webnovel

Toy For You

Agatha Ivy. Gadis malang yang terus-terusan terbelit masalah bahkan ketika ia tidak memintanya. Apalagi ketika ia harus menandatangani kontrak yang membuatnya jadi milik Isaac. Pria asing kaya raya yang menjebak ayahnya dengan segunung hutang. Tapi setelah Agatha masuk ke kandang milik Isaac, gadis itu yakin pria itu membutuhkannya. Tapi gadis itu pun ingin tertawa pada dirinya sendiri. Bagaimana ia bisa menolong seorang Isaac kalau ia pun selalu jatuh ke dalam masalah?

yourpersephone · Teen
Not enough ratings
40 Chs

The Happiest

Setelah menitipkan Miracle kepada pihak rumah sakit dan memberikan nomor telepon ayahnya kepada resepsionis, Agatha diantarkan Kay menuju rumah pantai milik Isaac. Agatha turun dari mobil, berterima kasih kepada Kay, lalu melihat mobil pria itu berkendara menjauh.

Agatha membalik badannya lalu menengadah pada rumah pantai yang baru kali ini ia kunjungi. Isaac tidak pernah mengatakan keberadaan rumah ini, tapi kalau dipikir-pikir Isaac tidak sering mengajak Agatha berbicara tentang aset tanah yang ia miliki.

Gadis itu menyusuri lantai kayu dari teras luas sambil melihat sekelilingnya. Langkah kakinya terhenti beberapa langkah sebelum pintu depan ketika perhatiannya berpindah kepada langit sore di atas pantai tepat di sebelah rumah itu. Ia berjalan ke pinggir teras untuk melihat langit sore itu dengan jelas. Angin pantai yang kian mendingin membuatnya menggigil bersamaan dengan apa yang barusan ia lakukan.

Ia membela dirinya di depan Lucas.

Ya. Dan tentu antek-anteknya. Gadis itu baru saja melakukan itu. Tanpa rasa takut, atau menyesal. Seakan ia tidak lagi bisa dipengaruhi oleh wajah tampan Lucas yang memelas atau kata-kata manis yang keluar dari mulut pria itu.

Agatha menghela napasnya sambil memejamkan matanya dalam-dalam. Rasanya lega sekaligus menakutkan. Lepas dari hubungan seperti itu rasanya seperti lepas dari lantai tempat Agatha berpijak selama ini. Lepas dari pijakan yang sebenarnya duri dan bara api yang penuh dengan ketidakjelasan dan kata-kata buruk, lalu berpindah kepada pijakan yang putih kosong seperti kertas baru atau mungkin dinding isolasi dari rumah sakit jiwa. Agatha rasa perubahan yang terjadi itu menakutkan.

Tapi ia perlu melakukannya. Sejujurnya karena ia lelah dan bosan.

Lucas seenaknya pergi dan menghilang, tanpa kabar dan tanpa peringatan sebelumnya. Lalu muncul lagi dengan muka memelas dan permohonan maaf yang bertubi-tubi. Maaf karena perbuatannya dan caranya meninggalkan Agatha. Itu 'kan tidak adil.

Entah alasan apapun yang sebenarnya ia akan gunakan untuk membuat Agatha percaya, Agatha sudah sempat bersumpah kalau ia tidak akan mau lagi terpengaruh Lucas. Dan semua usaha pria itu untuk mendapat perhatian Agatha sekarang malah terlihat menyedihkan untuk Agatha.

Lucas : 15:35 Sayang, aku akan menemukan tempat yang kau mau. Kumohon tunggu ya. :)

Agatha : 16:03 Jangan panggil aku sayang.

Rasanya Agatha ingin sekali untuk melempar handphone-nya setelah melihat pesan dari Lucas itu. Sepertinya pria itu tidak akan berhenti untuk menghubunginya meski gadis itu memintanya untuk tidak mengiriminya pesan kalau bukan soal pencarian tempat yang diinginkan Agatha.

"Dari belakang pun kamu sangat cantik, Aggie," suara Isaac membuat pikiran Agatha terhenti. Gadis itu menoleh dengan senyuman kepada Isaac yang berjalan kepadanya.

Tangan Isaac menelusup masuk ke dalam jubah Agatha dan mendekap pinggang gadisnya erat. "Aku kangen," gumam Isaac ketika pria itu membenamkan wajahnya kepada pundak Agatha. "Kamu darimana saja?"

"Ketemu beberapa teman."

"Seberapa dekat kamu dengan mereka?"

"Lumayan dekat."

"Oh? Kenapa tidak pernah cerita?"

Agatha melayangkan senyum sebelum kembali menengadah pada langit sore itu, tidak punya maksud untuk menjawab pertanyaan Isaac. Pria itu mengernyitkan dahinya bingung, tapi kemudian menerima kenyataan kalau ia tidak perlu mengetahui segala hal tentang Agatha.

"Kamu tidak perlu cerita, kalau begitu." Kata Isaac yang lalu mengecup pipi dan kening Agatha.

"Isaac."

"Ya?"

"Bagaimana perasaanmu kalau peliharaanmu hilang?"

Isaac kembali mengernyitkan dahinya. Pertanyaan yang begitu acak. Tapi kemudia Isaac berpikir sejenak, "tergantung seberapa sayang aku kepadanya."

"Kamu memberi makan dia tiga kali sehari, tidur bersamanya setiap malam, dan memberikannya nama kesayangan."

"Hm.. Mungkin aku akan sedih? Aku tidak pernah punya peliharaan."

"Sayang sekali." Kata Agatha sambil tersenyum dan kembali mengalihkan pandangannya kepada pantai di sore itu.

"Ngomong-ngomong, apa kamu suka dengan rumah ini? Aku baru membelinya." Kata Isaac.

"Bagus, sangat tidak seleramu menurutku. Kamu beli dalam rangka apa?"

"Hadiah untukmu."

"Apa?"

Isaac melayangkan senyum dengan gigi, kelihatan bangga ketika melihat wajah bodoh Agatha. "Aku melihat rumah ini di listing, dan aku langsung terpikir kalau rumah ini sangat kamu."

Bagaimana sebuah rumah bisa sangat aku? Pikir Agatha heran. "Begitu?"

"Kamu suka pantai dan kamu suka tampil sederhana. Pertama kali aku melihar rumah ini aku langsung terpikir kalau rumah ini sederhana tapi menawan. Seperti kamu."

"Oh begitu maksudnya," kata Agatha sambil tertawa kecil. Semudah itu pria ini membeli rumah sebesar dan seluas ini. Belum lagi memberikannya kepada Agatha. Dengan alasan kalau rumah ini sangat... seperti Agatha...

"Sepertinya aku harus berterima kasih sekarang, tapi aku bingung."

"Oh tidak perlu berterima kasih! Ini cuma rumah." Kata Isaac sambil mengibaskan tangannya.

Kadang-kadang Agatha lupa seberapa kaya pria ini. Membeli rumah sepertinya terasa seperti membeli kerupuk di warung untuk Isaac.

"Lalu, lalu!" Kata Isaac dengan semangat penuh dan menggenggam tangan Agatha, menarik gadis itu untuk berjalan mendekat ke garasi di samping lain rumah. Pria itu mengeluarkan sebuah remote dari saku celananya dan menekan sebuah tombol. Pintu garasi yang ada di hadapan mereka terbuka otomatis, memperlihatkan sebuah mobil muscle terparkir di dalamnya. "Aku juga membelikanmu Challenger, karena kamu sangat menantang (challenge : tantangan; challenging : menantang)"

"Apa kamu membelikan mobil ini untuk mengatakan lelucon permainan kata itu?"

"Hahaha! Iya, benar! Bagaimana kamu bisa tahu?"

Mulut Agatha menganga melihat mobil yang selama ini hanya bisa ia lihat di majalah kini terparkir di hadapannya. Hanya karena pria ini ingin melucu, ia benar-benar mempraktikan leluconnya dengan membelikan Agatha rumah dan mobil! Ia membeli rumah dan mobil itu hanya lelucon!

"Tidak lucu ya...?"

Agatha tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan Isaac itu. "Lebih ke pembodohan!" Kata Agatha sambil menahan perutnya. "Ini lelucon untukmu?"

"Memangnya tidak ya..."

"Tidak! Ini pemborosan Isaac!"

"Pemborosan adalah nama tengahku." Kata Isaac sambil menunjuk dadanya dengan ibu jari tangannya bersama senyuman yang jelek itu. Tapi Agatha semakin tertawa mendengar itu. Pasti Kay yang memberikan Isaac sebutan itu. "Kay yang memberikanku julukan itu." Lihat 'kan, benar.

"Aduh perutku rasanya runtuh." Kata Agatha di sela-sela tawanya yang tidak ada hentinya.

"Hehe aku berhasil hehe," Isaac tersenyum lebar, merasa puas karena bisa membuat Agatha tertawa terpingkal-pingkal.

Kedua tangan pria itu menelusup kepada pinggang Agatha lalu melihat gadis itu dengan senyum setengah lingkaran dan matanya yang menyipit. "Kalau membelikanmu barang-barang mahal bisa membuatmu tertawa dan senang, aku akan membelikanmu seribu barang-barang mahal itu, Aggie. Aku mau kamu bahagia kalau itu bersamaku."

Agatha menarik napas panjang ketika tawanya selesai. Ia menatap kepada Isaac dengan senyuman lalu mencium bibir pria itu singkat. "Terima kasih, Isaac."

"Kamu pantas bahagia. Selalu. Selamanya." Kata Isaac sambil menyisir rambut yang menutup sedikit pipi Agatha dan menyisipkannya pada belakang telinga Agatha.

"Apa kamu mabuk?" Pertanyaan Agatha memecah suasana intim yang Isaac bangun tadi.

"Ipi kimi mibik," Isaac mencibir, "kamu ini mengganggu saja!" Agatha kembali tertawa. "Mm.. Sedikit mabuk," lanjut Isaac. Agatha kembali terbahak-bahak. "Aaa Agatha! Aku sedang serius!" Isaac mendesah kesal.

"Maaf, aku hanya melanjutkan leluconmu tadi."

"Intinya, aku mau kamu bahagia kalau bersamaku, mengerti tidak?"

"Mengerti," Agatha mengangguk-angguk masih dengan tawa dan senyuman lebarnya.

"Baiklah kalau begitu," Isaac melepas dekapannya lalu berjalan mundur beberapa langkah. Satu tangannya merogoh sesuatu dari saku belakang celananya.

Sebelum Agatha bisa bereaksi, Isaac berlutut pada satu kakinya, menengadah kepada Agatha, dengan sebuah kotak beludru merah di tangannya. Tangan pria itu membuka kotak itu, memperlihatkan cincin berlian paling cemerlang yang pernah Agatha lihat.

"Agatha Ivy. Maukah kamu menikah denganku?"