webnovel

01. MENONTON FILM HOROR

ARGHHHH...

Suara jeritan sakit serta tangisan pilu dan terdengar ngilu di telinga Vino. Dia sesekali meringis dan merasakan merinding di sekujur tubuhnya. Saat ini dia berada di ruang televisi yang sedang menyala, menatap layar yang penuh dengan kegelapan serta banyak bercak darah di sudut mana pun.

"Lo nyaranin nonton film kagak bener si, Ger." Vino berucap geram, dia pikir Geri, sang sahabat membawa CD genre horror sesuai pesanan Vino.

Cowok itu tertawa kecil. "Sesekali ga apa 'kan. Toh, lo ga pernah nonton gore. Gue emang jijik, si. Cuma kalau ada lo mungkin ilang rasa itu."

Vino mendengus kasar, dia menyesal telah percaya pada Geri kali ini. Seharusnya Vino tidak mengajaknya untuk menonton horror, entah kenapa Geri sangat menyebalkan sekarang. Biasanya cowok itu akan menurut, namun Geri ingin menjahili satu temannya yang sangat menyukai berbaur horror itu. Geri tidak tanggung - tanggung menjahili Vino sampai cowok itu keringat dingin saat ini.

"Rese!!!"

Geri tertawa renyah, baru kali ini dia melihat Vino kesal padanya. Selama mereka berteman memang Vino tidak pernah memberikan raut marah atau kesal, mungkin karena Geri yang tidak pernah sekali pun membuat pertikaian.

"Lagian kenapa ga ajak si, David?"

Geri menatap malas, "Lo ga tau itu anak paling ga suka berbaur horror?"

Vino nampak lemas, dia mengeluh, "Yah, padahal nanti keluarga gue mau adain party helloween." biasanya memang Vino dan lima temannya selalu bersama, namun jika ada salah satunya yang tidak hadir sepertinya tidak akan seseru yang Vino bayangkan.

"Wah, gokil itu. Tapi ... gue bisa undang keluarga yang di luar kota ga, nih? Biar nambah rame gitu." sahut Geri mengusulkan.

Vino berpikir sejenak, dia apa harus menyetujuinya?

"Soal itu, gue harus ijin bokap atau nyokap dulu. Kalau boleh gue langsung kabarin lo secepat mungkin, sekarang mereka belum pada dateng." ucap Vino melirik sebentar.

Geri mengangguk mengerti. Dia juga harus menghubungi keluarga lainnya di luar kota terlebih dahulu, Geri pikir sekalian dia ingin bertemu langsung dengan sepupu nya yang di sana.

"Oke. Gue bakal tunggu, kok. Santai aja." Geri sedikit menepuk bahu Vino, mereka saling tersenyum lebar.

Mereka hanya berdua, sisa temannya yang tidak ikut ada kepentingan lain yang harus di selesaikan segera mungkin. Vino sudah mengerti dan paham tentunya, dia tidak pernah mewajibkan untuk terus bersama atau mengumpul di rumahnya.

"Oh, iya. Gue ada rencana sebelum party di laksanain ... gimana kalau kita liburan dulu?" Geri tidak pernah putus jika soal, mendinginkan otak. Cowok itu selalu saja membuat Vino harus berpikir lama, pasalnya Vino ada trauma walau kata liburan bagi semua orang itu asyik.

"Gimana, ya." Vino menimang keputusannya yang paling susah.

Jika di bandingangkan dengan soal ujian, mungkin Vino akan memilih soal tersebut di banding liburan. Dia tidak ingin trauma itu kembali menjalar. Vino cukup sekali mengalami, dia tidak ingin kembali untuk terluka kedua kali.

"Pantai atau .... villa?"

Hanya dua pilihan?

"Mereka emang ikut juga?" Vino hanya takut Geri akan menjahilinya lagi, dia bertanya memastikan dulu.

Cowok dengan rambut cokelat terang itu mengangguk cepat. "Sebelum gue ke sini itu udah jadi rencana awal. Tapi kalau lo ga ikut pun ga jadi masalah buat kita. Gue sama mereka ngerti apa yang selama ini lo takuti."

Vino tersenyum samar. Dia ingin sekali liburan bersama semua temannya, namun apa daya. Semenjak kejadian lama itu membuat Vino stres. Jika bukan karena kedua orang tuanya yang bercerita, mungkin saja semua temannya juga tidak tahu apa-apa. Vino beruntung, temannya pun mengerti dengan situasi lemah dari Vino.

"Thanks. Lo semua emang sahabat terbaik gue."

Geri tertawa. "Udah seharusnya juga kali, lo jangan terus makasih. Kalo ga liburan gimana ... makan?" cowok itu sepertinya menyukai usulan, menawarkan apa yang tidak Vino hindari tentunya. Apalagi Geri tukang makan di dalam satu kelompok teman Vino, tidak heran juga kalau Vino mendengar tawaran itu.

Vino tertawa geli. "Kalo soal isi perut, lo emang paling jago dan semangat. Jelas gue iyain." walau begitu Vano tidak pernah merasa risih.

"Lo traktir, hahaha." itu yang menjadi alasan utama, Vino yang menanggung semua makanan Geri maupun temannya yang lain. Porsi makan Geri yang terkadang tidak menentu dan sudah pasti menguras isi dompet Vino.

Tidak masalah. Vino akan merasa lebih tenang dan lega jika itu hanya makan saja, terlebih semua temannya juga ikut bersama. Dia akan senang juga, tidak pernah merasa semua hanya memanfaatkan. Geri pun tidak juga menunjuk harus mentraktir, dia pun ada kalanya saat mempunyai hoki pasti akan bertukar posisi. Itu lah sebabnya Vino tidak pernah merasa mereka terus menguras dompetnya. Saat ada mereka tidak akan sungkan untuk menjadi orang yang membayar semua hidangan apapun.

"Vin, gue balik, ya. Udah larut malem, lo ga takut sendiri 'kan?" pertanyaan Geri mampu membuat Vino meringis sadis.

"Udah biasa gue ampe pagi juga. Mereka asik berdua aja, ga mandang umur." gerutu Vino mengundang tawa Geri sampai terpingkal.

"Biarin, lah. Kali aja dateng-dateng lo punya dede. Ga serem sendiri terus apa? Kalau punya ade seenggaknya lo bakal ada yang nemenin." ucap Geri yang terdengar horor di telinga Vino.

"Bangke lo. Gue ogah punya ade, nyusahin." tutur Vino kesal.

Geri terpingkal. Dia sepertinya ada hobi baru yang bisa membuat Vino menjadi kesal, Geri akui sosok di depannya ini memang bukan lah orang yang tidak bisa menahan marah, Vino pasti salah satu orang yang mudah terusik juga.

"Yaelah, mana tau kalau belum rasa. Gue punya ade tapi jauh, rasanya kangen banget. Kayak ... itu adalah barang yang mau banget gue milikin, tapi ga akan pernah ada lagi selain itu." ucapan Geri membuat Vino bergeming. Apa mungkin jika Vino memiliki adik akan lebih menyenangkan dari hidupnya yang sekarang?

"Prinsip hidup gue emang ga mau sendiri, Vin. Seenggaknya kalau punya ade itu kita ada masalah bilang ke ade semisal orang tua sibuk atau mereka emang ga bisa buat di ganggu."

Vino tercenung. Geri sedikit membuat Vino diam, entah apa yang Vino pikirkan Geri tidak tahu. Yang jelas dari raut wajah satu temannya itu tidak bisa di tebak olehnya, mungkin Vino sedang membayangkan hal yang Geri ucapkan tadi.

Vino menelan ludah. Seumur hidupnya dia tidak pernah berpikir untuk mempunyai keinginan seperti, adik. Yang dia jalani kehidupannya selama ini sudah di ambang sempurna, kedua orang tuanya pun tidak pernah membicarakan hal semacam itu padanya.

Vino hanya cukup menjalani.

"Ga cuma hal itu. Sosok ade juga bisa jadi penyemangat kita, di saat susah atau pas kita lengah. Paling penting ... dia bisa jadi orang pertama yang selamatin kalau kita terjatuh."

Next chapter