnya tidak berhadapan dengan Joah. Joah masih penasaran apa yang membuat dia ketakutan, padahal Alan sudah mengatakan tidak ada kraken ataupun duddler di sini.

"Arion!" panggil Joah berbisik, namun tidak ada balasan dari anak itu.

Maka Joah memustuskan untuk memikirkan sendiri apa penyebabnya, ia mengharapkan suasana yang sepi dan tenang agar dapat berpikir dengan baik. Namun dari dalam kabin, untuk pertama kalinya Joah mendengarkan deru ombak laut yang menghantam kulit kapal. Bunyi itu membuat Joah tidak dapat berpikir dengan baik.

Kemudian muncul ide di kepalanya. Satu-satunya petunjuk mengapa Arion menjadi ketakutan adalah bahwa terakhir kali dia baik-baik saja sebelum keluar kabin, lalu dia kembali dengan wajah ketakutan. Jadi satu-satunya cara adalah memeriksa apa yang ada di luar!

Joah kembali memanggil Arion dan memukuli ranjangnya, memastikan apakah anak itu sudah tertidur atau bagaimana. Tampaknya tidak ada tanda-tanda kesadaran dari anak itu, sehingga ini merupakan kesempatan baik buatnya.

Joah mengambil lentera setengah redup yang tergantung di atas ranjang dan perlahan-lahan turun dari ranjangnya. Ia berusaha mengumpulkan keberanian, meyakinkan dirinya bahwa ini demi keselamatan dirinya juga.

"Aku harus berani, aku harus berani. Aku baru saja dilantik sebagai calon prajurit suci!" bisiknya berusaha memupuk keberanian.

Joah langsung berjalan pelan-pelan ke arah pintu kabin yang terkunci. Sesekali menoleh ke belakang dimana Arion tertidur, ia tidak ingin anak itu bangun lalu melarangnya ke luar. Beruntung semuanya terkendali, maka Joah mulai mempercepat langkah kakinya.

Kini, pintu kabin sudah berada di dekatnya. Ia melepaskan kunci gerendel yang terkunci di kaitannya, lalu mulai memutar gagang pintunya pelan-pelan hingga menghasilkan bunyi "nyit" kecil panjang.

Pertama, Joah mengeluarkan setengah kepalanya. Dengan mengandalkan bola mata kanannya ia menerawang seluruh pemandangan yang mampu ia jangkau. Angin yang membawa tetesan ombak laut menyemir setengah rambutnya sehingga ia harus mengeluarkan usaha lebih untuk menghindari segala gangguan.

Ia sangat yakin bahwa situasi aman, maka ia mengeluarkan seluruh tubuhnya dari kabin kapal. Ia melangkahkan kakinya di atas dek kapal yang terbuat dari kayu dan memandang sekitarnya. Lautan biru kehitaman disiram oleh cahaya bulan purnama yang terang benderang, sehingga membantu penglihatan Joah dan membuat lentera yang ia tenteng dengan tangan kirinya menjadi kurang berguna.

Baru Joah menyadari bahwa kapal ini hanya berukuran sedang, padahal sebelumnya ia berpikir sedang menaiki kapal raksasa untuk pertama kalinya. Ombak laut yang menyerbu kulit kapal tidak membuatnya takut meskipun itu menyebabkan guncangan pada kapal, malahan ia semakin mantap melangkah-langkahkan kakinya di dek kapal.

Ia berjalan terus ke arah haluan, sangat menikmati setiap langkah kakinya yang diiringi oleh bunyi deburan ombak dan aroma laut yang khas. Itu semua membuat dirinya senang, sehingga tampaknya ia melupakan alasan ia melakukan ini.

Kini Joah berada sangat dekat dengan anjungan, ia memperhatikan ruangan yang pintunya terbuka lebar itu. Dari luar Joah dapat melihat kemudi, kompas, dan peta yang tidak dijaga oleh siapapun. Ia mendekatkan dirinya dengan anjungan supaya memperjelas penglihatannya, akhirnya ia melihat seorang nahkoda tua yang sedang tertidur dengan lencana Slanzaria dilengannya. Itu artinya ini adalah kapal milik Slanzaria.

Joah kembali berjalan menuju haluan, ternyata di sana ombak terasa sangat jelas memerciki wajahnya. Sambil mengeratkan pegangannya pada salah satu pegangan di pinggir haluan, Joah benar-benar terbuai oleh pikiran dan lamunan yang hinggap di kepalanya. Mulai dari teror malam di rumah Shany, mimpi buruknya tentang wanita yang menancapkan pedang ke dadanya, suara rintihan di sekitar Aedrethenon, pegasus yang hidup kembali, dan penyerangan yang terjadi di Galathium. Serentetan peristiwa itu hanya ia alami selama dua hari tiga malam saja.

Ia kemudian mengarahkan pandangannya ke seluruh laut, sambil memikirkan kira-kira berapa jarak lagi yang harus mereka tempuh agar muncung kapal ini sampai ke salah satu pelabuhan di Aphoria.

Lalu tiba-tiba, Joah benar-benar dapat melihat jika ombak naik lebih tinggi dan berguncang lebih kuat dari sebelumnya. Hal itu membuat dirinya hampir terjatuh ke lautan apabila ia tidak benar-benar mengeratkan pegangannya. Joah berjongkok dan memejamkan matanya, berharap penglihatannya akan kejadian yang tiba-tiba itu tidak membuatnya panik. Kali ini sebagian besar tubuhnya telah tersirami oleh percikan air.

Dalam pejaman matanya, Joah dapat mendengar suara ombak yang meraung-raung seakan-akan kehadirannya membuat murka penguasa lautan. Butuh waktu beberapa saat bagi Joah untuk melatih keseimbangan tubuhnya dari guncangan ombak, hingga akhirnya ia membuka kedua matanya secara perlahan-lahan untuk memastikan jika ia masih berada di atas kapal.

Ternyata Joah masih berada di posisi yang sama, tidak bergerak sedikitpun. Kecuali bola matanya yang bergerak-gerak mencari sumber suara aneh yang baru saja ia dengar. Joah menajamkan telinganya dan berharap suara itu muncul kembali. Beberapa menit kemudian, dari lautan ada yang melolong,

"TENANGLAH, SAYANGKU!" kedengarannya seperti suara laki-laki berumur dua puluh tahunan.

Joah menjinjitkan lehernya, lalu memperhatikan sekelilingnya sejauh matanya mampu memandang. Di suatu tempat, ia dapat melihat sebuah titik gelap terjungkat-jungkit oleh ombak yang ganas. Joah penasaran benda apa itu, tapi sudah pasti itu adalah sesuatu yang dapat berbicara.

"OMBAK BESAR DI DEPAN!!!" terdengar teriakan seorang wanita yang amat memilukan. Benar saja, gulungan ombak sebesar tembok tinggi berusaha menampar titik itu dan,

"BWAR..." ombak benar-benar menghantamnya.

Joah sangat tercengang menyaksikannya meskipun ia belum yakin apakah ini nyata atau tidak. Maka lebih baik ia menyaksikannya sendirian tanpa perlu diketahui Alan atau yang lainnya. Tentu saja ia sudah tidak mau membuat manusia keheranan dan menatapnya dengan aneh jika ini memang halusinasinya.

Ombak yang baru saja menampar permukaan lautan itu kembali menyatu dengan air laut sekitarnya. Beruntungnya, Joah masih dapat melihat titik itu yang selamat dari tamparan ombak. Perlahan-lahan, Umbra semakin dekat dengan titik itu sehingga Joah dapat melihatnya lebih jelas.

Ternyata titik itu adalah sebuah sampan kayu kecil yang diapungi oleh sepasang pria dan wanita. Pria itu berbadan tegap dan tinggi sedangkan wanita itu tampak halus dan rapuh sekali. Pria itu terus mengayuh sampannya dengan pendayung yang kelihatannya sudah hampir patah. Kemudian,

"OEKKK... OEKKK..." terdengar nyaring suara tangisan bayi yang memecahkan emosi Joah. Ternyata mereka adalah sepasang suami-istri yang memiliki anak.

"SAYANG, APA AKU HARUS TENGGELAM SAJA? SAMPAN INI TIDAK AKAN TAHAN LAGI MENAMPUNG BEBAN BEGINI." Pekik sang istri, dia harus berteriak agar suaranya tidak teredam oleh deru ombak.

"TIDAK ADA HUBUNGANNYA, INI SEMUA KARENA OMBAK BESAR!" Jerit sang suami sehingga tampak seperti memarahi istrinya.

"NAMUN BEBAN SEPERTI INI HANYA AKAN MEMPERPARAH KEADAAN!" Sang istri malah mengadu argumen.

"JERNIHKAN PIKIRANMU!" gerung sang suami.

"KALAU BEGITU BIAR AKU SAJA YANG TURUN. KEDUA ANAK KITA MEMBUTUHKANMU, KAU IBUNYA!" sambungnya sambil menatap dua bayi lunak yang berada dipelukan istrinya.

Joah baru sadar ternyata mereka tidak hanya memiliki satu orang bayi, melainkan dua yang sama-sama merah. Mereka sudah pasti adalah bayi kembar yang jerit tangisannya mampu menyayat hati Joah. Terutama tangisan bayi yang terakhir ia ketahui yang menangis lebih kencang daripada yang satunya.

Kali ini, benar-benar tergerak hati Joah untuk menolong mereka. Namun bagaimana kalau itu hanya halusinasinya saja? Joah harus memastikannya kembali. Maka ia mencubit seluruh tubuhnya, memukul-mukul wajahnya, dan melebar-lebarkan matanya. Lalu memandang ke sana sekali lagi, ia masih dapat melihat pemandangan menyedihkan itu.

Lalu tiba-tiba, dari angkasa terdengar,

"GAK...GAK..."

Joah memandang ke atas. Ternyata ia tidak hanya melihat bulan purnama yang menggantung di langit, melainkan juga seekor burung hitam yang sedang berpatroli di udara. Burung itu terus-menerus berkoak hingga membuat situasi semakin mencekam.