webnovel

To Be Young and Broke

Teresa seorang gadis berusia 18 tahun berusaha membalaskan dendamnya pada seseorang yang amat menyayangi dirinya, ayahnya. Tetapi jalannya tidak mulus, diantara dendam dan ayahnya, Teresa dihadapi oleh seorang teman, sahabat dan mungkin cinta pertamanya, di sisi lain kehidupan bersama Bintang seorang duda berusia 17 tahun lebih tua dari dirinya dengan kondisi sekarat menjanjikan pembalasan dendam yang lebih mudah dan cepat untuk dipilihnya. Apa yang akan terjadi diantara mereka? Pertarungan antara cinta dan dendam, masa muda dan kematangan, kemapanan dan kehancuran.

StrawMarsm · Teen
Not enough ratings
26 Chs

7| To Be Young and Broke

Roy menghembuskan asap rokok kuat-kuat ke udara, fikirannya melalang buana memikirkan Teresa, gadis kecil yang belagak nakal itu dengan begitu saja dapat membuat pening kepala Roy memikirkan tentang pernikahan dan dengan sekejap meluluh lantahkannya dengan mengatakan bahwa gadis itu telah dijodohkan dengan seorang pria keparat yang tidak diketahui Roy

Roy menenggak begitu saja alkohol yang ada di hadapannya hingar bingar di sekelilingnya mendadak menjadi agak redup seiring pahitnya air yang ia tenggak itu. Roy menghisap rokok dan menenggak alkoholnya bergantian, benar-benar mengabaikan keramaian di sekelilingnya, tidak perduli dengan gadis-gadis yang berusaha mendapatkan perhatiannya, Roy tenggelam dalam kepulan asap dan pahit yang menyenangkan dari minumannya, Roy sedikit gusar dengan ponselnya yang terus menerus berdering menampilkan nomer yang tidak dikenal

Dengan gusar dan sangat terpaksa, akhirnya Roy mengangkatnya

"Halo" Tukasnya menghentak

"Roy" Tukas suara di seberang sambungan sana

Teresa, wanita itu yang menelefon Roy

"Lu dimana?" Tukas wanita itu

Suara hentakan musik dan pengaruh dua botol alkohol mulai mempengaruhi kepala Roy, begitu saja pria itu memutuskan sambungan telfone-nya dan kembali menenggak botol ke-3nya hingga setengah tandas

Ponsel Roy kembali berdering, nama Job berkedap kedip di layar ponsel Roy

"Ya" Tukas Roy setengah mabuk

"Ambil kiriman sekarang, shipping besok sore" Ujar suara di seberang sana

Roy memutuskan sambungan telfone itu sambil mengelurkan beberapa lembar uang dan meninggalkannya asal di meja bar itu, kemudian dengan langkah yang sedikit mabuk ia menuju ke motornya untuk selanjutnya mengedarai motor itu dengan gila-gilaan, Roy dapat merasakan ponselnya terus bergetar, tapi ia memilih untuk mengabaikannya

Di kepala Roy sekarang terbayang wajah Teresa, Roy mempertanyakan pada dirinya sendiri bagaimana bisa seorang gadis berwajah dan kelakuan polos yang belagak nakal dengan figure mungil yang seakan kapan saja bisa Roy remukan malah balik meremukan dirinya? Roy membayangkan gadisnya itu tersenyum jenaka memakai gaun pernikahan putih dan berdiri di samping pria asing dan bukan Roy, Roy mempercepat laju motornya seraya mengerang tidak terima. Pandangan mata Roy buram dan berair serta efek dari alkohol yang ia tenggak sebelumnya memperburuk keadaannya saat itu,dengan seketika sebuah cahaya lampu yang amat terang menyilaukan matanya, tubuh Roy terhempas, ada sebuah dentuman di kepalanya dan semuanya menjadi gelap.

Teresa melempar pandangannya sembarang keluar jendela yang ia biarkan terbuka di kamarnya, angin malam menerpa wajah dan tubuhnya, fikiran gadis itu melayang pada orang yang sebelumnya ia tidak sadari telah menguasai alam bawah sadarnya. Teresa terus terbayang dengan perlakuan Roy di tempat parkir, ia tidak pernah melihat lelaki itu begitu marah dan seakan lepas kendali. Roy memang terkenal sebagai biang onar di sekolah, tetapi lelaki itu tidak pernah sekalipun berbuat kasar pada Teresa, bahkan lelaki itu tidak pernah menunjukan keonarannya di depan Teresa. Entah mengapa melihat Roy sangat marah membuat Teresa terus memikirkan lelaki itu, memikirkan keberadaannya dan memikirkan cara yang dapat digunakan untuk membuat segalanya kembali seperti sebelumnya.

Hari ini Teresa kembali pulang ke rumah ayahnya, semua berlaku biasa saja padanya, berlaku seakan-akan tidak ada yang terjadi. Teresa menatap langit hitam yang seolah menaungi dirinya, ada beberapa bintang di sana, berkelap-kelip dan kemudian satu kelipan itu pudar dan lenyap ditelan kegelapan malam. Mungkin itu juga yang akan terjadi pada Bintang, orang yang telah bersedia menikahinya pada ulang tahunnya yang ke-19, tiga bulan lagi dari sekarang. Teresa sudah mendapat akses tercepat untuk balas dendamnya, Teresa mendapatkan apa yang dia mau, harusnya gadis itu senang, bahagia untuk perlahan tenggelam dalam ego dan dendamnya pada pesakitan pernikahan dengan orang yang sekarat dan membuat ayahnya menderita melihat putri sulungnya sengsara, itu rencana yang sempurna dan hampir terlaksana. Tetapi, mengapa sekarang Teresa bertanya-tanya, mengapa seakan-akan hatinya berkata keras menolak semua gagasan gila yang telah dari lama ia rencanakan? Kenapa hatinya dan kepalanya saling menentang?

Teresa memandangi telfone rumah yang ia bawa ke kamarnya untuk menghubungi Roy, Roy benar-benar marah kali ini, pria itu bahkan tidak menggubris Teresa. Teresa mendesah sambil pandangannya tetap mengarah pada telfone itu yang tiba-tiba berdering membuat Teresa tersentak

"Halo" Tukas Teresa

"Malam mba, apakah mba merupakan kerabat dari Roy Fahry Ariaksa?" Tanya suara perempuan di seberang sana membuat Teresa bertanya-tanya sejenak

"Iya" Tukas Teresa singkat "Kenapa mba bisa ngehubungin saya ya?" Teresa balik bertanya

"Mba, kerabat mba dengan nama Roy Fahry Ariaksa mengalami kecelakaan tunggal dan sekrang sedang ditangani di Rumah Sakit Harapan, saya menghubungi mba karena nomor kontak mba adalah nomer yang terakhir kali mengontak ponsel pasien mba" Tukas wanita disebrang sana yang sama sekali tidak dihiraukan oleh Teresa, gadis itu begitu saja meninggalkan sambungan telfonenya tanpa mematikannya terlebih dahulu dan berlari secepat kilat berusaha menuju rumah sakit tempat Roy berada

Teresa sama sekali tidak menghiraukan kebingungan pada wajah setengah baya yang sedang duduk di pos satpam saat ia dengan begitu saja mengambil kunci mobil dari kotak kayu yang menggantung di pos satpam itu

"Neng mau kemana?" Tukas Pak Ujo satpam setengah baya yang sudah lama bekerja untuk keluarga Teresa

"Bukan kabur pokoknya" Tukasnya begitu saja sembari berusaha membuka pagar besar yang berat itu "Di mobil juga ada GPSnya tinggal lacak"

Kemudian gadis itu berlari menuju mobil ayahnya yang terparkir tidak jauh dari gerbang keluar. Teresa telah beberapa kali secara diam-diam mengendarai mobil ayahnya, tertangkap tertangkap basah karena mobil itu ternyata dipasang GPS yang selalu terhubung pada ponsel ayahnya, pria itu memang selalu mebayang-bayangi Teresa.

Teresa mengendari mobil itu dengan kecepatan tinggi dan ugal-ugalan, Teresa bahkan menyerempet beberapa tiang portal dan pembatas jalan, gadis itu sama sekali tidak perduli, yang ada di kepalanya adalah Roy.

Teresa memarkir asal mobil itu di parkiran terdekat dengan pintu masuk rumah sakit, dengan langkah terburu ia menuju meja informasi dan menodong pegawai-pegawai yang ada di sana "Kecelakaan, Roy Fahry" Tukas Teresa dengan nafas tersengal

"Mba kerabat dari pasien Roy?" Tanya salah satu pegawai memastikan

"Iya, banyak tanya lu" Seloroh Teresa gusar

"Maaf mba, mba harus terlebih dahulu mengurus administrasinya mba" Tukas pegawai itu lagi

Dengan amat kesal Teresa meraba saku celana jeansnya, dan beruntung kali ini ia membawa dompetnya, hal yang terlintas di kepalanya kemudian selain Roy adalah, ini saat yang tepat untuk memakai kartu kredit yang diberikan oleh ayahnya

Teresa mengeluarkan kartu kreditnya dan melemparkannya begitu saja pada pegawai itu "Tuh, urus sendiri, dimana Roy?"

Beberapa pegawai saling tatap

Teresa mendenguskan nafas jengah "Lu butuh jaminan apa lagi? Dimana Roy?" Tukas Teresa hampir berteriak

Seorang pegawai lainnya dengan cepat mengetik beberapa kata pada komputer di meja administrasi "Di IGD mba, ke kiri ikutin lorong ini mba" Tukasnya sambil menunjukan arah pada Teresa

Teresa begitu saja meninggalkan meja administasi itu dan dengan langkah terburu menyusuri lorong itu, di ujung lorong terdapat plat menyala di atas pintu yang bertuliskan IGD. Begitu saja Teresa masuk tanpa ragu, pemandangan yang ada di sana sangat tidak enak untuk dijelaskan, Teresa menghampiri beberapa bangkar yang ada di sana memastikan bahwa yang terbaring di sana memang Roy atau bukan

Semua perawat dan dokter di sana terlihat sibuk menangani beberapa pasien dengan luka-luka dan beberapa bangkar pasien yang berkala memasuki IGD dengan luka dan darah yang juga menganga, jadi tidak satupun diantara pegawai rumah sakit itu yang menghiraukan Teresa ditambah piama sutra putih lengan pendek dan celana panjang membuatnya tersamarkan diantara sebagian besar seragam suster di sana

Aroma amis dan pemandangan mengilukan yang hampir di setiap sudut ruangan besar den keriuhan antara tangis, rintihan dan perintah dokter dan suster yang saling bersautan membuat pandangan mata Teresa agak kabur dan kakinya lemas, merasakan kakinya hampir tidak dapat menopang tubuhnya, Teresa menyandarkan tubuhnya pada tembok dengan posisi miring ke kanan sembari memegangi kepalanya yang terasa pening, seiring dengan denyutan di kepalanya, suara keramaian di sekelilingnya memudar, Teresa memejamkan matanya sembari menarik nafas dalam

"Te..resa" Tukas sebuah suara samar-samar

Sejenak Teresa merasa bahwa alam bawah sadarnya yang sedang tidak karuan yang membuatnya mendengar seperti suara Roy memanggilnya

"Ter..resa"

"Ga, ini nyata!" Tukas Teresa pada dirinya sendiri "Itu Roy" Sambungnya sembari menggelengkan kepala berusaha mengusir rasa pening di kepalanya, dengan langkah gemetar karena kakinya lemas Teresa mulai berjalan kembali menyusuri ruang IGD

"Roy" Tukas Teresa pelan seraya melawan pusing, mual dan kakinya yang lemas yang ia paksa berjalan "Roy, lu dimana" Tukas Teresa lagi berusaha lebih kencang namun tidak bisa

Teresa berjalan beberapa langkah lagi sebelum kakinya benar-benar tidak dapat menopang tubuhnya dan ia jatuh tersungkur dengan tidak sengaja memasuki sebuah ruangan petak yang dibatasi tirai gorden hijau tempat sebuah bangkar pasien yang telah selesai di tangani untuk sementara berada

Teresa berpegangan pada sisi bangkar dan dengan segala daya ia berusaha mempertahankan kesadarannya dan melihat orang yang terbaring di ranjang itu

"Roy" Tukas Teresa pelan

Lelaki yang terbaring di atas bangkar itu benar-benar babak belur, perban dengan rembesan darah membebat keningnya, satu lengannya di gips dan perban lainnya membebat kaki kirinya, luka-luka yang masih mengeluarkan darah terpampang pada pipi, tengkuk, dagu dan kedua lengannya

"Tere..sa" Tukas lelaki itu setengah tersadar

Tanpa sadar bulir air mata mengalir dari pelupuk mata Teresa, gadis itu masih berlutut di pinggir bangkar Roy dengan tubuh bergetar "Gue di sini Roy" Saut gadis itu dengan suara isakan

Roy melirik ke samping di mana Teresa berada dan meraih lengan kiri lelaki itu yang tidak terbalut gips, lelaki itu tersenyum lalu matanya terpejam sempurna

Jam masih menunjukan pukul 3.30 pagi, suara ketukan pada pintu kamar Evan bertambah keras membangunkan pria itu dari tidurnya yang untuk pertama kalinya bisa lelap dan tanpa alkohol ataupun pill tidurnya. Dengan kesal dan sangat terpaksa Evan bangun dari posisi tidurnya yang sangat nyaman, Talita masih terlelap di sampingnya dan Evan tidak ingin mengganggu tidur istrinya. Pria itu melangkah menuju pintu kamarnya dan membukanya dengan wajah kesal yang tidak dapat dan tidak ingin ia sembunyikan

"Kenapa" Tukas Evan pada Ujo dan Yun yang ada di balik pintu itu

Bi Yun menyikut lengan Ujo "Udah bilang buruan" Bisiknya pada Ujo yang masih dapat terdengar oleh Evan

"Ada apa" Tukas Evan menurunkan tone suaranya

Ujo melirik ke arah Bi Yun sejenak sebelum memberanikan diri dan dengan terbata membuka suaranya "Beg...ini p..ak" "Non Teresa pake mobil bapak" Tukas lelaki paruh baya yang berkumis itu akhirnya

Sejenak rasa kantuk yang ada pada Evan lenyap begitu saja, matanya dan fikirannya dalam kesadaran penuh diiringi dengan raut wajahnya yang mengerah

"Gimana bisa" Tukasnya hampir membentak

Ujo dan Bi Yun menunduk "Sekitar jam 2an tadi, Neng Teresa dengan terburu-buru langsung ambil kunci mobil pak" "Saya tidak sempat melarangnya" Tukas Ujo seraya menunduk semakin dalam

Tangan Evan mengepal "Kenapa baru bilang sekarang" Desisnya

"Kata Neng Teresa, dia gak akan kabur, bapak bisa tau posisi mobilnya lewat GPS" Tukas Ujo yang bahkan tidak berani menatap wajah Evan

Seakan baru teringat dengan hal penting, Evan begitu saja menutup pintu kamarnya setengah membanting, membuat Talita terbangun dari tidurnya

"Ada apa mas" Tukas Talita agak terkejut dan segera terbangun dari tidurnya

Evan tidak menjawab dan meneruskan langkahnya menuju nakas dimana ponselnya berada, Rumah Sakit Harapan lokasi terakhir yang muncul di layar ponselnya mengenai keberadaan mobilnya

Dengan segera Evan mendial sebuah nomer pada ponselnya

"Ada apa mas?" Tukas suara di seberang sana

"Bintang kamu baik-baik aja kan? Teresa ada sama kamu ga?" Tanya Evan langsung pada pointnya "Kamu di rumah sakit atau di kantor?" Tanya Evan lagi

Ada nada terkejut di sebrang sambungan "Teresa gak sama saya mas, saya di rumah sakit. Teresa kabur lagi mas?"

Evan menghembuskan nafas berat "Dia pake mobil mas ke Rumah Sakit Harapan sekitar jam 2 pagi tanpa bilang apapun ke mas"

"Saya bantu cari mas" Tukas Bintang sambil memutuskan sambungan telfonenya

Talita menghampiri Evan "Teresa pergi mas dari rumah?"

Evan mengalihkan pandangannya pada wajah istrinya yang terlihat khawatir "Resa bilang ke Ujo kalau dia gak akan kabur" Evan memalingkan tatapannya sambil menghembuskan nafas jengah

Talita memeluk lengan suaminya "Semua akan baik-baik aja mas, Resa bilang kalau dia gak akan kaburkan? Yasudah kita percaya saja sama dia. Lagi pula di Rumah Sakit Harapan juga ada Bintang di sana, aku yakin Bintang akan temukan dan jaga Resa"

Wajah khawatir Evan tidak dapat disembunyikan "Sayang, apa sebaiknya kita susul Resa saja ya?" Tukas Evan dengan nada suara yang juga tidak kalah khawatir

Teresa mengusap lembut wajah suaminya dan menangkupkan kedua pipi suaminya dengan tangannya "Mas, sebaiknya kita percaya pada Resa, dia sebenarnya adalah gadis yang baik, kita mungkin selama ini terlalu keras dan banyak melarangnya sehingga Resa terus berontak. Mas sudah saatnya sekarang kita beri Resa kepercayaan, kita harus percaya dengan anak kita. Resa akan pulang mas" Tukas Talita lembut

Entah untuk berapa lama Roy kehilangan kesadarannya. Roy terbangun dengan denyutan luar biasa di kepalanya dan seluruh tubuhnya yang terasa remuk redam. Dalam mimpinya, Teresa datang menemuinya, gadis itu bahkan menagisinya. Roy tersenyum meringis itu hanya mimpi, Teresa tidak ada di sampingnya sekarang. Roy memaksakan tubuhnya untuk bangun dengan seluruh usahanya, lelaki itu berhasil duduk di ranjang tempatnya terbaring, dentuman rasa sakit di kepalanya dan seluruh tubuhnya berusaha ia lawan, dan sekilas bayang-bayang tentang kecelakaan tunggal terlintas di kepalanya

Roy bersusah payah mendapatkan fokus penglihatannya, pria itu mengeram dan menggeleng berusaha mengusir rasa sakit di kepalanya, pandangannya tertuju tanpa arah, Roy mengeram berpegangan pada sisi kiri bangkarnya berusaha mengendalikan dirinya, Roy menapakan kakinya pada lantai dan pandangannya tanpa sengaja terbuang pada salah satu sudut di samping kepala bangkar tempat tidurnya, Teresa tertidur di sana, gadis itu duduk sambil memeluk kedua lututnya seraya membenamkan wajahnya diatas kedua lututnya

Dengan susah payah Roy mencoba berdiri dan gagal, lelaki itu berlutut di hadapan gadisnya yang sedang tertidur. Roy memandangi gadisnya seolah hanya ada gadis itu seorang di dunia yang sangat ramai ini, gadis itu masih memakai piyamanya, rambutnya terikat tidak beraturan dengan beberapa helai yang menutupi wajah cantiknya, Roy menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Teresa, Roy bahkan mengabaikan kepalanya yang terus berdenyut, seluruh perhatiannya tertuju untuk gadis yang terlelap di hadapannya. Roy memandangi wajah Teresa, mata gadis itu sembab dan agak bengkak, pelupuk mata gadis itu merah dan berair. Jadi semua itu bukan mimpi, Teresa memang benar-benar datang menemuinya, gadis itu juga bahkan menangisinya

Roy mengusap pelipis gadis itu, lelaki itu mengikis jarak antara dirinya dengan gadisnya, Roy mengecup kening Teresa sembari memejamkan matanya "Gue sayang banget sama lu, gue mohon jangan pergi dari gue" Roy menggenggam kedua telapak tangan Teresa dengan tangannya yang terbebas dari gips, pria itu mengecupnya, pria itu bahkan membiarkan sebutir air mata menetes dari pelupuk matanya dan mengalir jatuh ke tangan Teresa

Gadis itu terbangun dengan sebuah sentuhan pada tangannya, gadis itu mendapati seseorang yang amat sangat ia rindukan keberadaannya sedang menunduk dan mencium kedua tangannya, lelaki itu kemudian menatap Teresa, tatapan yang begitu hangat, Teresa begitu saja memeluk tubuh pria itu dan tangisannya pecah di dada lelaki itu "Lu boleh tinggalin gue, lu boleh marah sama gue, tapi jangan babak belur kayak gini!" "Gue sakit kalo liat lu sakit Roy!" Tukas Teresa diantara isak tangisnya,

Roy membelai pipi gadis itu seraya menghapus air mata yang terus mengalir dari mata gadis yang amat ia sayangi itu dan mencium puncak kepala gadisnya, mengabaikan semua rasa sakit yang menghujam dirinya "Maafin gue udah marah sama lu dan berusaha gak peduliin lu, maafin gue udah babak belur lagi dan buat lu sedih lagi" "Gue janji sama lu, gue gak akan buat lu sedih lagi" Tukas Roy kemudian memeluk gadis itu seraya tidak ingin kehilangan

Bintang sedari tadi sudah menelfone seseorang yang bisa membantunya mencari data di rumah sakit, ia terus memaksa orang itu untuk menemukan seseorang yang mungkin terdaftar sebagai pasien atas nama Teresa Adiwijaya dan orang di seberang sambungan telfone itu terus mengatakan bahwa ia telah mengecek berulang kali dan tidak ditemukan pasien yang bernama Teresa Adiwijaya. Jengah dengan pencarian buntu itu, Bintang dengan begitu saja memutus sambungan telfonenya dan dengan langkah terburu ia berjalan cepat meninggalkan kamarnya dengan begitu saja melepaskan infusnya

Bintang agak tidak habis fikir dengan gadis kecil satu ini, apa yang sedang gadis itu lakukan di rumah sakit nyaris jam 4 pagi? Jika tidak menemui Bintang.

Bintang menghembuskan nafas beratnya sambil menuju ke meja administrasi, mungkin saja orang suruhannya dalam telfone mengalami kesalahan dalam mencari gadis yang akan menjadi calon istrinya? Bintang bergedik saat 'calon istri' dan wajah Teresa terlintas di benaknya

Bintang sudah berada dua langkah dari depan meja administrasi, belum sempat lelaki itu bertanya, salah seorang diantara pegawai itu membuka sebuah percakapan dengan rekan kerjanya

"Pasien kecelakaan Roy Fahry sudah ada penjaminnya belum?" Tukas seorang wanita paruh baya pada lelaki muda di sampingnya

Roy, entah mengapa nama itu selalu membuat Bintang waspada

Lelaki itu terlihat mengamati layar komputer di hadapannya sambil mengetikan beberapa kata "Sudah" Tukasnya "Dengan kartu kredit"

Bintang kembali melangkah selangkah lebih dekat menuju meja administrasi itu, 'mungkin saja itu Roy yang lain, ada banyak orang dengan nama Roy di dunia ini' batinnya

Wanita paruh baya itu terlihat mencari-cari sesuatu diantara setumpuk kertas yang ada di hadapannya "Siapa nama penjaminnya?" Tanya wanita itu lagi

"Teresa Adiwijaya" Jawab si pegawai lelaki itu dengan cepat

Bintang menghembuskan nafasnya dengan jengah, jadi pasien kecelakaan yang bernama Roy Fahry adalah Roy bocah tengil yang amat tidak disukai oleh Bintang dan Teresa datang ke rumah sakit ini menjelang pagi untuk pria itu

"Nanti mintakan tanda tangannya ya di kertas pembayaran ini" Tukas pegawai paruh baya itu kepada rekan kerja di sampingnya tanpa menghiraukan Bintang yang memaku selangkah di depan meja administrasi mengendalikan reaksi di otaknya mengetahui bahwa gadis yang mati-matian minta ia nikahi, rela membawa kabur mobil ayahnya saat belum genap sehari gadis itu pulang ke rumahnya.

"Dimana kamar rawat Roy?" Tukasnya kepada pegawai rumah sakit yang tadi bercakap itu

"Bapak anggota keluarga pasien Roy Fahry?' Tanya pegawai laki-laki itu sambil memindai Bintang dari ujung rambut hingga ujung kakinya lengkap dengan pakaian rawat inap yang sedang ia kenakan "Bapak ayahnya Roy?" Tanya pegawai itu lagi dengan raut wajah ragu

Bintang menghembuskan nafas jengahnya tidak menghiraukan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh pegawai itu "Di mana kamar rawatnya?!" Tanya Bintang dengna penekanan di setiap katanya

Kedua pegawai itu saling tatap dan dengan terpaksa langsung si pegawai pria yang bertanya-tanya padanya langsung mengetikan beberapa kata pada layar komputernya "Orchid 303 lantai 3 pak" Tukasnya dan Bintang begitu saja melangkah pergi dengan langkah tersentak meuju ruangan tempat dimana gadis yang dicarinya kemungkinan berada dengan bocah tengik yang sangat selalu membuat emosinya naik

Bintang berjalan cepat menyusuri lorong ruang rawat lantai 3, ia menyapukan pandangannya pada setiap nomer yang tertera di pintu-pintu yang ada di kanan dan kirinya, fikirannya melayang pada kisah-kisah suram yang menyiksa hatinya, Bintang teringat dengan ayah ibunya dan mantan istrinya yang berhianat dan membuat pernikahan sama sekali tidak bermakna di mata Bintang, haruskah ia mengalaminya lagi? Bintang merasakan gejolak emosi yang semakin membara pada dadanya, ia menyapukan pandangannya dengan tidak sabar ke seluruh lorong, Bintang mendapati Teresa sedang berdiri dengan gelisah dan menggigiting ujung jarinya seraya pandangan dan fokus gadis itu antara sembentar berbalik mengecek berulangkali pada celah kaca yang ada pada pintu bernomer 303

Dengan langkah terburu Bintang melangkah mendekati gadis itu, gadis itu menyadari kedatangannya, wajahnya sudah basah dengan air mata, Bintang sudah mulai melontarkan berbagai macam pertanyaan pada gadis itu yang tidak dihiraukan olehnya, di luar dugaan, gadis itu berlari memeluk Bintang dan tangisannya kembali pecah

"Om, gue takut om" Tukas gadis itu memeluk Bintang dengan erat

Untuk sesaat Bintang membeku, tidak tau harus merespon apa, semua kalimat pertanyaan bernada kesal meluap dari kepalanya, dengan ragu sebelah tangan Bintang melingkar pada bahu Teresa, Bintang menuntun gadis itu untuk duduk di kursi tunggu yang ada di sisi-sisi koridor itu

"Kamu kenapa?" Tukas Bintang dengan nada menenangkan, entah kemana emosi dan amarahnya pergi

Teresa mengurai pelukannya dan mata sembabnya yang besar dan berairkarena air mata membuat siapapun akan bersimpati padanya

"Gue gak apa-apa om, Roy yang sakit" Tukas Teresa

Walaupun hati Bintang tergugah melihat Teresa, namun ia tidak dapat mengingkari ketika nama Roy disebut oleh gadis di hadapannya, ada sesuatu yang seakan ada gelombang menyebalkan di dadanya

"Kenapa anak itu?" Tanya Bintang dengan acuh tak acuh membuang pandangannya dari Teresa

Teresa menggengam tangan Bintang "Om, ada masalah di kepala Roy akibat kecelakaan itu om, gue mohon om tolong bantu dia, dia gak punya siapa-siapa om. Gue mohon tolongin dia om" Tukas Teresa memohon dengan sangat pada Bintang

Ada rasa kesal yang semakin menjadi di dada Bintang. seolah kenangan saat orang-orang terdekatnya mendua dengan terang-terangan di hadapannya terulang kembali pada Teresa, membangkitkan trauma Bintang samar-samar

"Kenapa saya harus tolong dia?" Tukas Bintang dengan nada sama sekali tidak perduli

Teresa menjatuhkan dirinya, berlutut di hadapan Bintang "Gue mohon om" Pangandangan gadis itu tertunduk dalam sambil masih memegang lengan Bintang "Roy temen gue satu-satunya, dia yang selama ini ada untuk gue di saat-saat gak ada satupun orang yang peduli sama gue om" "Om gue mohon om"

Bintang menghela nafasnya, ia tidak tega dengan gadis di hadapannya ini "Saya bukan dokter, saya gak bisa tolong bocah tengik itu" Tukas Bintang berusaha keras untuk tidak melihat tatapan nanar gadis di hadapannya, Bintang berusaha keras untuk tidak merengkuh gadis itu ke pelukannya, Bintang berusaha keras menekan emosinya mengingat gadis di hadapannya sedang memohon dan menangis untuk orang lain

Di sela-sela tangis sesegukannya Teresa berusaha megendalikan suaranya "Lu bisa om, Roy gak bisa diobatin di sini om, lu pernah berobat di Amerika om, di sana mereka punya segalanya untuk obatin Roy om, gue gak punya akses dan gue gak punya uang untuk bantu Roy om, tapi lu bisa, lu satu-satunya orang yang bisa tolong Roy om" Tukas Teresa berusaha sebaik mungkin untuk menjelaskan pada Bintang

Untuk beberapa saat Bintang terdiam, berbagai fikiran berkecamuk dan berlalu-lalang di kepalanya

"Om gue mohon" Tukas Teresa terus memohon

Bintang menatap mata Teresa berusaha memertahankan sorot tajam pada matanya "Saya bisa bantu kamu dengan satu syarat" Tukas Bintang dengan nada dingin

Teresa mengangguk dengan sangat cepat "Iya om, apa? Gue bakal penuhin segala persyaratan lu" Gadis itu seperti seorang pengelana gurun yang pada akhirnya menemukan oasis

"Kamu tidak mengenal lagi bocah tengik itu, dan menikah dengan saya"