1 Prolog

Angin menderu keras, membawa berita datangnya badai. Jalan yang dilaluinya licin dan penuh lumpur, tapi tidak seberapa dibanding rasa takutnya pada malam yang menjelang di tengah hutan. Tidak ada pencahayaan yang dapat membantunya menembus hutan ini, hanya ponsel dan instingnya saja yang mampu membuatnya bertahan. Tak lama, rintik-rintik hujan dengan cepat menyapunya; suaranya terdengar seperti derap langkah prajurit yang mengejarnya dari belakang, lalu mengepungnya dengan hawa dingin dan membuatnya basah kuyup. "Aku tahu. Aku tahu," sergah seorang pemuda di awal umur dua puluh tahun, menanggapi suara-suara mendesak di kepalanya untuk mempercepat langkah.

Lintang merasakan napasnya sudah sampai di tenggorokan dan rasa putus asa mulai melandanya saat, tiba-tiba, ia bisa melihat titik cahaya muncul dari sela-sela pepohonan rapat. Ia tak menunggu lagi, dan mulai berlari. Begitu sampai di tanah datar, ada celah yang membawanya keluar menuju ke sebuah pondok. Pondok itu besar, seolah bangunannya merupakan gabungan beberapa pondok. Kayu-kayunya ditumbuhi tanaman rambat dan lumut. Hanya lampu gantung dan sinar yang keluar dari jendela-jendelanya yang menandakan ada kehidupan disana.

Pintu depan tidak terkunci dan seolah sudah diundang, ia masuk. Suara jerit kesakitan terdengar semakin keras, saat ia menyusuri koridor suram yang hanya diterangi lampu minyak yang digantungkan di tembok. Lukisan-lukisan indah terlihat kelam dalam permainan cahaya dan bayangan. Di ujung koridor, cahaya keemasan keluar dari satu-satunya kamar dengan pintu terbuka. Ia masuk dan diam menyesuaikan matanya. Ia memperhatikan dalam ruangan bercahaya temaram itu, hanya ada tiga orang dewasa disana bersama dirinya. Mereka tidak menyadari kedatangannya atau mungkin tak punya kesempatan untuk menunjukkan bahwa mereka tahu. Maka, ia memilih menunggu dalam bayangan, dan memperhatikan.

Wanita bernama Ajeng itu menjerit lagi dalam perjuangannya melahirkan dan akhirnya tangisan seorang bayi pecah. Perempuan yang membantu persalinan adalah tetua dalam keluarga Jayantri. Wanita tua itu tidak menunjukkan raut apapun saat memberikan buntalan berisi bayi yang masih basah pada Akarsana, ayah si bayi—sebelum kembali mengurusi Ajeng. Mantan musuhnya itu berseru senang, "Laki-laki!" lalu segera meneliti setiap jengkal tubuh bayinya seolah sedang mencari sesuatu. "Kupikir aku tidak menemukan tandanya..." suaranya gemetar oleh rasa lega.

Lintang menelan ludah, dan kakinya hampir menyerah oleh kelegaan yang tak terduga melandanya.

"Kembar!" seru bidannya. Membuat keheningan mencekam menyelimuti ruangan. Degup jantung Lintang kembali berpacu. Ini belum berakhir. Tanpa sadar ia mengeratkan genggamannya seolah sedang berdoa, memohon pada tuhan atau apapun diluar sana, supaya ramalan itu tidak terwujud.

Hanya ada bisikan-bisikan menenangkan dari bidan dan tangisan penuh putus asa Ajeng selama ia berjuang. Tangisan itu tidak hanya karena rasa sakit, tapi juga karena ketakutan akan takdir yang bergulir tak terkendali seandainya ketakutan mereka menjadi kenyataan.

Tak lama, tangisan bayi sekali lagi terdengar. Sang adik terlahir dengan selamat. Laki-laki dan sehat. Namun seruan putus asa dan ketakutan mengiringi suara tangis bayi yang melengking.

Tubuh Lintang gemetar mengetahui hal yang ditakutkannya ada di depan mata.

Ajeng menutup mulut sambil berbisik, "Tanda lahirnya..."

"Bulan sabit hitam..." bisik Akarsana.

Lintang tidak bisa melihat ekspresi mereka dalam keremangan, tapi ia bisa membayangkan kengerian itu sama seperti yang terpampang pada wajahnya.

Bulan sabit hitam, tanda lahir bagi keturunan Cantrik.

Jemari Lintang tanpa sadar menyentuh tanda lahir sama yang ada di lengannya.

Sang adik yang sudah terpilih, batinnya. Terpilih untuk dikutuk.

"Oh! Anakku yang malang," raung Ajeng, "Maafkan aku! Maafkan aku!"

"Jangan menyalahkan diri, Ajeng. Kau tidak terlahir sebagai iblis dan tidak pula anak kita." kata-kata Akarsana berusaha membesarkan hati istinya, tapi tak mampu menyembunyikan rasa takut dalam suaranya. Namun, bagi Ajeng, tak kan ada kata-kata macam apapun mampu mengatasi kengerian seorang ibu yang melahirkan bayi dengan takdir yang mengerikan. Takdir dari anak yang terlahir dengan simbol klan yang salah.

Takdir terlalu kejam pada wanita itu. Siapa yang tahu istri dari seorang ketua klan memiliki darah dan mewariskan simbol dari musuh klan mereka. Membuat anak yang terlahir dari rahimnya dianggap sebagai anak terkutuk. Walau bukannya tidak bisa diperbaiki seandainya Akarsana, sebagai ketua klan Jayantri mau bersikap seperti anggota klan Cantrik saat menemukan ada anak-anak bersimbol salah dalam klan-nya; menganggap mereka sebagai sebuah kesalahan, pembengkokan alam, sesuatu yang tak patut lahir ke dunia atau sebutan apapun yang biasa mereka pakai untuk menghujat dan akhirnya melenyapkan anak-anak itu dari dunia.

Tapi tidak untuk para Jayantri. Jadi Lintang tidak kaget bila ia pada akhirnya mengambil pilihan paling manusiawi, dibandingkan pilihan yang paling bijak. Bisa saja dia membunuh bayinya, menghentikan permasalahan yang mereka hadapi sampai disini. Tapi tipikal Jayantri untuk mengambil pilihan paling sulit, tapi juga paling bermoral; mereka akan lebih memilih membesarkannya dengan baik, mengarahkannya dengan bijak dan baru membunuhnya setelah bayi itu memang melakukan hal-hal yang kejam. Sesuatu yang menurut Lintang lebih kejam, karena seperti memelihara domba untuk disembelih. Jika pada akhirnya para bayi itu akan mati, apa yang dilakukan klan Cantrik dengan membunuh para bayi percampuran itu tampak dua kali lebih manusiawi; paling tidak, menghindarkan mereka dari kehidupan penuh diskriminasi, pengucilan dan kesakitan bila mereka hidup lebih lama di dunia.

"Sembunyikan dia!" suara Ajeng penuh tekad. Tangannya yang merah mencengkeram lengan suaminya dengan keras. Tak ada air mata yang menetes, hanya keyakinan keras seorang ibu untuk melindungi anaknya. "Kau harus menyembunyikan dia!"

Akarsana tampak gamang pada permintaan itu. Merasa tak mampu melakukan, pun tak mampu menolaknya permintaan itu.

Dan apa diriku? aku bahkan tak bisa menyebut diriku Cantrik dengan memilih membantu mereka, batinnya sebelum keluar dari bayangan.

Semua mata tertuju padanya. Ia tidak menepis ada ketakutan dimata mereka dan ia tidak menyalahkan keraguan mereka padanya. Tapi, berbeda dengan yang lain, Arkasana malah memandangnya dengan mata penuh harap, kelegaan, mungkin? Ia sudah terbiasa ditatap dengan rasa takut, dan itu tidak lebih mengganggunya dari pada ditatap dengan ramah oleh seorang Jayantri.

"Arkasana Daniswara," sapanya menyebut nama gelar sebagai simbol penghormatan. Perlu menunjukkan bahwa ia bukan musuh, paling tidak sampai ia menemukan alasan untuk melanggar perjanjian mereka.

"Lintang," sapanya akrab, meruntuhkan dinding formalitas. "Kau tidak lupa janjimu."

Lintang berjalan mendekat menuju cahaya remang-remang. Matanya melayang pada bayi dalam gendongan. Bayi yang tampan dan sempurna. Hanya sebuah tanda kecil, tanda bulan sabit hitam yang tertoreh di telapak tangan kirinya yang sedang melambai-lambai, seakan sedang mengejek mereka bahwa anak manusia yang tidak berdosa ini bisa membawa kehancuran. Sungguh menyedihkan. Ia mengira sudah terbiasa melihat kelahiran semacam ini, tapi rupanya tidak. Ada kesedihan yang mengejutkan mengetahui hanya ada kesengsaraan, kekejaman dan pengucilan menunggu dalam kehidupnya kelak.

"Kau bilang akan melindunginya," pria itu mengulang janjinya.

"Dengan hidupku," yakinnya.

Pria melemparkan senyum tulus dengan tatapannya yang sedih saat menyerahkan si bayi dalam gendongannya. Lintang tidak merubah ekspresinya atau bersikap lebih ramah, tapi ia berkata, "Mungkin tangan kasarku tak pantas dengan pekerjaan semacam ini, tapi aku akan menjaganya," tidak perlu kata-kata yang berlebihan untuk menyampaikan niatnya. Mereka semua tahu, tindakannya menerima atau tindakan mereka untuk menyerahkan bayi ini padanya bukan keputusan yang mudah.

Ajeng berkata, "Rawatlah dia, Pejuang," Sebutan itu tidak cocok untuknya. Ia bukan pejuang dan tidak akan pernah. Tapi tekad dimata wanita itu, seperti tekad yang dilihatnya pada para wanita bangsawan di klan Cantrik, membuat Lintang menaruh hormat. Ajeng mungkin memang tidak berdarah murni, namun tak dipungkiri darah raja-raja mengalir di pembuluh darahnya, dan begitu juga dengan bayi dalam gendongannya. "Berilah dia nama, ibu dari para raja," bisiknya.

Wanita itu tampak terkejut karena sikap hormatnya. Tapi ekspresinya melembut, dan ia berkata, "Aku memberinya nama Guntur. Agar ia sekuat guntur malam ini dan agar musuh-musuhnya gentar saat mendengar namanya. Semoga namanya tidak membawa kehancuran, tapi kekuatan untuk melindungi."

Lintang sadar sedang menggendong anak hasil dari percampuran dua klan yang sedang berperang, dan terlebih seorang anak yang memiliki dua garis darah raja; dari Cantrik dan Jayantri. Takdir yang akan ditempuhnya tentu tidak biasa.

"Nama yang kuat," kata Akarsana sambil mengangguk, "Aku menyerahkannya padamu. Rawatlah dia dan jauhkanlah dia dari rasa haus darah." Itu tidak mudah. Haus darah adalah sifat alami klan Cantrik, bahkan sampai sekarang, ia sendiri masih berjuang mengendalikannya. Tapi ia hanya mengangguk mendengar permintaan itu. "Pastikan ia diberi nama keluargaku, agar ia tahu aku tak membuangnya." Permintaan itu membuatnya mengerjapkan mata. Tidak akan mudah, walau dalam bayangan, mengetahui akan hidup bersama anak yang menyandang nama Jayantri. Akarsara mencengkeram bahunya seakan meyakinkan, saat ia berkata dengan suara pelan, "Aku percaya padamu. Apapun rencanamu."

Lintang mengakui, Akarsana memang punya mata yang jeli. "Tidak ada rencana," katanya dengan nada serius.

"Benar," pria itu tersenyum, "Tidak ada rencana," seolah ia bisa melihat langsung kebalik tabir Lintang.

"Kau akan pergi sekarang? Di tengah badai ini?"

"Ya. Aku punya cara untuk membawanya tanpa harus basah." Mendengar itu sementara melihat Lintang basah kuyup, Akarsana mengangkat kedua alisnya. Lintang menangkap tatapan itu dan menambahkan, "Aku tidak sekuat itu sehingga bisa berkali-kali berteleportasi, Daniswara. Aku perlu menyimpan tenagaku." Jelasnya dengan cepat.

Tanpa berkata apapun, ia berbalik dan meninggalkan ruangan. Sewaktu ia hendak melakukan teleportasi, samar-samar ia mendengar kata-kata mengejutkan dari raja klan Jayantri, "Selamat tinggal saudaraku." Lintang berharap itu hanya imajinasinya. Jika tidak, pria itu sudah membuatnya merasa sangat terbebani pada kesalahan yang mungkin bisa dilakukannya di masa depan.

***

Hujan sekali lagi mengguyur seperti tirai transparan yang menghalangi pandangan, membuat jalanan menjadi semakin sulit terlihat. Walau tidak sederas hujan malam itu, tapi ini cukup merepotkan karena mereka harus melawan jalanan licin. Lintang melirik lagi ke arah bungkusan di kursi sebelah kemudi; Guntur masih tertidur lelap, tidak terpengaruh guncangan mobil. Sejauh mata memandang, di kanan dan kiri mereka pepohonan semakin rapat. Tempat ini masih sama, seperti tak tersentuh waktu. Ia masih bisa memastikan bahwa tak lama lagi ia bisa melihat tempat tujuan mereka, seperti apa yang ada dalam ingatannya, puncak rumah itu masih sama besarnya dan terlihat sampai ke kejauhan.

Banu orang penyendiri, rumahnya yang terpencil akan menjadi tempat persembunyian paling sempurna dari semua tempat dan tak kan ada orang yang mempertanyakan hubungan mereka. Tentu pria itu akan bertanya-tanya alasannya melanggar sumpah untuk tidak kembali ke tempat ini, setelah bertahun-tahun, terlebih bersama Guntur. Menebak bahwa mungkin pria itu mencurigainya melakukan hal-hal tidak benar membuatnya tersenyum sendiri. Ia harus segera mencari alasan. Banu tidak tahu apa-apa soal klan dan tidak ada penjelasan yang masuk akal hinggap di kepalanya, sungguh membuat frustasi.

Tujuan mereka semakin dekat saat gerbang bercat hitam yang tinggi besar berdiri menghalangi mereka. Ia mengeluh sambil bersusah payah membuka jendela mobil (tidak mudah membuka mata di antara deru hujan) dan memencet intercom. Hanya ada desis statis dan gemerisik suara yang tidak jelas, tapi kamera pengawas di atasnya bergerak; ia melambai ke arah kamera itu. Tak lama, gerbang di depannya mengayun terbuka dengan sendirinya. Ia bersiul. Tak ada yang berubah dari tempat ini dan pemiliknya. Ia harus bersyukur bahwa pria itu penikmat teknologi walau hidup di antah-berantah.

Kali ini jalanan landai berubah menjadi jalan berkelok-kelok. Ia menahan Guntur dengan lembut saat jalanan berubah dari aspal menjadi tanah tak rata. Suara derak mengganggu tidurnya dan ia mulai merengek. "Shuu.... shuuuu...." bisik Lintang sambil menepuk-nepuknya. Mereka menembus hutan pribadi. Pada masa kanak-kanaknya, ia suka menjelajahinya, walau menanggung resiko pukulan di pantat, tapi darah petualangnya tak pernah bisa dibendung, dan ia masih bisa merasakan desir itu sampai sekarang. Ia tahu dari kenangan-kenangannya bahwa jika berjalan terus ke selatan, akan ada desa padat penduduk tempat sekolahnya dulu dan teman-temannya tinggal. Ironis, padahal dulu ia bersumpah tak kan pernah kembali ke tempat ini, tapi ia kembali. Tempat yang pernah membuatnya merasa seperti di penjara, tapi sekarang bagaikan suaka baginya.

Sebuah tembok bata melengkung yang sudah aus menyambut mereka dan begitu melewatinya, pemandangan cantik dari bangunan tua menghibur hatinya. Bangunan itu lebih kecil dari kastil, tapi punya kesan suram dan kemegahan yang sama. Tembok-tembok batunya sudah banyak yang retak, dan di beberapa bagian, tanaman rambat menjalar nyaris memenuhinya dan menghiasi sekeliling jendela seperti pigora alami. Jalanan berubah dari tanah menjadi bataco. Ia menghentikan mobil tepat di pintu depan, mematikan mesin, mencangklong tas peralatan bayi, meraih payung dan berlari menembus hujan dengan bayi dalam gendongan. Ia berhenti sejenak di depan pintu untuk mengatur napas. Tapi, sebelum sempat mengetuk, tiba-tiba pintunya terayun terbuka. Pria tua keriput dengan uban lebih banyak dari yang diingatnya berdiri dengan ekspresi kesal yang selalu menjadi ciri khasnya.

Lintang melirik ke atas dan menemukan kamera pengawas. Pantas saja. "Banu," sapanya. Guntur mulai menangis dalam gendongan, membuat mata Banu melayang pada bungkusan di lengannya. Ekspresi terkejut lolos dari raut kesalnya, lalu secara mengejutkan, ekspresi itu melembut. Lintang merasa hanya ia yang mampu memilah ekspresi di wajah Banu. Orang lain tentu tidak akan menangkap kelembutan hati di muka batunya.

"Jangan membuat anak itu semakin kedinginan dengan berdiri seperti orang bodoh di depan pintu. Masuk!" katanya ketus.

Tanpa berkata-kata, pria itu memimpin jalan melewati lorong-lorong yang dikenal Lintang dengan baik. Pria itu tidak menunjukkan rasa penasaran atau memberondongnya dengan pertanyaan, atau berteriak kesal karena bertahun-tahun tak menghubunginya. Lintang mengira tidak akan lupa pada setiap tingkah orang tua asuhnya ini, tapi rupanya masih saja ia dikagetkan pada begitu diam dan dinginnya pria itu. Apakah dia masih sama seperti dulu, atau dia berubah jadi lebih pendiam karena kesepiannya setelah aku pergi? Batin Lintang.

Lintang menaruh tas berisi popok, susu dan sebagainya di meja dan berusaha dengan nyaman duduk dengan bayi dalam gendongan. Guntur menarik-narik kerah kemejanya, membuatnya semakin sesak oleh penantian panjang menunggu Banu bicara. Ia tidak pernah mengira akan segugup ini menghadapi pria tua itu. Ia mengira tidak akan pernah lagi merasa gugup, setelah kematian-kematian panjang dan menyakitkan yang sudah sering dilihatnya. Tapi, bersama Banu telah membangkitkan kembali sisi anak laki-laki dalam dirinya.

Pria itu memunggunginya, sedang membuat teh untuk mereka saat ia akhirnya memberanikan diri untuk memulai. Setelah berdehem beberapa saat, akhirnya ia memutuskan menjadi yang mengawali, "Jadi bagaimana kabarmu?"

"Baik." Tidak ada emosi dalam suaranya yang mampu membuatnya menilai.

"Maaf tiba-tiba aku datang. Tidak ada cukup waktu untuk menjelaskan lewat telepon. Kau pasti kaget."

"Tidak terlalu kaget dari pada melihatmu bersama seorang bayi. Tidak cocok untukmu."

Lintang terkekeh pelan, lebih gugup dari yang dikiranya, "Kau benar."

Pria itu membalikkan badan dan memandangnya sambil bersandar di tepi meja, "Itu bayimu? Kau sudah menikah?"

"Ya dan tidak." pria tua itu mengerut tidak senang dan cepat-cepat Lintang menjelaskan, "Ini bukan anakku, tapi kau bisa menganggap aku walinya. Jadi anggap saja dia seperti anakku, dan tidak, aku tidak menikah."

"Tidak? bukan belum?,"

Lintang membuka mulut untuk menjelaskan, tapi segera mengurungkan niat. Memberi tahu alasannya sama dengan membeberkan semua rahasianya. Ia hanya tersenyum dan mencoba mengalah dengan mengoreksi ucapannya, "maksudku belum." Bagi masyarakat tradisional kata tidak menikah dianggap tabu.

"Tidak," pria itu menunjuknya, "Kau memang bermaksud mengatakan tidak punya niat menikah, aku tahu. Kau sudah banyak berubah, nak. Sekalipun bagian-bagian buruk dari sifatmu masih ada. Terutama ekspresi saat kau berbohong, masih tetap sama."

"Hanya bagian buruk?"

"Jangan tersenyum. Aku tidak bercanda. Jadi, apa yang membuatmu kembali ke tempat ini?" tak ada penghakiman dalam suaranya, walau begitu tetap membuat Lintang merasa tak mudah.

Lintang tersenyum sedih. "Kurasa kau akan marah jika aku bilang mencari tempat yang tepat untuk membesarkan Guntur. Tidak ada tempat yang lebih baik dari pada di tempat ini." Terpencil, bersistem keamanan tinggi dan dengan orang berdompet tebal yang tinggal di dalamnya. Apakah Banu akan menolak karena merasa seperti kumanfaatkan? Dan masih adakah dendam dihatinya padaku? Batinnya resah.

"Kenapa di sini? Dari semua tempat, mengapa kau tidak memilih rumah keluargamu? Mereka adalah saudara-saudara yang berusaha kau cari dan kau temukan."

Mengapa? Seandainya saja ia bisa. Tempat keluarga Cantrik, tempat yang dulunya terasa tepat baginya; dirinya dulu yang ambisius dan ingin diakui. Lintang tersenyum sedih dan Banu menyadari perubahan ekspresinya. Tentu ada yang berubah dalam diri Lintang setelah bertahun-tahun, banyak yang berubah, banyak yang rusak dan harus diperbaiki. Mungkin tanpa disadarinya, ia sedang mencari obat dan ia menggap merawat Guntur adalah semacam penawar, kesempatan untuk menebus dosa; merawat dan memberi kehidupan untuk menebus kematian yang dibawanya. Setelah termenung, ia menjawab, "Ada banyak alasan yang tak bisa kukatakan, tapi bisa dibilang tidak aman bagi Guntur untuk hidup bersama saudara-saudaraku."

"Tidak aman?"

"Ada banyak pertentangan dalam keluarga. Aku—aku tidak bisa menjelaskannya."

"Oh, baiklah," ia mengibaskan tangan, "Simpan semua masalah pribadimu. Sekarang sebaiknya kau beri makan anak itu sebelum ia menangis lagi."

"Terima kasih, untuk mau menerima kami dan untuk tidak membenciku."

Ada kesedihan di mata Banu. "Aku tidak tahu apa yang membuatmu begitu berubah. Tentu aku tidak pernah membencimu, anakku. Kau tidak akan dijamu oleh kebencian di tempat ini, tidak dariku."

Kata-kata itu, membuatnya tersenyum sedih. Ia merasa lebih pantas mendapatkan caci maki dibandingkan penerimaan. Ia dan darah terkutuknya seharusnya tak berhak memperoleh kebaikan pria itu. Sikap menerima penuh lapang dada itu membuatnya memiliki tuntutan untuk melindungi satu-satunya orang yang bisa dianggapnya ayah.

avataravatar
Next chapter