webnovel

Tower of Survivor

Aku adalah preman yang biasa menampung anak buahku. Menggaji mereka sesuai apa yang mereka usahakan, kalau dapat banyak ya dapat banyak upahnya. Begitu pula sebaliknya. Begitulah keseharianku, sampai aku dikunjungi oleh seseorang yang ingin kuinjak wajahnya dan menyatu dengan ubin. Orang itu membawa kabar kepadaku, adik beda ayah pertama ku hilang setahun yang lalu. Setelahnya adik keduaku mendapatkan sebuah surat aneh yang memiliki lokasi tidak masuk akal. Orang itu menawarkan sejumlah uang yang bukan main banyaknya. Akan tetapi dengan syarat, aku harus menerima undangan itu atas nama adik kedua beda darah ini. Menyusup sebagai penggantinya, dan menyelamatkan adik beda ayah pertama ku. Tidak bermodalkan uang, makanan, atau apapun itu. Hanya sebuah Katana milik keluarga ayah tiriku, satu-satunya tiang untukku hidup.

Sunnava · Fantasy
Not enough ratings
22 Chs

Bab 17: lantai 1 (9) Forbidden forest

Perasaan apa ini? Kenapa aku jadi merasa setakut ini? Tubuhku gemetar tidak karuan tiap kakiku melangkah agak cepat, membuat Hak dan lainnya protes akan hal itu. Percakapan saat itu terus terngiang di kepalaku, seolah menjadi alat perekam yang tidak ada tombol jeda maupun berhenti. Aku takut, tidak, ini lebih dari rasa takut bertemu dengan ular raksasa maupun memasuki gua penuh api. Seolah kematian berjalan mendekatiku tanpa ragu, siap menghabisi nyawaku seolah aku tidak pernah ada di sana lagi. Di dalam menara, antara menjadi santapan atau hancur menyatu dengan tanah. Apapun itu, tidak ada yang terdengar baik, seperti neraka malah. Pria itu, pria bertopeng itu memiliki nada yang sangat tidak biasa ketimbang orang yang pernah kutemui meskipun tersamarkan oleh topeng.

Dia memiliki bocoran informasi perihal menara, apa gunanya pula dia harus mengenakan topeng sepanjang hari? Sekilas film horor yang pernah kutonton dulu, berputar kembali. Menampilkan sesosok pembunuh berdarah dingin, mengenakan topeng, tak lupa menggenggam pisaunya di manapun dia berada. Iya, pria bertopeng itu mirip dengan tokoh di film. Walau firasatku mengatakan, kalau pria itu akan jauh lebih mengerikan dengan informasi bocorannya perihal menara.

Sesampainya di bagian hutan tergelap, di mana semua pepohonan maupun rumput, semak belukarnya, berwarna hitam abu. Aku terengah-engah, tersenyum. "Terimakasih arahannya Hak," ujarku.

"Kau gila!" seru Hak. "Apa maksudmu membawa kita semua ke hutan Terlarang ini tengah malam?"

"Apa kau tidak merasa janggal, Hak? Dari tadi kita tidak menemukan monster apapun," aku menjelaskan sembari memetik salah satu ranting pohon berwarna hitam abu itu. Teksturnya sama dengan pohon biasa, tidak ada bedanya.

"K-kau benar," Hak tampak enggan mengakui. "Tapi, bagaimana jika kita diserang oleh sekumpulan monster?"

"Monster yang kalian lihat tempo hari itu hanya ilusi," ujarku sembari membuang ranting itu di atas tanah. "Hutan ini juga tidak ada bedanya dengan hutan lainnya, hanya warnanya saja yang berbeda."

"Tapi ... dari mana kamu tahu? Maksudku, kamu tidak pernah mendatangi hutan ini, Shima." Xixie tampak khawatir, wanita itu menggenggam erat Gin. Tampaknya takut jika dirinya terpisah dari anak itu.

Aku berdecih, "Pria bertopeng putih itu memiliki informasi perihal menara ini. Tadi aku tidak sengaja mendengarnya berbicara tentang hutan Terlarang, dan kau memang benar Hak. Penduduk di lantai ini terlalu takut untuk memasuki hutan Terlarang."

"Bagaimana kamu bisa yakin, maksudku ... ayolah, mungkin dia tidak sengaja menguping?" tanya Hak tidak percaya.

"Dia membunuh semua peserta di lantai labirin, artinya dia tidak memiliki seorangpun untuk dijadikannya pemandu. Pria itu juga berusaha merebut harta Karunku pasti karena sesuatu. Entah kekuatannya, atau apalah ... aku malas membaca keterangannya, terlalu beresiko membaca terlalu lama dengan benda berharga yang telanjang bulat," jelasku.

"Bahkan di depan kami?" tanya Hak yang tampak jengkel.

"Bukan, yah ... karena pria bertopeng itu ada," jawabku singkat. Memang seperti itulah yang terjadi, rasanya mengeluarkan benda itu terlalu lama seperti mengundang lebih banyak mara bahaya. "Ayo kita berjalan lurus, jangan panik dan jangan menyerang. Simpan Qi kalian baik-baik."

Kami berjalan memasuki hutan Terlarang, berjalan lurus dengan kesunyian yang sangat. Hawa panas dan dingin menyapaku secara bergantian, sedikit membuatku pusing, tapi aku harus tetap berjalan memimpin yang lain. Begitu melangkahkan kaki kesekian, jantungku nyaris berhenti berdetak kala sesosok monster menyergapku, namun tubuhku masih berdiri dengan tubuh mahluk itu yang menembus pesat. Kutengok Xixie, Hak, dan Gin yang tampak sama terkejutnya denganku. Mereka mengangguk, Hak mengangkat tangannya membuat simbol 'Ok.' Padahal pemuda itu jelas sedang bertumpu dengan lutut sembari memegang dadanya dengan tangan kiri. Setelah itu banyak monster atau mungkin lebih tepatnya, ilusi monster yang menghampiri kami. Entah itu berusaha menyakar, menerkam, maupun mengaum.

Setelah melewati hutan gelap tanpa ujung, kami menemukan sebuah ruangan terbengkalai beserta sebuah lift terbuka yang berbanding terbalik dengan kondisi di sekitarnya. Aku melihat kanan-kiri, menemukan betapa banyaknya semak belukar yang keluar dari celah-celah balok batu alam. Beberapa pilar yang tampak kokoh pada masanya, berdiri tegak bersanding dengan pilar lain yang telah hancur. Sejujurnya tempat ini cukup indah ketimbang hutan hitam tadi. Tapi, rasa penasaranku seolah tergoda untuk memeriksa semuanya.

"Kalian naiklah duluan," ujarku.

"Kenapa kak?" tanya Gin dengan wajah polosnya.

Sementara Hak berdecih kesal, "Kau mau apa di tempat ini?"

Xixie memperhatikanku sejenak, lantas mengangguk. Tampaknya dia paham apa yang aku lakukan nanti, "Nah, serahkan Hak dan Gin kepadaku. Tapi, kamu jangan lama-lama di sini. Siapa tahu ternyata ada jebakan yang menunggumu," ucapnya sembari memaksa masuk Hak dan Gin ke dalam lift.

Begitu mereka pergi, aku lantas memeriksa setiap jengkal tempat ini. Menginjak kasar seluruh lantai, memukul dinding secara acak, sampai aku menemukan kejanggalan dari sebuah pillar yang terbengkalai di atas lantai. Tidak seperti pillar lain yang padat, pillar ini tampak memiliki ruang kosong di dalamnya. Aku menggunakan pedangku, memukulnya dengan bagian tumpul beberapa kali, tidak berhasil. Menggunakan pedang yang kudapatkan dari beberapa monster, juga tidak tampak ada perubahan sama sekali, juga berlaku untuk tongkat kayu. Menghela napas aku membuka jendela penyimpanan, mencari beberapa barang yang bisa kugunakan.

Jariku berhenti pada permata kecil, cukup tidak berguna karena hanya mengisi sebutir Qi, walau harus aku akui ... permata ini cukup indah dan memiliki nilai tinggi kalau di jual di dunia luar. Aku menghela napas berat, tidak ada salahnya untuk mencoba dari pada tidak sama sekali. Kuambil permata itu dari jendela penyimpanan, menaruhnya di atas pillar yang tidak bisa kuhancurkan ini. Beberapa saat tidak ada yang terjadi, namun setelahnya keluar secercah sinar biru senada dengan permata itu. Kemudian, sinar itu hilang diikuti dengan permata yang menjadi debu juga pillar yang akhirnya rata dengan tanah. Aku menyingkirkan beberapa puing, menemukan sebuah topeng yang tampak indah meskipun sebelumnya terkubur oleh puing.

Topeng ini tampak seperti topeng dansa di film-film, dengan warna putih di sisi kanan dan hitam di sisi kiri, berpadu kontras. Lengkap dengan beberapa taburan manik menghiasnya. Entah kenapa ini mengingatkanku pada hutan hitam, juga ruangan ini yang berbeda jauh rupanya. Aku mengenakannya, topeng yang sangat pas dengan wajahku. Tiba-tiba setelah itu muncul sebuah jendela pemberitahuan di hadapanku.

'Anda telah mengenakan topeng The Phantom, kecepatan anda meningkat dua kali lipat dan mendapatkan sebuah skill 'Phantom.''

"Search skill Phantom," ucapku.

'Skill ini dapat membuat penggunanya tidak terlihat sepuluh detik. Semakin tinggi level skill ini, semakin lama pula penggunanya tidak terlihat dari pemain lain. Skill Phantom membutuhkan biaya berupa 2 Qi untuk digunakan.'

Aku berdecih kesal, dengan kasar menutup jendela pemberitahuan itu. Terkekeh kasar, "Benar-benar rasis sekali, ya?"

Lift yang semula tertutup rapat, tiba-tiba terbuka, terdengar suara percakapan dari orang yang tidak kukenal saat lift itu baru beberapa senti terbuka. Aku bergegas bersembunyi di balik pohon hitam yang menyatu dengan sekitarnya, bersebelahan dengan ruangan kokoh berpondasi batu alam itu. Mendengarkan percakapan mereka.

"Sial!" maki salah satu dari mereka diikuti dengan suara sebuah batu yang hancur.

~***~