1 Gadis Buruk Muka

"Ayo.... sini! Duduk di sini!"

"Maaf, Robert, saya sedang sibuk!"

"Aah...., biasanya kamu juga selalu menemaniku duduk! Sejak kapan kamu jadi sok sibuk?"

Carren meremas-remas jemarinya. Ia benar-benar heran, bagaimana mungkin Cassie bisa bersabar menghadapi orang ini?

"Oke....!" kata Carren sambil menggeser tempat duduknya. "Ya... Edmund, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya kemudian.

Laki-laki itu menatapnya tajam. Kulit wajahnya seperti tertarik ke depan.

"Kamu tidak kelihatan seperti Cassie...."

****

Seorang gadis memandangi hujan dari balik jendela kamar apartemennya yang terletak di gang kecil di samping Philadelphia Street. Hujan yang seperti tidak ada habis-habisnya, membasahi bumi, membuat hitamnya aspal menjadi semakin hitam. Rintik air menimpa atap tenda plastik cafe-cafe di pinggir jalan. Ritme suaranya teratur namun sendu. Satu-satu orang yang duduk di sana tanpa sadar ikut-ikutan terbawa suasana. Mendung Pendholva menularkan mendung di raut wajah mereka.

Angin malam berkelana. Dari ujung gang kecil hingga puncak gedung bertingkat. Menendang kaleng minuman kosong hingga  menggelinding di sepanjang jalan, dan menimbulkan suara yang membuat orang membayangkan sesuatu yang benar-benar buruk tengah terjadi. Menyibak selimut plastik gelandangan yang sedang mencoba menghindari serangan hujan di belakang sebuah restoran Italia. Ia mencoba membuat kesibukan di malam yang sepi.

Nakal. Angin malam yang lembut, namun mampu menyelisip di tulang-tulang. Dan tak jarang membuat orang lanjut usia mengeluh.

Gadis itu menyibakkan lagi tirai yang melorot turun. Dari sudut ini terlihat perempatan jalan Philadelphia Street yang selalu ramai dilewati kendaraan. Bila siang hari, banyak orang yang mengunjungi River God Fountain. Tak peduli betapa dinginnya udara hari itu. Dan mereka akan tampak lucu menggembung seperti bola squid dalam balutan jaket tebal mereka.

Dikeluarkannya pisau yang sejak tadi disembunyikan dalam saku celana piyamanya. Si gadis memegangnya dengan gemetar. Pisau itu berkilat ditimpa cahaya lampu. Kilatannya menyapu bola matanya, buru-buru dijauhkannya pisau itu.

Pukul setengah sembilan malam. 

Orang yang ditunggunya belum datang. Tiga puluh menit lagi. Setelah menutup tirai jendelanya kembali, gadis itu kemudian duduk. Tangannya meremas-remas kulit sofa. Resah. Sesuatu mengganggu pikirannya.

Si gadis beranjak dari kursi, melintasi ruang tamu yang kecil. Ia melewati vas bunga Dandelion yang setengah layu di samping pintu, tepat di bawah lampu duduk bertiang tinggi yang terbuat dari kayu. Cahaya lampu merayapi dinding ruang tamu yang ditutupi wallpaper bercorak kotak-kotak dengan corakan bunga teratai berwarna hijau kusam. Ia merasa ruang-ruang ini selalu sepi, seperti hidupnya yang tidak bergairah. Ia adalah bagian dari ruangan-ruangan ini, dan tidak pernah terpisahkan sejak dua tahun yang lalu. Hidupnya dihabiskannya dengan duduk diam, dan paling bentar jalan-jalan di sekitar ruangan apartmentnya. Sejengkal pun ia tidak pernah keluar dari tempat ini.

Gadis itu kembali duduk di kursi yang sama, setelah merasa dirinya sedikit lebih tenang dari berputar-putar tadi, padahal sebenarnya tidak. Matanya tanpa sengaja melirik pisau yang ada di atas meja. Bulu si gadis meremang.

Sepuluh menit menjelang pukul sembilan tepat. Ia membayangkan wanita itu sekarang pasti tengah keluar dari tempat kerjanya, sebuah klinik psikolog yang terletak agak tersembunyi di balik jalan besar. Lantas wanita itu menunggu taksi di pinggir jalan. Sendirian. Berpayung untuk melindungi diri agar bajunya tidak basah, meskipun ujung rok panjangnya pasti telah terseret-seret genangan air. 

Si wanita itu terus menunggu. Lima menit kemudian sebuah mobil berwarna hitam metalik menepi. Seorang laki-laki membuka pintu dan menawarkan bantuannya untuk mengantarkan sampai ke rumah. Lelaki itu sangat tampan. Wanita itu tersipu-sipu. Bodoh bila ia menolak tawaran laki-laki tersebut. Ia toh tidak buta, dan ia benar-benar sadar bahwa laki-laki itu menarik.

Ketika lelaki itu menawarkan bantuannya untuk kedua kalinya, wanita itu tidak menolak. Ia membuka pintu mobil, meninggalkan dinginnya malam dan juga dinginnya menjadi sendiri.

Kejadian selanjutnya akan mirip dengan adegan novel-novel romantis lainnya yang sering dibacanya. Gadis itu tersenyum kecut. Dilepaskan beban punggungnya pada sandaran sofa yang empuk. Tubuhnya seperti melesak di dalamnya.

Segera setelah sampai di depan apartementnya, wanita itu turun dari mobil.

"Terima kasih!" ucap wanita itu malu-malu sembari mencoba mencuri-curi pandang. Mukanya memerah ketika ia mengetahui lelaki itu juga sedang mempersiapkan.

Masih dengan perasaan berbunga-bunga, wanita itu menyusuri koridor bangunan apartemennya. Disapanya semua orang yang ditemuinya. Ia membuat orang-orang yang sedang hendak bersiap tidur menjadi bingung, lantaran wanita itu sendiri tampak seperti baru bangun tidur dengan keceriaan di pagi hari.

Ia menaiki tangga kayu dengan langkah ringan. Terdengar bunyi derak kayu tua yang berderak-derak ketika wanita itu menginjak anakan tangga. Namun ia merasakan derak kayu seperti alunan musik yang mengiringi jantungnya yang tengah menari-nari kegirangan. Beberapa saat kemudian, ia tiba di depan pintu apartemennya. Pintu dibuka, dan ia melongokkan kepalanya ke dalam.

"Aku pulang!"

Seorang tengah menunggunya di dalam. Menatapnya dengan tanpa berkedip. Cahaya lampu remang-remang tidak dapat menyembunyikan keganjilan pada wajah gadis tersebut. Separo wajah bagian kanannya cacat. Menghitam dan seperti ada cerukan-cerukan pada bagian pipinya. Ada bagian daging yang kelihatan terangkat, menghilang atau entah hangus terbakar.

Wanita ceria itu kemudian mengeluarkan barang-barang dari tas kertasnya. Ia membeli banyak sekali barang. Makanan kering, majalah Dolly, dan bunga Dandelion yang masih segar. Sembari melakukan itu, ia bercerita tentang hal-hal yang ditemuinya seharian ini. Dan ketika tiba di adegan pertemuannya dengan lelaki tampan itu, ia menceritakannya dengan begitu bersemangat.

Gadis buruk muka itu lebih banyak diam. Sesekali ia menganggukkan kepala bila lawan bicaranya menanyakan pendapatnya.

Wanita itu berkata bahwa ia akan berendam air panas sebentar. Ia berjalan melenggang menuju kamar tidurnya. Kamar tidurnya bersebelahan dengan kamar mandi. Hanya dipisahkan oleh guci keramik yang dipakai untuk menaruh payung-payung.

Sekonyong-konyong, gadis buruk muka itu memanggil namanya. Tanpa curiga si wanita itu menoleh ke belakang. Terkejut ia melihat gadis di buruk muka menggenggam pisau di tangannya. Pisau itu berkilat ditimpa cahaya lampu, menyapu bola matanya. Wanita itu sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

"A... apa yang kamu lakukan?" Ia mulai ketakutan.

Gadis buruk muka itu tidak menjawab. Tapi tangannya bergerak cepat ke arah wanita itu. Si wanita terpekik. Muka cantiknya tergores. Darah segar muncrat bersamaan dengan tubuhnya yang terhuyung ke belakang. Tangan kanannya memegangi bagian wajahnya yang terluka, sedangkan tangan satunya memegangi pintu kamar tidurnya. Wanita itu membelalak tidak percaya dengan apa mengalami serangan fantasi indah.

Wanita itu menjerit kesakitan. Serangan kedua telak mengenai wajah bagian kanannya. Si gadis menekan pisau. Dalam. Pisau itu seperti menyentuh tulang pipinya.

Wanita itu langsung tak sadarkan diri.

avataravatar
Next chapter