webnovel

To Be Young and Broke

Teresa seorang gadis berusia 18 tahun berusaha membalaskan dendamnya pada seseorang yang amat menyayangi dirinya, ayahnya. Tetapi jalannya tidak mulus, diantara dendam dan ayahnya, Teresa dihadapi oleh seorang teman, sahabat dan mungkin cinta pertamanya, di sisi lain kehidupan bersama Bintang seorang duda berusia 17 tahun lebih tua dari dirinya dengan kondisi sekarat menjanjikan pembalasan dendam yang lebih mudah dan cepat untuk dipilihnya. Apa yang akan terjadi diantara mereka? Pertarungan antara cinta dan dendam, masa muda dan kematangan, kemapanan dan kehancuran.

StrawMarsm · Teen
Not enough ratings
26 Chs

4| To Be Young and Broke

Dengan langkah terburu dengan sentakan sepatu pada lantai rumah sakit, Bintang terus berfikir dimana kemungkinan Teresa berada, gadis kecil itu dengan bocah ingusan dengan tampang bengal, Bintang menyentakan langkahnya, dia gusar

Bintang setengah berlari keluar dari bangunan rumah sakit ketika sosok yang ada difikirannya, yang sedang ia ingin temukan dan membuat emosinya mendadak meningkat, berada di ambang pintu utama rumah sakit, berdiri menatapnya

Gadis itu tersenyum, manis tanpa dosa

Ingatan Bintang melayang pada bocah ingusan yang dengan berani-beraninya menjemput Teresa dan meninggalkannya begitu saja, Bintang mempercepat langkahnya menghampiri Teresa, Bintang memegang nyaris mencengkram bahu Teresa dan memindai gadis itu dari ujung kaki hingga ujung rambut gadis itu

Raut bingung terukir pada wajah Teresa "Om mau kemana jam segini?" Tanyanya

Wajah Bintang mengeras "Cari kamu!"

"Kamu gak apa-apa? Kamu dari mana aja? Kenapa kamu gak bilang ke saya kalau tangan kamu luka? Kenapa kamu kesini? Kenapa kamu gak pulang ke rumah kamu? Kemana si cunguk bengal itu?..." Sebelum bintang menambah panjang pertanyaannya, Teresa terlebih dahulu memotongnya

Teresa menaruh jari telunjuknya pada bibir Bintang "Satu-satu om nanyanya" Tukasnya dengan senyum cengengesan "Om khawatir ya sama gue?" Sambung Teresa dengan tawa yang tidak ia sembunyikan

Bintang mengalihkan padangannya dari Teresa dan berdeham "Kamu dari mana?" Tukas Bintang lagi dengan masih mengalihkan pandangannya dari Teresa

Teresa mengangkat ke dua bahunya "Muter-muter doang" Tukasnya enteng

Bintang kembali mengalihkan pandangannya kepada Teresa dengan tatapan tajam langsung menghujam ke mata Teresa "Muter-muter kemana?"

Teresa berusaha mengalihkan pandangannya dari Bintang, tapi gagal "Makan ke tukang sate, mana bisa gue ke club pake seragam, ini bukan musim halloween keles" Jawab Teresa sambil memutar bola matanya

Padangan Bintang melunak sejenak sebelum kembali menghujami Teresa dengan tatapan tajam "Kenapa kamu gak pulang ke rumah, kamu fikir jam berapa sekarang?" Cecar Bintang lagi seperti memarahi pacar yang hampir tertangkap basah telah berselingkuh atau seperti seorang bapak yang sedang memarahi anaknya

Senyum di wajah Teresa kembali mengembang perlahan "Karena buat gue, om itu rumah baru gue, gue gak perlu balik ke rumah dengan orang yang gue benci ada di dalemnya" Tukas Teresa dengan klaimnya dan begitu saja menarik Bintang untuk mengikuti langkahnya kembali menuju ruangannya

Bintang menghentikan langkah Teresa sebelum mereka memasuki ruang rawat Bintang, Bintang menarik lengan Teresa dan menyudutkannya ke dinding pada lorong area ruang rawat itu "Teresa kamu harus pulang ke rumah kamu, rumah Mas Evan" Tukas Bintang berusaha berkompromi

Wajah sebal tidak dapat disembunyikan Teresa "Gue gak mau!" Tukasnya sambil membuang muka dari tatapan Bintang "Lu rumah gue, lagian apa sih yang lu sebut rumah om? Bangunan doangkan? Biar gue gak keujanan gak kepanasan, di sini juga sama aja, ada atapnya juga" "Pokoknya gue gak mau pulang!"

Raut wajah Bintang datar, matanya melunak dan ia menghembuskan nafas "Lingkungan rumah sakit ini gak bagus untuk kesehatan kamu, lagi pula saya tidak nyaman dekat-dekat dengan kamu dan saya belum menyayangi kamu, saya mengkhawatirkan kamu hanya sebagai anak dari orang yang sudah saya anggap kakak, saya menganggap kamu sebagai keponakan saya, tolong jangan kamu artikan lebih, kamu mengganggu saya" Tukas Bintang sambil meraih ponselnya dan mendial sebuah nomer

"Halo mas" Tukas Bintang pada suara di seberang sana, Teresa mengambil ponsel itu sebelum Bintang meneruskan percakapannya

Teresa mematikan sambungan telfone itu "Makasih udah memperjelas semuanya om, bener kata lo, sejenak gue menyalah artikan perhatian lo yang gak seberapa itu sama gue, tapi maaf gue buat lu kecewa, gue bakal tetep lanjutin perjodohan ini" Tukas Teresa dengan tatapan menantang mata Bintang sambil mendial sebuah nomer di ponsel Bintang "Mungkin keputusan gue menjadikan lu rumah gue adalah sebuah kesalahan, tapi kesalahan yang patut gue coba."

"Halo Roy" Tukas Teresa pada sambungan di sebrang sana "Gue nginep di tempat lu dong, jemput gu..." Belum selesai Teresa menyelesaikan kalimatnya, Bintang merampas posel itu dan membantingnya, Bintang menarik paksa lengan Teresa untuk mengikutinya menuju ruang rawat Bintang

Bintang menghela nafas dan melepaskan cengkramannya pada lengan Teresa "Teresa tolong jangan main-main dengan saya" Tukasnya rendah tapi penuh tekanan

Teresa mengerutkan dahi "Gue gak pernah main-main sama lu om, lu gak suka sama gue, lu gak nyaman di deket gue dan lu pernah bilang kalau lu bisa aja anggep gue gak ada bahkan setelah kita nikah. Yaudah, ga apa-apa lanjutin aja kayak gini, kita nikah dan gue akan nyari kebahagian gue sendiri tanpa ngeganggu lu" Tukas Teresa mulai tersulut

Bintang mengusap wajahnya kasar, ingatan tentang masa kecilnya, tentang ayah dan ibunya yang mencari kebahagiaan masing-masing, tentang Adele yang menghianatinya kembali berputar di kepalanya, Bintang mengerang dan menyerang Teresa, ia mencekik leher Teresa dengan kuat

"BERENTI" Teriaknya

Teresa memekik dalam cengkraman Bintang, ia meronta tapi sia-sia, Bintang seperti gelap mata dan mungkin akan membunuh Teresa saat itu juga, Teresa meneteskan air mata, ia beranggapan mungkin ia akan mati di tangan Bintang, sebelum pria itu berubah kesakitan memegangi perutnya

Bintang melepaskan cengkramannya pada Teresa dan mengerang memegangi perutnya, Teresa megap-megap meraih handle pintu dan seketi berlari meninggalkan Bintang

Bintang melihat Teresa begitu terburu-buru meninggalkannya, Bintang tidak dapat meraihnya, rasa sakit merajai dirinya, Bintang tergeletak di lantai, pandangannya buram, tapi ia melihat Teresa kembali padanya dengan segerombolan orang berseragam putih di belakangnya, lalu kegelapan merenggutnya.

Keesokan Harinya

Bintang Terbangun tanpa merasakan apa-apa, ia menyadari dimana ia berada, di rumah sakit seperti hari-hari biasanya, Bintang melemparkan pandang ke sekelilingnya dan mendapati Teresa tertidur meringkuk pada sofa yang berada tidak jauh darinya

Bintang memerhatikan gadis itu, sejenak fikirannya kembali lagi pada peristiwa malam sebelumnya, ia menggila, nyaris membunuh gadis itu dan gadis itu juga menyelamatkan hidupnya

Gadis itu tersentak begitu juga dengan Bintang saat seseorang memasuki ruangan itu dengan terburu-buru dan berseru "Pak Bintang, Dewan Direksi sudah menunggu bapak, ponsel bapak tidak dapat dihubungi...." Tukasnya tersengal-sengal belum lagi menyelesaikan kalimatnya

Teresa segera mengenali sosok pria berpakaian formal itu, pria itu adalah pria yang sebelumnya ia temui di ruangan ini sedang mengacak-acak dokumen Bintang

"Bapak harus segera ke kantor pak" Tukas pria itu lagi

Bintang menatap pria itu tanpa ekspresi, pria itu masih terbaring dan wajah pucatnya yang lemas tidak dapat disembunyikan

"Ga" Tukas Teresa menyedot perhatian kedua pria itu "Bintang gak akan ke kantor hari ini, lu gak liat muka pucetnya? Bos lu ampir mati tau ga!" Sungut Teresa

Bintang menghembuskan nafas "Tolong kamu urus segalanya, saya tidak bisa ke kantor hari ini" Tukas Bintang yang disambut anggukan ragu setelah jeda beberapa saat oleh si pria berpakaian formal itu dan segera bergegas kembali meninggalkan ruangan itu

Teresa menatap Bintang dan setelah tatapan mereka bertemu, Teresa mengalihkan pandangannya dan seketika memegangi lehernya, Bintang dapat melihat berkas kemerahan yang agak membiru di sekitar leher Teresa, gadis itu juga sengaja menghindari tatapan matanya

Bintang menghembuskan nafas "Saya minta maaf untuk apa yang saya lakukan pada kamu semalam" Tukas bintang dengan menyesal

Ada jeda beberapa saat "Kenapa kamu menyelamatkan saya?" Tanya Bintang menyuarakan apa yang ada di kepalanya

Teresa mendengus meremehkan "Karena gue harus nikah sama lu, lu gak boleh mati dulu om" Tukas Teresa begitu saja

Bintang kembali menghembuskan nafasnya "Oke, saya akan nikahi kamu, tapi kamu harus jawab sejujur-jujurnya kenapa kamu ingin sekali menikah dengan saya?"

Teresa mendengus meremehkan "Gue kasih tau setelah kita nikah"

Bintang kembali menghembuskan nafas beratnya "Kapan kamu mau pernikahan itu dilaksanakan?"

"Secepatnya" Tukas Teresa "Om bisanya kapan?"

Bintang tercengung, 'jadi gini ya kalo ngomongin pernikahan sama anak sma' Batinnya

Bintang membuang nafas pasrah "Saya ada satu project besar akhir tahun, pertengahan tahun ini juga gak memungkinkan karena ada lelang project dan on going event yang sekarang sedang saya kerjakan" Tukasnya mendikte jadwal kantornya "Dan saya juga seolah terikat sama rumah sakit ini"

Teresa menyilangkan tangannya di depan dada, mengangguk kecil "Bilang aja lo gak mau nikahin gue" Tukas Teresa

Bintang mendesah sambil lagi-lagi menghembuskan nafas beratnya "Saya bilang saya mau Teresa" Bintang menatap Teresa yang juga sedang menatapnya dengan raut muka masa bodo "Hanya saja, perikahan itu tidak segampang yang kamu fikirkan, bukan saja proses kita menikah, setelah menikahpun ada beban fisik dan moral yang akan kita tanggung bersama" Tukas Bintang memberi pengertian pada Teresa

Teresa memberi ekspresi jengah terhadap perkataan Bintang "Trus kapan lo bakal nikahin gue?" Tanya Teresa langsung pada intinya

Bintang memejamkan matanya "Saya akan menikahi kamu ketika kamu berumur 21 tahun"

Teresa menganga "HAh" Teresa berdiri dan bertulak pinggang "Gila lu ya om? Bilang aja emang lu cuma peres doang mau nikahin gue, 3 tahun lagi itu lo masih hidup ga? Udah lo sakit, kabur-kaburan mulu dari rumah sakit, kerja lembur, gak minum obat, gampang naek darah, tempramen lu jelek, huh" Tukas Teresa menyuarakan apa yang ada difikirannya

Bintang membuka matanya dan menatap Teresa santai "Nah itu kamu tau, gak semuanya bener sih apa yang kamu bilang, saya memang mau nikahin kamu. Tapi seterusnya yang kamu katakan tentang saya, saya juga mempertanyakannya pada diri saya" Bintang menyilangkan tangannya di depan dada "Setelah kamu sadar semua keburukan saya, kamu masih mau menikah dengan saya?" Bintang memasang seringai menyebalkan

Teresa mendengus "Apa gue nikah sama Roy aja ya?" Teresa balik bertanya pada Bintang dengan wajah polos tanpa beban tanpa dosa

Wajah Bintang mengeras "Maksud kamu cunguk bengal yang bawa kamu pake motor malem-malem itu?"

Teresa berfikir sejenak dan mengangguk "Iya, dia bilang dia mau nikahin gue setelah gue lulus"

Bintang memejamkan matanya rapat-rapat menahan letupan emosi yang mendadak menyerang dirinya "Kamu fikir kamu bisa percaya sama kata-kata gombal bocah bengal seperti dia?" Tukas Bintang dengan tekanan pada nada bicaranya

Teresa kembali duduk di tempatnya semula dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada "Sebenernya gue duluan sih yang ngajakin dia nikah, awalnya dia gak mau, tapi mungkin sekitar seminggu yang lalu dia bilang sama gue dia udah dapet kerjaan, dia gak akan lanjutin kuliah dan dia bilang dia mungkin udah bisa ngehidupin gue, gue rasa dia serius deh om, lagian Roy itu selama gue kenal dia, orangnya lumayan setia gak pernah php-in gue" Tukas Teresa sambil menunjukan wajah berfikir

Bintang masih memejamkan matanya menahan letupan emosi yang semakin menjadi

Teresa tiba-tiba bangkit dari duduknya dan berseru "LOH IYA" Tukasnya hampir berteriak

Bintang membuka matanya sedikit tersentak "Ada apa sih kamu ini" Sentak Bintang

Teresa menatap Bintang dengan wajah yang tidak kalah terkejut dari Bintang "Gue lupa om gue minta Roy jemput gue, dia pasti udah nungguin gue nih, apa jangan-jangan gue udah ditinggalin ya?" Tukas Teresa sambil bergegas meraih tasnya yang terletak tidak jauh dari kaki ranjang Bintang

"Kamu mau kemana" Tukas Bintang yang tidak terdengar seperti pertanyaan

Teresa menatap Bintang sekilas dan memasang wajah heran "Sekolahlah" Jawabnya enteng

"Dengan pakaian seperti itu?" Tukas Bintang setengah mengejek

Teresa berdiri tegak dan menatap Bintang "Yaiyalah, seragam sekolah ya begini, emang gimana lagi" Tukasnya

Bintang menyeringai "Kamu belum ganti baju kamu dari kemarin, saya yakin temen-temen kamu pasti bakal tutup hidung kalau deker-deket sama kamu"

Teresa mengendus-endus bajunya "Bodoah, lagian gue udah minta Roy buat pinjem seragam kemeja dia" Tukas Teresa tidak acuh pada perkataan Bintang dan melenggang menuju ke pintu keluar ruangan

Teresa sudah berada di ambang pintu rumah sakit sebelum ia kembali memutar tubuhnya terdiam untuk berfikir beberapa saat sebelum kembali melangkah menuju ranjang Bintang

"Om" Tukas Teresa

Bintang tidak menyahut dan menatap gadis itu

Teresa terlihat salah tingkah, kemudian gadis itu menunduk dan menjulurkan tangannya

Bintang menaikan sebelah alisnya "Apa?" Tanyanya

"Minta uang saku" Tukas Teresa dengan pandangan ke lantai dan suara yang seoalah berbisik "Dompet gue ketinggalan di rumah papa"

Bintang tanpa sadar tersenyum menahan geli dengan tingkah gadis di hadapannya

Bintang meraih dompetnya di dalam laci nakas dengan seringai yang masih ada di wajahnya "Saya gak tau berapa uang jajan anak SMA, nih" Tukasnya sambil menjulurkan sebuah kartu kredit pada Teresa "Limitnya masih banyak kok, saya jarang pakai kartu yang ini"

Teresa memberengut membuat Bintang mengerutkan dahinya, Teresa berekspresi di luar ekspetasi Bintang "Kenapa?" Tanya Bintang dengan dahi berkerut

Teresa membuang nafas jengah sambil mendongakan kepala menatap langit-langit "Om, sekolah gue masih konvensional. Masih pake duit lembaran sama koinan buat jajan, kartu lu gak guna buat gue" Tukasnya

Kerutan di dahi Bintang semakin dalam "Yaudah kamu ke mall aja pulang sekolah" Tukas Bintang memberikan solusi

Teresa menatap Bintang jengah "Om, lu suruh gue buat makannya pulang sekolah? Itu masih berjam-jam lagi om. Gue itu sekarang aja udah laper om. Tauah, gue minta traktir Roy aja" Tukas Teresa sambil melenggang pergi dengan kesal dari ruangan Roy

Tanpa menatap Bintang lagi, Teresa pergi dari ruangan itu dan menutup pintu dengan sentakan

"Kenapa nggak dari awal aja minta ke bocah bengal itu!" Gumam Bintang dengan amarah sambil melempar asal kartu kredit yang ada di tangannya

Teresa setengah berlari menuju pintu utama rumah sakit, di sana ia melihat Roy sedang berkali-kali menghubungi seseorang melalui ponselnya, pria itu jengah karena yang dihubungi tidak kunjung mengangkat panggilannya. Roy mendesis dan emosi jelas tergambar di wajahnya, Roy menyentakan langkahnya untuk duduk di kursi tunggu dan melemparkan pandangannya ke sembarang arah, kemudian pandangan Teresa dan Roy bertemu

Teresa tersenyum dengan salah tingkah untuk sejenak dan melangkah mendekati Roy "Heheh, lu udah lama nunggu ya?" Pertanyaan yang sesungguhnya Teresa sendiri sudah mengetahui jawabannya

Roy mendelik menatap Teresa "Pikir aja sendiri!" Tukasnya sambil meraih tasnya dan mengeluarkan sebuah seragam kemeja putih "Buruan ganti" Kata Roy dengan tidak sabar "Kemana sih HP lu, dari kemaren gue telfone gak nyambung mulu"

Sejenak Teresa mengerutkan dari dan bibirnya mengerucut "Kan gara-gara lu HP gue ancur gak bisa nyala" Tukas Teresa mendadak sewot sambil melenggang pergi meninggalkan Roy untuk mengganti kemejanya dengan kemeja Roy

Tidak butuh waktu lama bagi Teresa untuk mengganti pakaiannya, 5 menit kemudia Teresa sudah kembali ke hadapan Roy "Roy" Tukas Teresa ketika kakinya sudah berjarak selangkah dari tempat Roy duduk

Roy mendongak

"Lu ada double tape ga?" Tanya Teresa masih berusaha merapikan rambutnya untuk dikuncir

"Buat apaan?" Roy balik bertanya sambil mengeluarkan sebuah double tape dari tasnya

Teresa tidak menjawab "Pulpen dong sekalian" Tukasnya lagi pada Roy

Roy mendecak tapi mengeluarkan sebuah pulpen juga dari tasnya dan memberikannya pada Teresa

Teresa menerma pulpen itu dan berlutut di dekat Roy sambil menjadikan paha Roy sebagai meja tatakan. Teresa menulis namanya pada salah satu sisi double tape putih itu, merobeknya begitu saja dan menempelkan sisi yang lainnya di kemeja putih yang ia gunakan menutupi nama Roy

"Beres" Tukas Teresa sambil menyodorkan kembali double tape dan pulpen Roy

Roy menyeringai sejenak merasa kagum dan heran pada gadis unik yang ada di hadapannya dan sedang tersenyum bangga menatap name tag buatannya sendiri

"Kenapa belum benerin HP lu?" Tanya Roy seraya bangkit dan berjalan menuju parkiran yang dibuntuti oleh Teresa

"Belum sempet" Tukas Teresa

"Lu mau beli HP baru?" Tanya Roy lagi

Teresa menyeringai meremehkan "Boro-boro, gue aja makan siang mau minta traktir lu, sukur-sukur lu juga mau bayarin sarapan gue" Tukas Teresa dengan cengengesan

Roy menghentikan langkahnya membuat Teresa menabrak tubuhnya dari belakang

"Aw" Tukas Teresa "Kalo berenti mendadak kasih kabar dong!" Seru Teresa kesal

Roy berbalik menatap Teresa "Kenapa lagi lu? Buat masalah apa lagi lu? Udah diusir dari rumah lu?"

Teresa menunduk "Semalem gue gak pulang, dompet gue ketinggalan di rumah bokap, kayaknya sih malem ini bakalan beneran ditendang gue dari rumah" Tukas Teresa masih mengalihkan pandangannya ke lantai tapi dengan nada cengengesan

Roy reflek memegang bahu Teresa nyaris mencengkramnya "Semalem lu tidur dimana?, Kenapa lu ga pulang? Siapa sih yang dirawat di rumah sakit ini? Segitu pentingnya buat lu?" Tukas Roy membuat mereka berdua jadi tontonan orang-orang yang lewat

Teresa menyentak tangan Roy dari bahunya "Apaan si lu" Tukasnya kesal "Semalem gue nginep di rumah sakit ini, udah gue bilang yang sakit itu om gue, gue males balik ke rumah, lu taukan gue gak suka balik ke rumah bokap, lu sendiri gak mau nampung gue kemaren, lu nolak gue nginep di tempat lu!"

Roy mengikis jarak antara dirinya dan Teresa, Roy menunduk menyamakan tingginya dengan Teresa, wajah mereka hanya berjarak satu jengkal, Teresa bahkan dapat merasakan hembus nafas Roy dengan aroma rokok yang pekat "Denger ya Ter, sebenci apapun lu sama bokap lu, dia masih bokap lu! Gue gak pernah tau apa yang terjadi sama bokap lu dan elu di masa lalu karena lu pun gak pernah mau cerita sama gue, tapi saat ini lu hidup di masa kini, bokap lu udah kasih segalanya buat lu. Gue gak berniat menggurui lu, tapi tolonglah Ter, berdamai dengan keadaan, berdamai dengan diri lu sendiri" Tukas Roy kemudian mengalihkan pandangannya dari wajah manis Teresa ke sembarang arah dan bersedekap

Teresa hanya diam untuk beberapa saat "Roy" Tukas Teresa kemudian

"Hm" Saut Roy

"Laper" Satu kata yang keluar dari mulut Teresa membuat Roy jengkel sekaligus geli

Roy memasang muka galaknya berusaha menyembunyikan senyum gelinya "Lu dengerin gue ga?" Tukas Roy berusaha mempertahankan nada suaranya

Teresa mengangguk "Iya gue dengerin, balik sekolah lu anterin gue ke rumah bokap ya"

Roy mengangguk sambil membuang pandangannya dari wajah Teresa

"Tapi sekarang traktir gue makan dulu, ya?" Tukas Teresa dengan nada membujuk

Roy tidak menjawab dan langsung melenggang menuju motornya dengan Teresa membuntut di belakangnya

Meskipun jam masuk sekolah sudah tinggal sesaat lagi, Roy menyempatkan berkunjung ke tukang bubur pinggir jalan terlebih dahulu, dia sama sekali tidak perduli dengan sekolah sebenarnya, dia lebih memerdulikan perut Teresa

Teresa langsung bergegas turun dari motor Roy ketika motor itu berhenti, tanpa ragu ia memesan dua mangkuk bubur untuk Roy dan juga dirinya, tidak butuh waktu lama hingga bubur itu tersaji. Teresa memakan bubur itu dengan lahap tanpa berkomentar maupun menambahkan sesuatu pada buburnya, sesekali gadis itu mengipas-ngipas tidak berguna dengan tangannya karena bubur yang ia makan masih sangat panas, Teresa bahkan tidak menengok ke arah Roy yang sedari tadi fokus memerhatikan dirinya

Teresa masih sama dengan Teresa yang pertama kali bertemu dengan Roy, Roy bertemu dengan Teresa pertama kali di ruang BK karena keduanya kedapatan membawa rokok di tas sekolah. Awalnya Roy bahkan tidak percaya jika Teresa benar-benar satu-satunya anak perempuan tahun pertama yang dengan terang-terangan membawa rokok dan merokok saat istirahat di belakang sekolah. Jika dilihat sekilas, Teresa adalah figure gadis mungil yang manis yang siapapun akan menyangka dia adalah gadis baik dengan segala rentetan sifat baik yang dapat dipuji. Teresa memang gadis yang baik, dia selalu tidak tega dan akan menolong siapapun yang butuh bantuannya, tapi ada sesuatu, sesuatu dari masa lalunya yang terus mengganggu dirinya. Sesuatu dimana ia masih berusaha melawan dan belum dapat berdamai dengan dirinya dan apapun itu yang membuat gadis itu menaruh dendam dalah hatinya

Teresa adalah gadis yang kaya raya, tapi ia tidak pernah memamerkannya, gadis itu selalu berangkat sekolah dengan kendaraan umum atau dengan motor metik tuanya, Roy menebak sebagian besar uang sakunya ia habiskan untuk membeli rokok. Teresa pernah menyelamatkan Roy sekali, Roy masih ingat, saat itu hujan padalah hari masih pagi, Roy berangkat sekolah dengan keadaan setengah mabuk akibat nongkrongnya yang kebablasan malam sebelumnya, ia berjalan sempoyongan dengan bau alkohol yang sangat menyengat, tapi saat itu bau alkoholnya tersamarkan akibat tertutupi hujan yang mengguyur tubuhnya, entah bagaiman saat itu Teresa menyadari bahwa Roy mabuk dan membawa pria itu bersembunyi digudang belakang sekolah, Teresa juga memberinya seragam olahraga milik gadis itu untuk dipakai menggantikan seragam Roy yang basah kuyup kehujanan, tentu saja seragamnya kekecilan dan kependekan. Teresa juga membelikannya semangkuk bubur dan obat pengar untuk dirinya saat itu

Roy bahkan masih ingat kalimat pertamanya dan Teresa saat itu

'Kenapa lu tolong gue?' Tanya Roy heran saat itu

Teresa mengerutkan dahinya, bahkan Roy dapat mengingat ekspresi Teresa saat itu dikeadaannya yang masih pengar, dan gadis itu menjawab 'Emang butuh alesan ya kalo nolong orang?' Gadis itu malah balik bertanya

Teresa tidak seperti gadis-gadis lain yang ditemuinya, Teresa belagak nakal, tapi gadis itu sesungguhnya adalah gadis yang baik. Gadis itu bahkan belum pernah mencoba cider atau mampir ke club. Hanya rokok satu-satunya benda yang dipakai gadis itu untuk berlagak, dan ia lebih memilih kedai sate dari pada tempat untuk bersantap malam yang lain.

Sebelumnya Roy tidak pernah membayangkan dirinya untuk menikah, apalagi di usia muda, baginya hidup adalah sebuah permainan dan cinta adalah hadiah, tidak masalah jika tidak menemukannya, selama ini ia cukup bahagia dengan hidupnya, awalnya Roy menganggap Teresa gila saat meminta Roy menikah dengan dirinya. Tapi seiring hari berganti dan kebersamaan mereka, Roy merasa dirinya menggila karena permintaan Teresa itu, Roy jadi benar-benar berfikir untuk memiliki gadis itu. Sebelum Teresa ikut campur dalam hidup Roy, Roy bahkan tidak pernah berfikir apa yang akan terjadi dan apa yang akan ia lakukan untuk masa depannya, ia hanya hidup untuk hari demi hari saja. Tapi setelah gadis mungil dengan selera makan yang besar dihadapannya itu mulai memasuki kehidupannya, Roy mulai merancang masa depannya, lebih tepatnya masa depan yang layak untuk menjamin hidup Teresa

"Roy" Tukas gadis itu tiba-tiba menatap Roy dan membuyarkan lamunan Roy

"Apa" Tukas Roy agak gelagapan

"Nambah boleh ya" Tukas gadis itu dengan mengankat mangkuk kosong dan tatapan memelas

Roy menyeringai tanpa sadar dan mengangguk "Huh, kayaknya gue harus kerja keras nih buat ngehidupin lu" Tukas Roy sambil mengelus sekilas kepala Teresa

Gadis itu tidak membantah dan tidak menjawab, hanya tersenyum manis pada Roy yang membuat Roy gemas padanya

Teresa menatap mangkuk bubur Roy yang masih belum tersentuh "Kok lu gak makan?" Tanya Teresa

Roy baru tersadar dengan mangkuk buburnya "Eh, Iya gue lupa"

Teresa mengernyirkan dahinya heran "Hah kok bisa lupa? Mikirin apa lu?" Tanya Teresa terheran-heran

Roy tidak menggubris pertanyaan Teresa, lelaki itu hanya menahan senyum sambil mulai melahap buburnya yang sudah dingin

Teresa mendelik "Jangan-jangan lu gak punya duit buat bayar ya?" Tukasnya heboh dan reflek berdiri

Roy masih fokus pada mangkuk buburnya dan sebelah tangannya menarik tangan Teresa untuk kembali duduk "Udah makan aja" Tukas Roy yang hendak didebat oleh Teresa namun gagal karena mangkuk bubur ke dua Teresa sudah disajikan oleh tukang bubur di hadapan gadis itu, kerutan di dahi gadis itu berubah menjadi sebuah senyum bahagia di bibirnya

Roy kembali menyeringai geli melihat tingkah gadis itu

Teresa kembali memakan makanannya dengan lahap sebelum dirinya teringat sesuatu "Roy" Tukas Teresa disela-sela makannya

"Hm"

"Gue baru inget, dua minggu yang lalu, waktu lu bolos sekolah gak ngajak-ngajak gue, Alex ngajakin gue jalan" Tukas Teresa sambil menyuap bubur ke mulutnya

Roy berhenti menyantap buburnya, wajahnya menjadi waspada

Setelah menelan bubur di mulutya Teresa melanjutkan "Trus gue tolak, jujur sama gue, waktu itu lu kalah taruhan ya sama Alex trus gue yang jadi sasaran taruhan lu ya?" "Ngaku" Tukas Teresa menodong jawaban menatap Roy

Dan satu lagi, gadis yang belagak nakal ini adalah gadis yang polos. Gadis ini tidak menyadari pesonanya sendiri dan banyak laki-laki yang mengincarnya, selama ini gadis ini tidak diganggu karena Roy tidak segan beradu tinju dengan siapa saja yang menatap gadisnya ini selama ia ada di sekolah, tapi sekali ia lengah...

"Alex?" Roy balik bertanya

Teresa mengangguk "Iya Alex, kapten basket yang sekelas sama lu"

"Emang bangsat!" Umpat Roy sambil mengepalkan tangannya "Kenapa lu baru bilang?" Desis Roy

Teresa melanjutkan suapan buburnya "Kan udah gue bilang, gue baru inget!" "Lagian lu taruhan apaan sih ama Alex?"

Roy tidak menjawab, wajahnya mengeras, bubur yang ada di hadapannya bahkan sudah tidak menarik untuknya

"Heh, Roy?" "Taruhan apaan?" Desak Teresa

Roy menatap Teresa tajam "Gue gak taruhan sama cunguk itu! Dan gue gak pernah jadiin lu taruhan gue!" Sentak Roy

Membuat Teresa hampir tersedak "Biasa aja dong jawabnya" Tukas Teresa ikutan sewot

"Buruan makannya, males ah gue kalo kena hukum hormat bendera siang-siang gini" Tukas Roy sambil membayar bubur mereka dan melangkah meninggalkan Teresa yang secepat kilat berusaha menghabiskan buburnya dan menenggak air minumnya hingga tandas

Dan, seperti yang sudah mereka prediksi, mereka langsung terkena damprat guru BK ketika tiba di sekolah. Roy terkena sanksi untuk lari keliling lapangan 30 kali sepulang sekolah selama seminggu berturut-turut, Teresa juga dikenakan hukuman yang sama sebelum Roy protes karena Teresa sama sekali tidak dapat berlari sebanyak itu dalam waktu selama seminggu, gadis itu memang sama sekali tidak ada bakat olahraga dan rokok yang terus dihisapnya juga tidak menguntungkan kerja paru-parunya, dan akhirnya Teresa mendapat hukuman membersihkan sekertariat osis selama sebulan setelah pulang sekolah

"Bangke, gara-gara bubur, gue harus jadi cleaning service selama sebulan" Dumal Teresa di lorong menuju kelasnya

Roy menghembuskan nafasnya jengah "Gue juga kena sial nih" Tukas Roy berjalan gontai di samping Teresa

Teresa tersenyum tanpa dosa "Roy sini deh kuping lu" Tukas Teresa

Roy dengan ogah-ogahan memiringkan badannya dan mencondongkan telinganya pada Teresa

"Semangat ya sayang!" Bisik Teresa di telinga Roy

Roy berhenti melangkah, pria itu syok, jantungnya berdebar tidak karuan dan pandangannya tidak fokus

Melihat reaksi Roy, Teresa tertawa terpingkal-pingkal hingga memegangi perutnya "Anjrit lucu banget muka lu tau ga! Jadi merah sampe ke kuping-kuping"

Roy berusaha mengendalikan dirinya, walaupun jantungnya masih berdebar tidak karuan, Roy merangkul pundak Teresa dan mensejajarkan bibirnya dengan telinga gadis itu "Makasih ya sayang, kamu juga semangat ya" Bisik Roy pada telinga Teresa

Mendengar bisikan itu sontak Teresa merinding, dan beku untuk sesaat "Anjrit Roy, geli tau ga!" Sentak Teresa sambil menginjak kaki Roy dan berjalan mendahului pria itu

Sepulang sekolah, dengan langkah malas Teresa berjalan terseret menuju ruang osis. Ruangan yang paling dibencinya. Ruangan itu hanya berisi kenangan-kenangan payah saat dirinya dihukum, dimarahi atau dipermalukan di depan segerombolan anak yang sok gaul atau kutu buku yang menjabat berbagai titel osis. Dan dari semua orang yang sudah sangat mengenal Teresa karena gadis itu adalah langganan tetap semenjak tahun pertama sekolah yang selalu mendapat surat kunjungan untuk dimarahi, diceramahi dan ba-bla-bla ke ruang osis atau ke BK dan dua kali ke kepala sekolah, tapi masa bodo. Teresa memang sudah berkali-kali pindah sekolah, namun Teresa yakin, ia tidak dapat dikeluarkan dari sekolah ini, karena sekolah ini berada di bawah naungan Yayasan Arahap, calon mertuanya, orang yang sudah dianggap kakeknya. Siapa yang berani mengeluarkannya dari sini? Ya mungkin saja ada sih...

Teresa tersentak dari lamunan skenario pengeluaran dirinya dari sekolah karena menabrak seseorang

Teresa mendongak, kemudian mendesah malas. Ia baru saja menabrak orang yang paling ia hindari untuk bertemu Jordan. Ketua osis yang sangat kaku, yang setiap langkah dan tidaknya mengingatkan Teresa akan sosok Kakek Arahap, sangat konvensional. Jordan adalah cowo yang masih sangat terikat oleh stereotipe kalo anak perempuan itu harusnya lemah lembut, halus, santun dan bla-bla-bla. Secara personal Jordan paling anti sama semua kebalikan sifat yang tadi disebutin tentang cewe, so, secara personal dan profesional Jordan mungkin sangat benci dengan Teresa

"Udah setengah jam sejak bel, kenapa lu baru dateng" Tukas Jordan menyebalkan dengan tangan terlipat di depan dada

Teresa menatap Jordan dengan malas "B-O-D-O A-M-A-T" Diktenya dan melanjutkan langkah gontainya memasuki ruang osis

Teresa menaruh asal tasnya dan duduk semaunya pada sofa di ruang osis, gadis itu sama sekali tidak berminat dengan urusan bersih-bersih dan segala perkakas kebersihan yang sudah disiapkan ketua osis pandutan di hadapannya, gadis itu menaikan kedua kakinya menjulur ke atas meja di depannya dan bersiap menyulut rokoknya, sebelum lagi-lagi dengan gaya heroik yang menyebalkan, Jordan merampas rokoknya dan menceburkan rokok itu kedalam air pel, untuk sejenak Teresa merasa heran karena banyak orang yang menggilai lelaki super menyebalkan di hadapannya ini

Teresa mendelik menatap Jordan

Lelaki itu balas menatap Teresa tajam "Lu di sini bukan untuk ngasep" Tukasnya sambil menarik lengan Teresa kasar

Teresa memekik dan seketika cengraman lengan Jordan terlepas dari lengan Teresa, Roy menarik kerah kemeja Jordan

Teresa menatap Roy heran "Ngapain lu di sini?"

Roy menatap tajam Jordan sekilas dan melepaskan cengkramannya pada kerah kemeja Jordan, lalu sepenuhnya mengalihkan pandangannya pada Teresa "Gue balik duluan, ada yang mau gue lakuin" Kemudian pria itu mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya dan menyerahkannya ke Teresa "Lu balik naik taxi atau ojek terserah" Tukasnya kemudian berbalik lagi pada Jordan

"Berani lu ganggu Teresa, lu berurusan sama gue!" Tukas Roy dengan tampang bengisnya dan melangkah keluar ruang osis

"Roy" Panggil Teresa sebelum pria itu keluar dari ruangan osis

Roy berhenti di ambang pintu, Teresa melonjak setengah berlari menghampiri Roy, gadis itu menarik kerah kemeja Roy supaya pria itu sedikit membungkuk dan kepalanya sejajar dengan kelapa gadis itu "Makasih ya sayang" Bisik Teresa di telinga Roy

Sejenak Roy menjadi salah tingkah dan seluruh mukanya memerah, dengan beberapa dehaman, tanpa menoleh pada Teresa, Roy berjalan cepat meninggalkan ruang osis itu

Jordan yang menyaksikan seluruh rangkaian peristiwa itu menyilangkan tangannya di depan dada, laki-laki itu berdeham "Udah cukup bucinannya" Pria itu menudingkan pandangan pada kain pel di hadapannya "Sekarang mulai kerja" Tukasnya menyebalkan

Teresa memasang wajah meledeknya "Bilang aja lu iri!" Tukas Teresa sambil meraih kesal gagang alat pel itu

Jordan menghembuskan nafas jengah "Disapu dulu Teresa" Tukasnya sambil bertulak pinggang

Teresa juga balas menghembuskan nafas jengah "Tadi mata lu melotot ke arah alat pel Jordan" Tukas Teresa sambil menghempaskan kembali alat pelnya dan meraih sapu "Udah, mendingan lu pulang biar gue yang bersih-bersih" Seru Teresa

"G-A B-I-S-A" Dikte Jordan "Gue udah dikasih tugas buat ngawasin lu, dan kalo gue balik, gue yakin lu kabur kan" Seru balik Jordan

Teresa kembali menghembuskan nafas jengah "Jir, kenapa juga gue yang bersihin nih ruangan, gue osis bukan, cleaning service bukan, orang yang mendukung osis juga bukan dan terutama gue males banget ketemu sama dedemit penunggu ruang osis ini yang lagi berdiri di samping gue""ARGG" Dumel Teresa sambil menyapu asal di sekitar kaki Jordan, menyebabkan laki-laki itu menyingkir selangkah dari hadapan Teresa

"Mangkanya jangan berulah" Tukas Jordan

Teresa mengabaikan Jordan dan terus menyapu lantai ruangan itu dengan asal

Jordan terlihat amat sangat jengah dengan tingkah Teresa, Jordan sekilas mengusap tidak sabar wajahnya "Teresa denger ya, tolong lakuin kerjaan lu yang bener. Jangan saling mempersulit, dikit lagi malem TER" Tukasnya setengah mati menahan kejengkelan

Teresa juga merasa jengah dengan segala ocehan Jordan, gadis itu berdiri tegak dan bertulak pinggang "Mangkanya, biar cepet dari pada lu ngomong mulu mendingan lu bantuin gue!" Tukas Teresa

Dengan sangat amat terpaksa dan wajah jengah, sebal, kesal menjadi satu, Jordan mengambil alih sapu di tangan Teresa dan dengan gerakan cepat yang dihentakan, Jordan mulai memulai demonstrasi menyapunya "Masa gini aja lu gak bisa sih Ter" Dumel Jordan

Teresa terkikik dalam hati "Oh gitu ya, yakan semua orang itu punya keahlian masing-masing"

Jordan menatap Teresa jengah "Nyapu itu gak butuh keahlian khusus Teresa! Lu yang kelainan kalo sampe lu jadi satu-satunya orang di dunia ini yang nyapu ruangan pake analisa fisika dan matematika dengan pendekatan filosofi buat nyapu ruang osis!"

Teresa mengabaikan seluruh perkataan Jordan dan dengan berjinjit, Teresa mengambil tasnya di sofa osis dan dengan langkah seribunya, Teresa berlari kabur meninggalkan ruang osis

Teresa sudah berada di ujung lorong ketika teriakan Jordan untuk seketika membuat kaki Teresa hampir tersandung

"TERESA" Teriak Jordan di ujung lorong yang berlawanan arah dengan Teresa

Setelah sedetik berhenti, Teresa menambah kecepatan larinya meninggalkan ruang osis dan penunggunya

Teresa menyetop taxi di depan gerbang sekolahnya dan menunjukan alamat rumahnya. Ya, malam ini ia harus pulang, setidaknya Teresa harus mengambil dompetnya. Teresa tidak bisa terus bergantung pada Roy. Sedangkan Bintang? Pria itu tidak dapat banyak diandalkan.

Malam ini Teresa pasti akan habis didamprat oleh ayahnya, Teresa memejamkan mata membayangkan apa yang akan terjadi. Sebelumnya, meskipun ia pulang hampir pagi, Teresa selalu pulang dan dapat membuktikan jika ia memang benar-benar tidak melakukan hal apapun yang dapat mencoreng nama keluarga ayahnya. Tapi kali ini, Teresa sudah dua hari tidak pulang ke rumahnya, ayahnya pasti murka luar biasa. Meski demikian, Teresa menghembuskan nafas lega, Teresa sama sekali tidak merindukan Rumah.

Taxi berhenti tepat di depan gerbang rumah keluarga Evan, satpam membuka pagar itu untuk Teresa dengan sebuah senyum getir penuh keraguan pada wajah lelaki awal 50an yang berkumis itu

"Neng" Sapanya

Teresa hanya tersenyum memaksakan "Kalo saya teriak panggil ambulan ya pak" Tukas Teresa berkelakar dan meninggalkan satpam itu dengan senyum gugup

Teresa membuka pintu utama rumahnya berusaha untuk tidak mengeluarkan suara apapun, tetapi gagal. Mba Yun duduk di sofa tidak jauh dari pintu utama

"Neng dari mana aja?" Tukasnya segera menghampiri Teresa

Teresa memberikan cengiran terbaiknya "Bi" Tukas Teresa sambil balik menggengam tangan wanita paruh baya itu "Kalo saya tewas malam ini, sebenernya saya gak pernah suka masakan nyokap tiri saya, sampein ya bi wasiat saya ini" Seloroh Teresa sambil menatap Bi Yun dengan raut sedih yang dibuat-buat

Bi Yun diam sejenak kemudian melepaskan genggaman tangan Teresa "Ya ampun non" "Jangan guyon yoh" Tukasnya dengan raut kesal

Teresa hanya terkikik menikmati ekspresi wanita setengah baya yang sudah menemaninya sejak kecil itu

Dengan wajah yang masih kesal Bi Yun berbicara pelan "Tuan sedang tidak ada di rumah non" Tukasnya

Senyum cerah merekah di wajah Teresa "Kenapa bibi gak bilang dari tadi" Tukas Teresa langsung menggeloyor menuju ke kamarnya

Secepat kilat Teresa mengganti bajunya dan menggambil beberapa pasang pakaian lainnya dan memasukan asal ke dalam tasnya, setelah ia mengambil dompetnya Teresa bergegas kembali untuk pergi dari rumah, baru dua langkah menuruni tangga, seseorang memanggilanya

"Resa" Tukas Talita

Teresa menghentikan langkahnya, ia menghembuskan nafas jengah dan dengan malas berbalik untuk mendapati sosok ibu tiri yang sudah ada di mulut tangga tidak jauh dari Teresa berdiri

"Kamu mau kemana?" Tanya wanita itu, wajahnya terlihat khawatir tapi Teresa tidak mudah terkecoh dengan itu, itu semua hanya acting yang bagus di mata Teresa

Teresa mendongakan kepalanya dan sekali lagi membuang nafas jengah "Ya kaburlah, kenapa lo masih tanya" Jawabnya ketus

Pandangan wanita itu semakin melunak "Papa gak marah sama kamu nak, papa tau kamu selama ini ada di rumah sakit" Tukas wanita itu berusaha menahan Teresa untuk tidak pergi

Teresa membelalak sebenarnya ia tidak heran jika ayahnya tau keberadaannya selama ini, Bintang pasti sudah memberi kabar kepada ayahnya dan ayahnya juga bukan orang yang bodoh, ayahnya bisa menemukan siapa saja dengan mudah termasuk putri sulungnya "Hah" "Jadi selama ini lu semua mata-matain gue" Tukas Teresa berlagak tidak terima

Talita mencoba mendekati Teresa "Bukan begitu nak"

"Stop" Tukas Teresa sebelum ibu tirinya melangkah mendekatinya "Gue gak peduli itu begitu atau itu bukan begitu" "Gue cuma mau pergi dari rumah ini, jangan halangin gue" Teresa dengan hati-hati berjalan mundur untuk menuruni tangga dengan tatapan masih mengawasi ibu tirinya yang sudah bersiap untuk menghalanginya

Ketika Teresa sudah sampir berhasil menuruni tangga, gadis itu berusaha berlari ke pintu utama sebelum seseorang begitu saja menyergapnya, memeluknya dari belakang

"Neng, jangan pergi neng" Tukas Bi Yun memeluknya dari belakang

Teresa mendengus jengah dan berusaha melepaskan pelukan Bi Yun yang ternyata cukup kuat di luar perkiraan Teresa

"Teresa" Tukas ibu tirinya setengah berteriak dari tengah tangga "Kalo kamu fikir kamu bisa lari sama laki-laki yang bernama Roy itu, sebaiknya jangan kamu lakukan, papa mungkin saja akan campur tangan pada bocah itu"

Dan Teresa terkejut sekarang. Ternyata ia sama sekali tidak memiliki rahasia, ayah ibunya bahkan memata-matai dirinya. Ayahnya dan ibu tirinya bahkan tidak pernah bertemu Roy, Teresa tidak pernah memberi tahu apapun, satu-satunya yang Roy pernah lakukan yang mungkin memicu pengintaian ayahnya adalah, Roy dua kali mengantar Teresa pulang. Itu saja.

"Roy itu bukan anak baik-baik Teresa" Tukas Talita sudah melangkah lebih dekat kepada Teresa

"STOP" Teriak Teresa

Talita berhenti di tempatnya dan Bi Yun melepaskan pelukannya pada Teresa karena terkejut, tidak menyia-nyiakan kesempatan, Teresa langsung berlari keluar "Gue juga bukan anak baik-baik asal lu tau" Tukasnya sambil lalu

Sesampainya di pagar Teresa beradu tatap dengan satpam rumahnya yang ragu-ragu akan membuka pagar rumahnya atau tidak

"Pak, pasti bapak gak dengerkan tadi saya teriak" Tukas Teresa

Satpam itu mengangguk dengan wajah siaga

"Pak mendingan bapak buka pagernya dari pada bapak harus bukain pagernya buat ambulan yang bakal ngater saya ke rumah sakit pak, cepet pak, nyawa saya dalam bahaya nih" Kelakar Teresa mencoba membujuk satpam rumahnya

Dengan setengah hati satpam itu membuka pagar rumah Teresa dan dengan secepat kilat Teresa melesat keluar dari rumahnya dan di saat yang bersamaan Talita berusaha mengejar Teresa dan memerintahkan satpam itu untuk tidak membuka pintu pagar. Tapi terlambat.

Teresa lari sekuat tenaganya beberapa kali terjatuh dan satpam rumahnya sempat mengejarnya walau agak terlambat, Teresa berhasil meloloskan dirinya dari lingkungan rumah itu dengan terengah-engah dan kaki yang terasa hendak copot dari pangkal pahanya.

"Sekarang apa?" Teresa bergumam pada dirinya sendiri, ia tidak memiliki ponsel sekarang, tidak ada yang bisa ia hubungi. Tiada tempat juga yang menjadi tujuannya

Teresa sembarang menberhentikan taxi dan mengarahkan sopirnya pada kedai sate yang biasanya ia singgahi dengan Roy, sopir taxi itu untuk sesaat memerhatikan Teresa dari ujung kaki hingga ujung rambut gadis itu, Teresa tidak perduli dengan apa yang ada di kepala sopir taxi itu, Teresa begitu saja masuk kedalam taxi itu dan memejamkan mata. Hari ini ia merasa sangat lelah, dan perlahan ia terjatuh terlelap

Rasanya baru sebentar Teresa memejamkan mata, sebelum pak sopir taxi membangunkannya karena mereka sudah tiba di sekitar lokasi penjual sate gerobak favorite Teresa, tetapi sang supir tidak dapat menemukan dimana tukang sate itu berada. Dengan menguap, Teresa membayar argo taxi itu dan dengan terpaksa ia berjalan beberapa puluh meter untuk sampai di tukang sate yang saat ini menjadi tujuan hidupnya.

Teresa langsung mengambil posisi di sebuah meja di depan gerobak sate itu dan memesan apa yang ia inginkan, sate ayam dan teh manis hangat. Untuk kesekian kalinya Teresa menguap dan merentangkan tangannya tinggi-tinggi hingga seluruh otot lengan dan bahunya seolah tertarik, kemudian Teresa mengedarkan padanganya ke sekeliling. Tidak banyak yang menarik, hanya ada si penjual sate dan istrinya yang sedang menyiapkan pesanan pelanggan dan seorang lelaki berkemeja yang mungkin baru pulang kerja memutuskan untuk makan di tempat ini, selebihnya hanya pemandangan jalan raya dan kelap-kelip lampu. Teresa hendak menguap lagi sebelum seseorang dengan seenaknya duduk di sampingnya

"Roy!" Tukas Teresa terkejut dengan kedatangan lelaki itu

"Lu!" Tukas Roy balik, sama terkejutnya hanya saja tidak seheboh Teresa

Roy masih berpakaian seragam dan tampangnya sudah tidak karuan, kemejanya sudah tidak terkancing menyisakan kaos oblong di dalamnya, rambutnya acak-acakan dan wajahnya babak belur. Teresa sejenak memindai lelaki itu dari ujung kepala hingga ujung sepatunya, tidak hanya wajahnya, tangannya, lengannya dan leher pria itu luka-luka

"Roy! Lu abis ngapain?" Sentak Teresa menuntut penjelasa

Roy tidak kalah terkejut mendapati Teresa di tempat ini tengah malam begini sendirian, tidak mengajaknya. Roy juga memindai Teresa dari ujung rambut gadis itu hingga ujung sepatunya, gadis itu sudah tidak memakai seragam lagi, melainkan kaos yang ditutupi jaket dengan tudung dan celana jeans. Gadis itu terlihat lelah dan saat pertama melihat Roy gadis itu hendak menguap namun gagal

"Lu ngapain di sini?!" Roy balik bertanya dan juga menuntut penjelasan

Teresa mengalihkan pandangannya sejenak dari wajah Roy "Makan" Tukasnya pelan

Roy menarik nafas gusar "Iya gue tau, lu ketukang sate ya beli sate buat di makan. Ter, plis gue gak bego. Lu kenapa ke sini? Jam segini? Sendirian?" Tukas Roy dengan intonasi penuh tekanan

Teresa semakin menghindari pandangan Roy "Gue kabur" Gumam Teresa

Roy berdecak dan mengusap wajanya sendiri dengan kasar sambil menahan gejolak emosi yang tiba-tiba menguap di dada dan kepalanya "Teresa" Sentak Roy dengan suaranya yang dalam dan ada kemarahan di dalamnya "Lu tuh kenapa sih? Sekarang, abis ini lu mau kemana? Lu mau tinggal dimana? Sama siapa?" Sambung Roy dengan nafas yang memburu dan emosi yang tertahan

Teresa merasa terpojok untuk sesaat, ia tidak tau akan berkata apa pada Roy, sebelum ia ingat, dirinya bukan satu-satunya orang yang harus menjelaskan apa yang sedang terjadi.

Teresa begitu saja menoleh pada Roy dang dengan tatapan tajamnya menuding Roy "Lu sendiri abis ngapain jam segini? Babak belur begitu? Lu abis berantem sama siapa?" Tukas Teresa berlagak sok jagoan

Roy membuang pandangannya dari Teresa masih dengan wajah kesal di muka lelaki itu, lelaki itu diam

"Roy" Tukas Teresa bersikeras

Roy mendengus dan pandangannya masih tidak menatap Teresa "Pokoknya mulai malem ini, Alex jadi musuh gue. Lu jangan deket-deket sama dia atau gerombolannya"

Teresa menganga jengah dan mengusap kepalanya tidak habis fikir dengan Roy "Lu ngapain sih ribut sama Alex? Sekarang lu babakbelur gini, lu jugakan yang rugi" Tukas Teresa masih dengan nada kesal

Roy berbalik menatap Teresa "Bajiangan kayak dia emang pantes dihajar!" Sentak Roy

Teresa menahan amarah yang mendadak berkecamuk di dalam dirinya "Seengaknya kalo lu mau berantem, lu jangan sampe babak belur kayak gini!" Tukas Teresa "Gue kesel tau gak liat lu luka-luka gini!"

Roy agak melunak mendengar ucapan Teresa, setengah mati ia menyembunyikan senyum yang hendak merekah di wajahnya "Luka gue gak ada apa-apanya dibanding Si Alex" Tukas Roy

Teresa terdiam sejenak, berfikir "Maksud lu?"

Roy menyeringai untuk sejenak sebelum teringat kembali dengan gadis di sampingnya dengan otak dangkal yang mencoba untuk kabur dari rumah

Wajah Roy kembali mengeras "Ter, sekarang lu yang harus jelasin ke gue" Nada suaranya berubah menjadi dalam dan penuh tekanan

Teresa diam menghindari tatapan Roy

"Ter" Desis Roy

"Fine" Sentak Teresa "Lu tau dari dulu gue udah setengah mati benci sama bokap gue! Kenapa lu masih tanya sih!"

Roy kembali mengusap wajahnya jengah "Trus setelah kabur lu mau apa? Lu gak punya rencanakan? Lu gak tau apa yang mau lu lakuin kan? Teresa tolong dong lu jangan bego gini!" Tukas Roy setengah mati menahan amarahnya

Teresa mendadak berdiri, kesal dengan apa yang dikatakan Roy, dengan mata berkaca-kaca dan teriakan yang tertahan "Yaudah ini hidup gue terserah gue, lu gak usah perduliin gue" Teresa bergegas untuk pergi dari tempat itu

Roy menahan lengan gadis itu "Gak bisa" Gumam Roy pelan dengan mata terarah pada lantai tanah di bawah sepatunya "Gue gak bisa gak perduli sama lu"

Teresa melunak dan dengan kaku gadis itu kembali duduk di tempatnya semula

"Ter lu harus pulang" Suara Roy melembut mencoba membujuk Teresa

Teresa kembali tersulut "Sekali lagi lu nyuruh gue pulang, gue sumpah gue gak mua kenal sama lu lagi" Sengit Teresa

Roy menghembuskan nafas, ia tau bahwa Teresa adalah orang yang paling keras kepala, naif dan seenaknya yang pernah ia kenal "Oke, malem ini lu mau tidur dimana?" Tanya Roy sambil memejamkan matanya mencoba memadamkan kekesalannya

Teresa diam untuk beberapa saat

"Gue bisa nginep di rumah lu" Tukas gadis itu memutuskan seenaknya

Mata Roy membelalak seketika "Gila lu ya" Sentaknya

Teresa membuang pandangannya dari Roy "Gue bisa jadi pembantu di rumah lu atau pengasuh adik lu, gue cuma butuh tempat buat tidur gue gak butuh makan, gue bisa urus sendiri kebutuhan gue" Tukas gadis itu masih seenaknya

Roy diam menagkupkan kepalanya di ke dua lengannya

Teresa dengan ragu-ragu menengok ke arah Roy "Gue bisa alesan ke nyokap bokap lu kalo kita kerja kelompok kemaleman trus gue minta buat nginep di tempat lu, gue bisa tidur di ruang tamu kok" Seloroh Teresa mengarang bebas mencoba untuk membujuk Roy

Roy diam seribu bahasa tidak menanggapi Teresa, lelaki itu fokus pada makanannya dan mereka berdua makan dalam diam

Roy terus diam hingga mereka menyelesaikan makan mereka, Teresa menunggu Roy untuk berbicara namun pria itu tetap diam, pria itu hanya mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya dan kembali diam seribu bahasa

Teresa menghembuskan nafas dan meraih tasnya untuk pergi, Roy mendahuluinya "Naik" Tukasnya mendahului Teresa menuju motornya

Roy berkendara dengan gila-gilaan, Teresa memegang pinggang pria itu dengan erat, hanya ada deru motor dan angin malam yang mengiringi perjalanan mereka

Motor Roy memasuki sebuah gang kecil yang hanya bisa muat satu motor, suara motor Roy mendominasi di tempat itu, jalannya agak berliku hingga mereka tiba di ujung jalan yang langsung mengarah ke suatu tempat yang sangat gelap gulita

"Turun" Tukas Roy

Teresa menuruti pria itu

Teresa mengedarkan pandangannya ke sekeliling lingkungan itu, tidak banyak yang dapat dilihat, Roy berhenti di depan sebuah gudang? Bangunan itu sangat kecil untuk di sebut rumah dan agak terasing dengan bangunan-bangunan lainnya yang mungkin berjarak beberapa puluh meter dari bangunan terdekat

Roy mematikan mesin motornya dan turun tanpa menghiraukan Teresa menuju ke bangunan kecil itu, Roy diam seribu bahasa dan memasuki rumah itu, dengan segera dan tanpa berfikir apapun Teresa membuntut mengikuti pria itu

Roy menekan sebuah saklar dan lampu kuning yang agak redup menerangi ruangan di dalam bangunan itu, bangunan kecil itu hanya memiliki satu ruangan kecil di dalamnya, mungkin berukuran 4x4 dengan sepetak sekat tembok di sudut ruangan memberikan sekotak kecil ruang yang Teresa tebak sebagai kamar mandi. Ruangan itu sangat sederhana setengah ruangan penuh dengan tempat tidur kayu single dan lemari kayu di sudut lain dari tempat tidur itu

Teresa masih mengamati ruangan itu dan Roy duduk di pinggir tempat tidur kayu itu membiarkan pintu terbuka dan angin malam yang super dingin berhembus diantara mereka

"Lu bisa tidur di sini" Tukas Roy

Teresa ikut duduk di samping Roy, dengan hati-hati gadis itu bertanya "Ini rumah lu?" Tanpa nada menyinggung sama sekali

Roy mengangguk dan matanya terpejam sejenak, pria itu menghembuskan nafas dan menatap Teresa "Sekarang lu tau kan seberapa blangsaknya gue" Tuduh pria itu

Teresa menunduk "Bukan gitu, keluarga lu?"

Malam itu Teresa tersadar, selama ini hanya dirinya seorang yang membuat Roy mendengarkan ceritanya tentang keluarganya dan segala kebenciannya tanpa mengetahui apa yang terjadi pada lelaki itu

Roy ikut menunduk di samping Teresa, gadis itu mengintip dari ekor matanya

"Gue gak punya" Saut Roy

Teresa mengalihkan pandangannya pada Roy, mecoba menatap mata pria itu, raut wajahnya berubah, sendu dan kesal tergurat di sana. Pria itu bersikeras mengalihkan pandangannya dari Teresa

Teresa kembali menunduk "Maaf" Tukas Teresa

Roy menoleh pada Teresa heran

"Maaf ya, selama ini gue selalu aja maksain semua cerita gue ke lu, tanpa tau apapun tentang lu" Tukas Teresa dan kepalanya tertunduk semakin dalam "Lu tau segalanya tentang keluarga gue, gue mau kok dengerin semuanya tentang lu"

Roy melunak dan menghembuskan nafas berat "Gue yatim piatu dari bayi, gue dibuang ke panti asuhan, gue...." Lelaki itu tidak meneruskan ceritanya "Gue gak pernah punya keluarga"

Wajah lelaki itu, sangat sendu, bukan seperti dia yang biasanya, wajah sangar dan menyebalkan yang selalu ada di setiap hari lelaki itu di sekolah seolah lenyap. Teresa memeluk lelaki itu dengan erat "Lu punya kok, gue mau jadi keluarga lu" Tukas Teresa di sela-sela pelukannya dan tanpa ia sadari air matanya menetes begitu saja, ia kembali menangisi seseorang lagi

Teresa merasakan Roy balas mendekap tubuhnya dengan erat seolah tidak ingin kehilangan, pria itu mencium puncak kepala Teresa kemudian menghembuskan nafas untuk menetralkan suaranya "Lu tidur di sini" Tukas Roy sambil melangkah keluar ruangan itu

"Lu mau kemana?" Tukas Teresa membuntuti Roy sampai ambang pintu

"Gue tidur di luar" "Jangan takut, lu gak akan kenapa-napa" Tukas pria itu sambil merentangkan tubuhnya pada dua baris keramik yang dipasang melebihi bangunan keci itu "Udah tidur sana, besok sekolah"

Teresa melepaskan jaketnya dan memberikannya pada Roy "Nih, pake. Di luar dingin" Tukas Teresa bergegas meninggalkan pria itu masuk ke dalam ruangan tempat tinggal pria itu dan menutup pintunya dari dalam

Teresa membaringkan tubuhnya di atas ranjang Roy, tidak pernah mengetahui jika pria yang selalu membuat onar di sekolahnya, yang terkenal nakal dan seenaknya adalah anak yang sebatang kara bahkan sejak lahirnya. Teresa memejamkan matanya, air mata menetes lagi dan aroma Roy tercium menguar dari bantal yang ada di bawah kepalanya, Teresa terlelap

Roy berbaring menatap langit hitam yang ada di atas kepalanya, 'untung malam ini ga hujan' Batinnya. Akhirnya Teresa mengetahui kesialan hidupnya. Selama ini Teresa mengetahui kalau Roy bukanlah orang yang mempunyai latar belakang terpandang, tapi Teresa sama sekali tidak mengetahui bahwa Roy bahkan sama sekali tidak mempunyai latar belakang. Roy tau jika Teresa tidak akan mempermasalahkan apapun dari dirinya, akan tetapi, ego dan ambisinya untuk membuat gadis itu bahagia bahkan secara finansial, terkadang malah menyulitkan dirinya sendiri. Sejak pertama Roy bertemu Teresa, gadis itu sudah mencuri perhatiannya, semakin lama semakin mendesak Roy untuk terikat padanya, dan malam ini, Roy tidak akan melepaskan gadis itu untuk hidupnya. Gadis itu satu-satunya yang memihaknya dan satu-satunya yang ia miliki. Roy merentangkan jaket Teresa di atas dadanya, aroma farfume gadis itu menenangkannya dan mengantarkannya untuk terlelap.