webnovel

Tower of Survivor

Aku adalah preman yang biasa menampung anak buahku. Menggaji mereka sesuai apa yang mereka usahakan, kalau dapat banyak ya dapat banyak upahnya. Begitu pula sebaliknya. Begitulah keseharianku, sampai aku dikunjungi oleh seseorang yang ingin kuinjak wajahnya dan menyatu dengan ubin. Orang itu membawa kabar kepadaku, adik beda ayah pertama ku hilang setahun yang lalu. Setelahnya adik keduaku mendapatkan sebuah surat aneh yang memiliki lokasi tidak masuk akal. Orang itu menawarkan sejumlah uang yang bukan main banyaknya. Akan tetapi dengan syarat, aku harus menerima undangan itu atas nama adik kedua beda darah ini. Menyusup sebagai penggantinya, dan menyelamatkan adik beda ayah pertama ku. Tidak bermodalkan uang, makanan, atau apapun itu. Hanya sebuah Katana milik keluarga ayah tiriku, satu-satunya tiang untukku hidup.

Sunnava · Fantasy
Not enough ratings
22 Chs

Bab 20: lantai 5-9 (1) a Quest from egg

Kami akhirnya berdiri di lantai lima, lantai yang cukup beragam dari pada lantai satu sampai empat. Yah, setidaknya itulah yang bisa kukatakan walau untuk matahari tenggelam tidaknya, tidak berbeda. Semilir angin berhembus mengibarkan rambutku, membawa serta beberapa lembar daun kecil ke atas, walaupun aku tidak begitu mengerti ujung dari perjalanan daun itu di dalam menara ini. Saat aku sedang menikmati pemandangan ini, setelah penat menyelesaikan tantangan di setiap lantai. Seseorang muncul di hadapanku, orang yang sama saat menyambutku di lantai tiga dan empat. Hanya saja orang ini berpakaian seperti pelayan kelas atas dan memiliki kepala kelinci bermata merah.

"Selamat datang di lantai lima, wahai para pemain yang akan menakjubkan di waktu mendatang," dia membungkuk hormat dengan tangan kanan memberikan penghormatan di dada, dan tangan kiri yang dilipatnya di belakang punggung. Dari nadanya, dia tipikal seperti orang yang jauh lebih sopan ketimbang mahluk hijau bersetelan jas hitam.

"Jadi, apa yang harus kami lakukan untuk bisa ke lantai selanjutnya?" tanya Hak yang sudah bosan dengan basa-basi.

Mahluk berkepala kelinci itu menatap hak, dan berkata. "Sebenarnya kalian bisa langsung melompat ke lantai berikutnya sampai lantai sembilan, namun sebelum itu, aku harus memberikan sesuatu yang akan sangat berguna di masa mendatang."

Aku melipat kedua tanganku di bawah dada, "Huh? Apa itu?"

Tiba-tiba sebuah telur ada di hadapan kami, cukup besar bahkan melebihi ukuran bola basket. Cangkangnya cukup keras saat aku menyentuhnya, kurasa tidak masalah kalau aku memainkannya sebentar, menendangnya pun tampak tidak akan menjadi sesuatu yang mengesalkan. Gin mengetuk cangkang telur itu, sementara Hak dan Xixie saling berbisik, tampaknya mereka juga kebingungan.

"Syarat untuk naik ke lantai sepuluh adalah menetaskan telur itu dan menjadi Familiar kalian. Kalian bisa menggunakan seluruh materi dari lantai ini bahkan sampai di lantai sembilan, gunakanlah dengan bijak. Karena Familiar kalian mempresentasikan kepribadian pemiliknya secara utuh." Setelah menjelaskan hal itu, dia menghilang seolah termakan oleh bayangannya sendiri. Atau memang itulah yang kulihat saat ini, meninggalkan kami dengan telur masing-masing.

"Jadi, apa langkah pertama, ketua?" tanya Hak yang akhir-akhir ini tidak semenyebalkan sebelumnya.

"Ketua?" tanyaku sembari menggaruk pipiku salah tingkah.

Hak mendengus, "Kau yang paling kuat di antara kita, juga. Walau aku benci mengakui ini. Kau sangat tangkas, apakah kau tidak sadar? Kalau bukan karenamu, Gin mungkin sudah tewas di tempat oleh psikopat sialan itu."

"Astaga, tumben sekali kau memujiku seperti itu," godaku. Aku terdiam sejenak, memperhatikan sekitar tempatku berdiri.

Di hadapanku terdapat hutan yang rasanya nyaris sama dengan lantai pertama, begitu pula dengan di belakangku tidak begitu jauh berbeda dengan lift yang berdiri kokoh. Akan sangat berbahaya bagi kami kalau mendirikan tempat peristirahatan di sekitar lift. Kita tidak akan tahu siapa yang akan muncul dari dalamnya, beruntung kalau pemain ramah yang muncul, kalau pemain sebelas dua belas dengan pria bertopeng putih. Tamatlah riwayat kami. Namun beristirahat di dekatnya juga tidak terlalu buruk, kami bisa langsung berlari menyelamatkan diri. Persis saat pria bertopeng itu menyerang Gin, jauh sedikit saja kami mungkin bisa membeku begitu saja. Uh, mengingat topengnya saja sedikit membuatku muak.

Aku berjalan membimbing kelompokku yang terdiri dari Hak, Gin, dan Xixie. Memasuki hutan yang cukup lebat rasanya, namun tidak seganas hutan tropis yang aku temui di ruangan sang Raja Monyet berada. Sesampainya di tanah yang cukup lapang, aku memutuskan untuk menjadikannya tempat peristirahatan kami. Xixie dan Hal menghela napas bersamaan sembari duduk di dekat batang kayu yang terbengkalai, sementara Gin yang kesulitan memeluk telur familiar segera meletakkannya di atas tanah dan duduk. Aku duduk di sebelah Gin, menepuk kepala bocah itu pelan.

"Ini melelahkan," ucap Hak yang akhirnya membuka mulut setelah diam selama berjalan. "Bolehkah aku jujur satu hal? Aku ingin pulang ke rumah."

"Tidak hanya kamu, aku juga ingin segera pulang untuk bisa beristirahat tanpa perlu khawatir apakah aku masih hidup atau tidak," ujarku menatap telur di hadapanku.

"Aku-aku ... rindu ibuku," Gin terisak, membuatku menepuk kepalanya lagi perlahan.

Xixie tersenyum, "Entahlah, aku tidak tahu apakah harus pulang atau berada di menara ini. Aku rasa tidak ada bedanya."

"Apa maksudmu?" tanyaku.

"Tidak ada, aku hanya mengoceh saja," Xixie berdalih mengangkat kedua tangannya, seolah mengatakan bahwa tidak ada apapun yang perlu dirisaukan dari perkataannya barusan. Aku memutar kedua mataku, tidak terlalu peduli padanya karena aku terlalu lelah untuk mengetahuinya. Namun saat aku melirik kedua mata Hak, pemuda itu tampak menganggap serius apa yang dikatakan Xixie. Ah, sungguh pasangan yang romantis, entah kenapa aku malah jadi iri dibuatnya. Maksudku, ayolah ... siapa yang tidak mau diberi perhatian seperti itu? Selama aku hidup, tidak pernah kuingat sedikitpun aku pernah diberi perhatian selembut itu.

Aku berdiri, "Sekarang kita beristirahat dulu sebentar, aku yakin pria itu masih jauh di belakang walaupun isi kepalanya penuh dengan pengetahuan perihal menara ini."

"Kakak mau ke mana?" tanya Gin.

"Aku ingin mencari kayu bakar untuk menghangatkan badan, kalau-kalau cuaca di lantai ini berubah drastis," ujarku.

"Aku ikut," sahut Xixie yang berdiri, mengikuti ku berjalan. "Sekalian aku juga ingin mencari beberapa tanaman herbal."

Begitulah, kami berdua berjalan bersama mencari-cari hal yang ingin kami dapatkan di hutan ini. Aku agak sungkan karena baru pertama kali berjalan bersama dengan Xixie seorang diri tanpa ada Hak yang biasanya mengekori kemanapun wanita ini berada. Yah, walaupun aku bersyukur tidak diikuti oleh Hak kali ini. Si budak cinta itu kadang suka mencari masalah denganku. Meskipun sekarang dia sudah menjadi sedikit lebih baik kepadaku ketimbang saat kami bertemu. Aku masih mengingat bagaimana dia memanggilku 'Coklat,' menyebalkan sekali.

"Nanti kau ingin makan apa?" tanya Xixie memecah keheningan di antara kami.

Aku berpikir sejenak, "Aku akan memakan roti yang kusimpan saja. Atau bubur gandum," jawabku sekenanya.

"Tidak bosan?" dia mengangkat sebuah kentang yang tampak segar berlumuran tanah. Terkekeh kecil, "beruntung aku menemukan ini, menu kita bertambah," dia melemparkannya beberapa buah kepadaku.

Aku sedikit terkejut, menjatuhkan beberapa ranting kayu bakar yang aku bawa. Menangkap beberapa kentang yang sebelumnya melayang di udara, menghela napas lega. Berdecih kesal, "Hampir saja."

Xixie justru terkekeh kecil, "Sudah kuduga, kecepatanmu sungguh luar biasa." Wanita itu bertepuk tangan kecil, membuatku memasang wajah tidak mengerti. Dia duduk menyandarkan punggung dengan pohon rimbun di belakangnya, wajahnya yang ceria mendadak murung dengan beban yang terlihat jelas di matanya. "Akhirnya, aku bisa berhenti berpura-pura. Oh, kamu juga lepaslah topeng yang biasanya kamu kenakan itu. Aku tahu, kamu bukanlah orang Jepang."

Aku yang baru saja menaruh semua kentang ke dalam jendela penyimpanan, terperanjat kaku. "Ba-bagaimana, maksudku kenapa kamu bisa sesantai itu?"

"Kenapa? Kamu khawatir akan ditangkap di menara ini? Jangan khawatir, tampaknya selama kamu memalsukan datamu. Orang-orang yang bertanggung jawab di menara ini sengaja, membiarkanmu menganggap kalau kamu berhasil menyusup," ujarnya lugas. "Yah ... walau itu cuma dugaanku, tapi kurasa itu memang benar, bukan?"

"Itu masuk akal," jawabku yang duduk menyilangkan kaki di hadapannya, melepaskan topeng yang selama ini kukenakan di wajahku. "Jadi, menurutmu aku berasal dari mana?"

~***~