1 Ikatan dan Perjanjian

Bunyi notifikasi pertanda pesan masuk dari sebuah aplikasi hijau membuat seorang pria menghentikan kegiatannya dari menyeduh kopi. Pesan dari saudari mudanya. Di sana tertulis:

"Abang Hanan-nya Hana yang cakep, besok adeknya Abang ini main ke kafe bareng Hasna. Siap-siap ya. Hahaha …."

Hanan menggeleng-geleng sambil tersenyum simpul. Dalam pikirannya, sang adinda tidak banyak berubah meski kini usianya sudah dua puluh lima tahun. Masih saja seperti dahulu, yang jika menggodanya pasti membawa-bawa nama Hasna Lily, yakni teman sang adik sekaligus cinta pertama bagi dirinya sendiri.

Tak lama, pemuda yang sepuluh tahun lebih tua dari Hana itu membalas singkat.  "Oke."

Benar, hanya sesingkat itu saja. Balasan singkat itu tidak sebanding dengan kenangan terdahulu. Pesan adiknya itu membuat Hanan teringat akan peristiwa di masa lalu.

Kala itu, Hanan sedang mengantar Hana ke sekolah menengah pertama. Tepatnya pada tahun 2008, saat itu tengah hujan dan bertepatan dengan hari ulang tahun Hanan yang ke dua puluh dua tahun. Matanya tidak sengaja memandang gadis yang ia kisar lebih tua dari adiknya. Ia mengira pastilah gadis remaja itu kakak kelas sang adik. Hanan memberi senyum dan dibalas pula dengan senyuman. Melihat gelagat kakak lelakinya, Hana menggoda.

"Namanya Hasna. Lengkapnya … hm, kalau enggak salah Hasna Lily. Dia salah satu siswi terpintar di kelas. Nah, salah satu yang lain adalah … sudah jelas adeknya Abang ini, Hana Sitarani!" Hana memperkenalkan sekaligus membanggakan diri.

"Oh, teman sekelas."

Hana mengangguk. Lalu tiba-tiba berseru dengan heboh hingga hampir terjengkang karena suara keras adiknya. "Bang!"

Hanan menggunakan tangan kiri yang tak memegang payung untuk menutup telinga kirinya yang berjarak dekat dengan sasaran suara Hana.

"Kita bertiga kayaknya jodoh!" Hana masih berseru, tapi tidak sekeras tadi.

"Hm?"

"Nama Abang, Hanan. Nama dia Hasna, nama adeknya Abang, Hana. Trio Ha!"

Hanan menghela napas. Kemudian menyuruh Hana untuk cepat memasuki kelas karena sebentar lagi bel masuk pasti berbunyi. Gadis ceria itu lalu berhati-hati memasuki kelasnya. Hanan memerhatikan sang adik hingga benar-benar masuk ke kelasnya yang tak jauh dari gerbang utama sekolah. Setelah itu, barulah ia kembali bekerja di rumah makan Padang dekat kediamannya.

Kenangan itu terusik karena salah satu karyawannya menyapa, memberi salam sebagai tanda hormat. Hanan membalas senyuman itu dengan hangat. Wajahnya yang seakan tak menua menggambarkan betapa ramah dan baiknya pria itu.

"Maaf, Pak. Ada yang mau ketemu sama Bapak."

Hanan mengangguk, lantas menemui orang yang mengunjunginya. Sesampainya di ruang khusus menjamu tamu, Hanan sedikit terkejut. Orang yang datang adalah pria yang tak disangka-sangka akan menampakkan muka di depan umum, atau lebih tepatnya di tempat yang berpotensi besar bertemu dengan gadis itu. Biasanya pria itu cuma mengirim pesan atau menelepon meminta transferan dua kali di setiap bulannya.

"Bapak!" Nada suaranya terdengar bermakna ganda. Antara terkejut dan kebingungan.

"Hanan. Apa kabar, Nak?" Laki-laki itu bangkit dari kursi yang didudukinya.

Hanan mengernyit. Sapaan 'nak' yang diberikan mantan suami ibunya ini selama hidup tak pernah ia dengar, baru kali ini saja.

"A-aah … alhamdulillah saya baik, Pak. Bapak apa kabar?" Hanan mempersilakan sang tamu untuk duduk kembali dengan gerakan tangan.

"Ya … gini-gini aja lah, Nan."

Hanan tersenyum miris. Ia bisa menebak kalau ayah tirinya ini pastilah baru saja dari kegiatan main judi dan hal tidak berguna lainnya. Usia pernikahan dengan sang ibu juga pendek, hanya sekitar lima bulan saja. Bahkan ketika Hana lahir ke dunia, laki-laki ini menafikan keberadaan putri kecilnya itu. Menuding Hana anak hasil zina dan ibunya sering diteriaki 'pelacur' jika tengah bertengkar.

"Kabar ibukmu gimana?" Ayah Hana bertanya lagi.

"Sebulan lalu baru aja dari sini, kayaknya sih kabar beliau baik-baik aja."

"Sekarang udah berapa anaknya Rina sama suami barunya?"

"Tiga," jawab Hanan pelan.

"Wah! Ramai. Siapa itu yang perempuan? Kemarin Rina unggah foto berdua. Kayaknya udah mau masuk SMA gitu."

"Ria."

"Dua lagi, siapa? Agak lupa."

"Adhitama yang paling besar, terus si Dimas paling kecil."

"Oh, iya. Sudah besar-besar juga ya."

Kemudian hening, tak ada lagi percakapan hingga Hanan kembali bersuara.

"Bapak enggak nanyain anak Ibuk yang lain?"

Lelaki tua itu tahu, siapa yang dimaksudkan oleh Hanan. Dia berpura-pura tidak mendengar pertanyaan anak tirinya itu dan membanting pertanyaan lain.

"Terus siapa itu nama suaminya Rina? Udah lama juga gak jumpa dia."

Meski kesal, Hanan tetap menjawab singkat. "Andi."

"Oh, iya … ya …."

"Bapak enggak nanyain Hana?" Kali ini Hanan bertanya lebih keras dan langsung pada inti.

Muka pria itu berubah masam, tidak suka nama Hana disebut-sebut karena menurutnya Hana penyebab perceraiannya dengan ibu dari lima orang anak tersebut.

"Oke, apa tujuan inti dari Bapak Yudi ke tempat sederhana saya ini?" Hanan mulai gerah.

Yudi bermanis-manis ketika ditanyakan hal itu. Senyuman lebar juga terpatri. Hanan mengeluarkan dompet dari saku blazer toska kesayangannya. Menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan kemudian berlalu.

Hanan bukan tanpa alasan memberi sejumlah uang kepada ayah kandung Hana. Tiga tahun lalu, Hana dilamar oleh seorang pemuda dan merencanakan pernikahan setelah laki-laki itu menyelesaikan kontrak kerjanya di luar negeri. Tahun depan pria itu baru bisa kembali, karena tahun lalu dan tahun ini, dia dilarang pulang oleh presiden setempat demi keamanan. Karena akan menikah, Hana jelas butuh seorang wali. Ayahnya masih hidup, dan saudara tua laki-laki Hana tahu benar, di mata adik tercintanya terdapat keinginan yang dalam untuk kedatangan ayahnya sebagai wali nikah. Hana ingin merasakan memiliki ayah meski hanya sebatas syarat sah dari syariat pernikahan.

Hanan pun kembali mengingat percakapan yang terjadi beberapa tahun silam. Suara-suara itu seperti menggema di telinganya.

"Tapi di dunia ini gak ada yang gratis, Hanan."

"Memangnya Bapak mau apa sebagai gantinya?"

"Apalagi di dunia ini yang paling penting selain uang?"

"Uang memang tuhan bagi sebagian orang. Kadang uang juga bisa menggantikan posisi darah daging. Bukan main luar biasanya kertas bernominal itu."

"Begitulah! Jangan lupa dan selalu ingat, Hanan! Aku cuma mau datang untuk menikahkannya, bukan untuk hal lain."

"Bapak setuju menikahkan Hana. Artinya jauh di lubuk hati mengakui kalau Hana anak Bapak."

"Hanan, Hanan. Pikirmu begitu? Aku melakukan ini untuk uang. Jangan salah menyangka."

Hanan mendesis. Kepala dan hatinya kompak merasakan nyeri. Dia segera memasuki ruangan pribadi untuk menenangkan hati. Duduk di sofa sambil menelungkupkan muka pada telapak tangan.

"Hana, kenapa Allah senang mengujimu, Dek? Apa yang kamu perbuat sampai Allah begitu sayang?" lirih Hanan sembari mengusap permukaan wajah.

avataravatar
Next chapter