webnovel

To Be Young and Broke

Teresa seorang gadis berusia 18 tahun berusaha membalaskan dendamnya pada seseorang yang amat menyayangi dirinya, ayahnya. Tetapi jalannya tidak mulus, diantara dendam dan ayahnya, Teresa dihadapi oleh seorang teman, sahabat dan mungkin cinta pertamanya, di sisi lain kehidupan bersama Bintang seorang duda berusia 17 tahun lebih tua dari dirinya dengan kondisi sekarat menjanjikan pembalasan dendam yang lebih mudah dan cepat untuk dipilihnya. Apa yang akan terjadi diantara mereka? Pertarungan antara cinta dan dendam, masa muda dan kematangan, kemapanan dan kehancuran.

StrawMarsm · Teen
Not enough ratings
26 Chs

21| To Be Young and Broke

Teresa bermimpi buruk, kejadian masa lalu yang setengah mati gadis itu coba lupakan seolah terputar kembali dalam mimpinya, semua detail dan perasaan menyakitkan itu, seolah masih menyergap Teresa setiap saat, gadis itu perlahan tersadar dari tidurnya, kepalanya pening seketika dan mual tidak tertahankan menguasai dirinya, gadis itu berlari dengan susah payah menuju toilet yang ada di kamar Bintang, gadis itu membuang seluruh isi perutnya, Bintang mengikutinya dari belakang dan memijat tengkuk dan satu tangan lelaki itu yang bebas menyingkirkan rambut-rambut istrinya yang berhempasan begitu saja ketika gadis itu menunduk di depan kloset

Teresa duduk begitu saja di depan kloset, gadis itu berpeluh hebat dan seolah sangat kelelahan, nafasnya memburu dan wajahnya memerah, air mata menetes di wajah gadis itu. Bintang mendekat, pria itu berlutut di depan istrinya, wajah lelaki itu memancarkan kekhawatiran yang sangat dan kedua tangan itu menangkup wajah gadisnya menghapus bulir air mata yang menetes di sana, gadis itu bertambah gemetar hebat

"Sayang kamu kenapa?" Tanya lelaki itu sambil membawa Teresa ke dalam pelukannya, gadis itu menolak dan menekukan lututnya dan memeluk kedua lututnya sambil menenggelamkan kepalanya di antara lutut gadis itu, gadis itu diam, hanya suara tangisnya yang semakin kencang

Gadis itu mengangkat wajahnya yang sembab "Lu ngingetin gue sama bokap" "Gue benci dia" Racau gadis itu kemudian

Bintang menundukan wajahnya sesaat sebelum berbalik pergi meninggalkan Teresa, gadis itu melihat rintikan darah yang mulai mengering di sebagian bahunya, ada pecahan-pecahan kaca kecil yang menancap di punggu telanjang pria itu, gadis itu mengingat dengan jelas lelaki itu ada di sampingnya saat ia terbangun, lelaki itu berbaring miring diantara tebaran pecahan kaca dari botol yang ia pecahkan sendiri pada kepala tempat tidur, gadis itu kembali menunduk sebelum langkah kaki Bintang kembali mendekat ke arahnya, lelaki itu kembali muncul di hadapannya dengan sebuah pisau, Teresa memejamkan matanya, lelaki itu mungkin akan membunuhnya sekarang

Diluar dugaan gadis itu, Bintang menyerahkan pisau itu pada Teresa "Kamu bisa membalas perbuatan saya" Tukas pria itu menyodorkan kedua lengannya

Teresa diam seribu bahasa, gadis itu itu hanya menatap pisau di hadapannya dengan tanpa bergeming untuk beberapa saat. Gadis itu menyeka air matanya dan pergi keluar toilet itu mendahului Bintang, lelaki itu tidak tinggal diam, pria itu membuntuti istrinya

Teresa sadar Bintang membuntutinya, gadis itu berhenti di depan nakas dimana kotak p3k terbuka dan isinya berserakan di nakas itu, Teresa mengingat tangannya yang terluka akibat Bintang, gadis itu memandangi pergelangan tangannya yang sekarang sudah terbalut rapih dengan perban, gadis itu menyimpulkan, Bintang yang melakukan semua itu.

Bintang diam satu langkah di belakang Teresa, gadis itu tidak mengatakan apapun pada Bintang, wajahnya jelas sekali memancarkan kemarahan dan kekecewan yang teramat sangat, dan itu membunuh Bintang, gadis itu hendak melangkah keluar dari kamar itu, namun sekali lagi Bintang menahannya, gadis itu diam saja walau matanya mendelik pada Bintang

"Ter" Tukas Bintang pelan

Teresa tidak menjawab, gadis itu diam seribu bahasa

"Saya gak mau jadi orang yang kamu benci" Tukas lelaki itu lagi

Gadis itu masih diam

"Saya minta maaf Ter, saya telah menyakiti kamu" Sesal Bintang

Teresa masih tidak bergeming

"Saya tidak mengerti dengan diri saya sendiri, jika menyangkut kamu, saya mudah sekali lepas kendali"

Gadis itu tidak menanggapi, ia bahkan tidak mau menatap wajah pria itu

"Saya menyesal telah menyakiti kamu, tapi saya tidak pernah menyesali perasan saya pada kamu. Saya fikir, saya telah jatuh cinta pada kamu" Tukas lelaki itu berusaha menatap mata Teresa

Gadis itu menyeringai penuh ironi, gadis itu mundur selangkah sebelum tatapan mereka bertemu "Gue gak bisa milih siapa orang yang gue benci, gue benci orang itu bukan karena gue mau, tapi karena orang itu ngelakuin sesuatu yang bukan cuma kasih luka fisik" Tukas Teresa menunjukan kedua pergelangan tangannya "Tapi luka psikis" Kemudian gadis itu menunjuk pelipisnya "Dan masalahnya adalah gue ga bisa buat lupain itu semua"

Gadis itu melangkah mundur lagi "Makasih lu udah berfikir kalo lu jatuh cinta sama gue, gue rasa fikiran lu itu salah, itu cuma obsesi sesaat" Tukas gadis itu lagi meraih handle pintu dan keluar dari kamar Bintang

Teresa mengguyur tubuhnya dengan air dingin sesampainya gadis itu di toilet kamarnya, kemudian gadis itu berendam pada air hangat yang mendekati panas hingga seluruh kulitnya memerah dan luka ditangannya terasa perih tidak tertahankan, dan rasa yang sama ia rasakan diantara kedua pahanya, gadis itu terpaksa bangkit ketika kesadarannya mulai mengambang akibat suhu air itu, gadis itu menghabiskan sisa harinya melamun di pinggiran kaca jendela, tidak ada daya untuk menangis, tidak bisa pula dirinya menyesal karena semua peristiwa yang terjadi, Teresa sadar betul tidak dapat di tarik mundur kembali, tidak akan mengubah apapun

Hari kemarin telah berlalu, pagi ini seperti biasa, gadis itu membasuh mukanya dan mengganti pakaiannya untuk bersekolah, Teresa melangkah dengan terburu keluar dari kamarnya, gadis itu tidak ingin berpapasan dengan Bintang dan dengan sengaja melewatkan sarapan. Gadis itu setengah berlari menuju ruang istirahat pegawai rumah itu karena Pak Bakti dan mobilnya tidak berada di tempat biasanya gadis itu hendak berangkat sekolah. Dengan nafas memburu Teresa dihadiahi tatapan bingung dari semua orang yang ada di sana, Pak Bakti ada di sana dengan kopi dan gorengan di kedua tangannya, nyaris tersedak ketika mendapati Teresa menatapnya

Lelaki tua itu langsung menenggak kopinya dengan rakus, mungkin mengabaikan suhu panas kopi itu yang membakar lidahnya "Ada apa mba?" Tanya pria tua itu ketika berhasil mengendalikan dirinya

"Ayo pak berangkat sekolah" Tukas gadis itu sambil masih mengendalikan nafasnya

Pak Bakti berulangkali memandangi jam yangmenggantung pada ruangan itu dengan jam tangannya "Masih pagi banget mba" Tukas lelaki tua itu akhirnya

"Kita kemana dulu kek pak, udah ayo pokoknya berangkat sekarang" Tukas gadis itu yang mau tak mau dituruti oleh Pak Bakti, lelaki tua itu dengan terburu menghabiskan dua gorengan di tangan kanan dan kirinya kemudian menenggak habis kopinya sebelum dengan tergesa-gesa menyusul Teresa yang telah terlebih dahulu menuju ke mobilnya

Gadis itu menyandarkan kepalanya pada jok mobil itu membuang pandangan sembarang pada jendela yang ada di sampingnya sementara Pak Bakti dengan keahlian menyetirnya mengeluarkan mobil itu dengan sangat mulus dari deretan kendaraan Bintang lainnya

"Tumben mba pagi bener berangkatnya" Tanya sopir itu

Teresa mengangguk tanpa kata-kata

"Langsung ke sekolah?" Tanya Pak Bakti lagi

Gadis itu menggeleng "Gak, cari makan pinggir jalan aja pak" Tukas gadis itu lagi sambil mengusap-usap perutnya "Laper" Sambung gadis itu lagi

Teresa melahap buburnya dengan santai, sedangkan Pak Bakti memilih untuk memesan secangkir kopi dan merokok di samping Teresa. Gadis itu mengernyit setiap kali menggerakan pergelangan tangannya, awalnya Pak Bakti tidak menyadarinya, namun lama kelamaan pria tua itu ikut mengernyit setiap kali Teresa mengernyit

"Tangannya kenapa mba?" Tanya Pak Bakti akhirnya

Teresa hanya menaikan kedua alisnya kemudian menggedikan bahunya "Gapapa pak, keseleo" Tukasnya

"Tumben banget mba sarapan di luar, Pak Bintang juga tadi berangkat pagi-pagi sekali" "Kompak banget si mba sama Pak Bintang" Tukas pria itu sambil menyesap rokoknya lagi

Teresa diam saja, ia bahkan kehilangan minat pada buburnya, rupanya bukan dirinya saja yang sedang berusaha menghindar, tapi Bintang juga, tapi tidak lama kemudian, Teresa kembali menggeleng mungkin saja memang kebetulan Bintang harus pergi pagi-pagi sekali ke kantornya

Teresa tidak melanjutkan makannya dan Pak Bakti juga tak lama setelah itu menghabiskan kopinya, kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke sekolah dengan diam

Seperti biasa, Jordan berdiri di samping guru disiplin di gerbang, bel sudah berbunyi dan orang-orang berlarian memasuki pagar yang sudah setengah tertutup, Jordan menatap Teresa ketika gadis itu berlari melewatinya dan guru disiplin memelototkan matanya pada gadis yang selalu datang saat bel sudah berbunyi itu

Teresa berlari melewati deretan guru disiplin dan rombongan osis itu, ketika dirinya telah sampai di koridor kelas, gadis itu berjalan dengan santai seolah tiada apapun yang terjadi. Teresa menaruh tasnya begitu saja dan kemudian gadis itu keluar lagi dari kelasnya, nyaris berpapasan di koridor dengan guru mata pelajaran pertama yang sama sekali tidak ia minati

Gadis itu memesan satu gelas es teh dingin pada kantin yang masih sepi, pedagang di sana masih sibuk mengangkat-angkat dan menyiapkan dagangan mereka sementara lingkuangan sekolah mulai sepi karena jam pelajaran baru saja di mulai. Gadis itu duduk di pojokan yang pada satu sisi terdapat tumpukan kursi dan meja rongsok dan pasa sisi lain pemandangan jalanan yang suram, gadis itu menyandarkan tubuhnya pada tembok, kemudian menghitung satu persatu kendaraan yang lewat di jalan di hadapannya yang terbatas pagar besi berjeruji

Gadis itu asik dengan kegiatannya yang tidak berguna itu ketika Jordan ikut duduk di sampingnya, "Hei" Tukas lelaki itu membuka pembicaraan sekaligus kembali menyeret Teresa pada kenyataan

Gadis itu memandang Jordan dengan tatapan heran "Eh Elu" Tukas Teresa akhirnya sambil kemudian meminum es tehnya tidak begitu berminat dengan kehadiran Jordan

Lelaki itu sejenak menatap Teresa dari ujung sepatu hingga ujung kepala gadis itu dan sejenak berhenti pada kedua pergelangan tangan gadis itu yang terbalut perban

"Lu ga apa-apa Ter?" Tanya lelaki itu dengan ragu

Teresa mengernyitkan dahinya "Kenapa? Gue gak apa-apalah" Sautnya "Udah sana lu masuk kelas udah bel dari tadi"

Lelaki itu tidak menanggapi dan mengeluarkan sebuah plastik ikat seperti es lilin berisikan cairan bening dari saku celananya

"Alkoholik lu ya" Tukas Teresa yang memerhatikan kelakuan lelaki itu

Jordan menggedikan bahunya dan mengerucutkan bibir bawahnya "Kayaknya"

"Dasar ketos muna" Tukas Teresa lagi dan mengalihkan tatapannya pada jalan lagi seraya menyeruput es tehnya

"Bukan muna, gue cuma fleksibel aja beradaptasi" Tukas lelaku itu menyedot minumannya dari salah satu ujung plastik yang lelaki itu gigit

"Dasar karet" Tukas Teresa lagi menimpali lelaki itu

Jordan menyeringai "Gue gak melar Ter, cuma elastis"

"Gue gak peduli, bodo amat, mau lu mulur sekalian, gue gak peduli" Tukas gadis itu lagi

Ada jeda sunyi antara mereka untuk beberapa saat, masing-masing menikmati minumannya dalam diam

Jordan berdeham "Malam itu lu balik sendirian?" Tanya lelaki itu sambil pandangannya mengikuti pandangan Teresa yang menatap lurus ke jalanan yang terlihat suram itu

Teresa menoleh sesaat ke arah Jordan dengan tatapan malas "Iya awalnya, trus tiba-tiba gue hampir dikeroyok sama gerombolan orang-orang yang pakeannya serampangan trus bangsat lain dateng jemput gue" Tukas gadis itu dengan mencoba tidak mengingat peristiwa itu lagi

Jordan melirik ke arah lengan Teresa "Trus luka itu dari orang-orang itu" Nada suaranya agak meninggi

Teresa menggeleng "Lu gak perlu tau" "Asal luka ini" Tukas Teresa sambil mengangkat kedua lengannya "Menjijikan" Tukasnya lagi

"Lu pernah cabut ga?" Tanya Teresa tiba-tiba

Jordan menyeringai miring "Kenapa?"

"Gue gak tertarik sama sekolah dan emang selalu begitu, dan gue liat lu juga lagi tertarik banget ngepoin gue dan deket-deket sama gue, gue juga suka tempat yang waktu itu" Tukas Teresa pada Jordan

Sekilas Jordan tersenyum miring pada Teresa "Oke, kita ke sana sekarang, balik setelah bel sekolah"

Teresa tersenyum lebar pada lelaki itu

Sangat berbeda antara Roy dan Jordan, untuk Roy, lelaki itu membutuhkan setidaknya sepuluh menit untuk meloloskan dirinya dan motornya dari sekolah itu, sementara untuk Jordan, lelaki itu hanya berjalan biasa saja, mengeluarkan motor tanpa sembunyi-sembunyi, tidak perlu membawa motornya agak jauh dari parkiran sebelum menyalahkanya, lelaki itu begitu saja menyalahkan mesinnya dan ketika seorang guru memergokinya, pria itu tersenyum dan dibalas oleh guru itu dan seakan tidak ada hal ganjil apapun yang terjadi, seakan biasa saja menyalakan motor dan bergegas keluar dari lingkungan sekolah itu pada jam pelajaran. Teresa yang memerhatikan semua itu agak jauh dari Jordan mendesahkan nafasnya dengan mulutnya menganga, itulah perbedaan cap ketua osis pandutan, segalanya tentang Jordan mengeluarkan citra yang baik di sekolah ini

Jordan menemui Teresa di salah satu jalan kecil tidak jauh dari gerbang sekolah itu, begitu saja lelaki itu lagi-lagi memberikan helmnya untuk Teresa dan kemudian mereka berkendara dalam diam

Jordan kembali melompat turun dan membuka pintu tua pada gudang itu dan mempersilahkan Teresa untuk masuk terlebih dahulu diikuti oleh dirinya yang menenteng motornya, persis seperti saat pertama mereka datang ke tempat itu, semuanya merupakan reka adegan yang berakhir mereka duduk di atas kepala pick up sambil Jordan menikmati minumannya sambil mereka berdua menatap langit yang cerah

Teresa baru menyadari tempat itu juga tidak kalah indahnya saat pagi hari, langit yang bersih dan udara yang tidak panas karena sinar matahari tidak langsung tertuju pada mereka melainkan terhalang oleh pepohonan yang ada di sekitar sana

"Jor" Tukas Teresa tisak mengalihkan pandangannya dari langit

"Hmm" Saut lelaki itu yang masih asik menenggak minumannya padahal masih pagi

"Lu tau tentang Roy?"

Seketika Jordan terbatuk karena tersedak

"Gue gak berani telfone dia""Gue takut dia gak angkat, atau kalau diangkat tapi bukan sama dia dan gue harus denger kabar buruk lagi tentang dia, gue gak bisa" Gadis itu menggelengkan kepalanya dan kemudian mengalihkan padandangannya pada Jordan "Bayanginnya aja gue gak mau"

Jordan menghembuskan nafas berat, lelaki itu seolah tidak tertarik pada botol minuman kaca di tangannya yang ia letakan begitu saja tidak jauh darinya "Malem waktu kita berdua mabok di sini, saat gue kasih tau lu kalo oprasi Roy bermasalah, kejadian itu udah seminggu yang lalu dan gue kira lu juga tau tentang itu" "Pagi setelah gue sadar dari mabok gue dan lu tiba-tiba aja udah ilang, gue dapet telfone, dari Roy langsung, dia bilang semuanya udah baik-baik aja, kegagalan oprasi itu udah diperbaiki dengan segala cara dan metode terbaik dan Roy berterima kasih sama lu karena lu udah mengusahakan semua itu untuk dia" Jordan melirik kearah Teresa "Gue gak tau kenapa lu sama Roy itu bisa serasi banget" Pria itu kemudian menggedikan bahunya "Bikin gue jelous kadang-kadang" "Roy Bilang hal yang sama ke gue, dia juga gak mau hubungin lu karen atakut lu gak jawab telfonenya"

Jordan kembali meraih minumannya dan Teresa mengernyitkan dahinya

"Maksud lu? Kenapa Roy takut gue gak angkat telfonenya? Gak ada alesan gue buat gak angkat telfonenya" Protes gadis itu

Sejenak Jordan ragu untuk mengatakan, namun akhirnya lelaki itu mengungkapkan segalanya "Biaya pengobatannya Ter, sebenernya gue gak boleh kasih tau ini ke lu, cuma gue juga gak tau harus gimana lagi menjembatani lu sama Roy kalo lu gak tau soal ini"

Dahi Teresa berkerut semakin dalam

"Roy udah kasih semuanya ke lu, semua yang dia punya"

Teresa semakin tidak mengerti "Maksud lu?"

"Harta bendanya Roy, dia taro di bawah loker meja lu" Tukas Jordan heran juga "Lu sama sekali gak tau?"

Teresa menggeleng dan menghembuskan nafasnya berat lalu menunduk menatap kakinya yang menggantung "Roy emang pernah kasih gue semua itu buat biaya pengobatan dia, cuma gue tolak karena gue yakin gue bisa tolong Roy" Gadis itu kemudian melirik sebentar ke arah Jordan "Lu tau sendiri gue ke sekolah cuma dateng doang, gue bahkan gak tau buku apa yang ada di tas gue, apalagi ngepoin isi loker gue"

Jordan menghembuskan nafas berat "Roy khawatir tentang uangnya yang mungkin gak cukup untuk semua pengobatannya, dia mungkin malu dan frustasi dengan keadaanya ke elu Ter" Tukas pria itu sambil lagi-lagi membuang nafas beratnya "Dan satu lagi, ketakutan terbesarnya adalah kalo dia sampe tau kelanjutan tentang perjodohan lu" Tukas pria itu lagi yang membuat Teresa menoleh padanya

"Lu tau tentang perjodohan gue?" Tanya balik gadis itu

Jordan mengangguk pelan "Gue maksa Roy buat kasih tau gue kenapa dia bisa sampe kacau banget malem waktu dia kecelakaan itu" Saut Jordan

Teresa kembali membuang pandangannya pada kedua kakinya yang menggantung

dan ada jeda yang cukup lama diantara mereka

"Jadi gimana?" Tanya Jordan pada Teresa

Gadis itu menoleh padanya "Apa?"

"Perjodohan lu"

Teresa diam untuk saat yang cukup lama, gadis itu berperang melawan batinnya sendiri. Di satu sisi ia tidak mau membohongi siapapun dan menutupi satu hal dari hal yang lain, namun di sisi lainnya, kejujuran tidak mungkin digunakan saat ini, Roy sedang dalam masa pengobatan dan Teresa menyadari bahwa semua ini secara tidak langsung juga disebabkan karena dirinya, jika ia mengatakan yang sebenarnya dan memberi tahukan bahwa dirinya sudah menikahi orang yang dijodohkan padanya, Teresa takut Roy akan jauh sekali darinya, pria itu mungkin saja hilang begitu saja dari hidupnya, Teresa sama sekali tidak menginginkannya

"Gue batal dijodohin" Bohong Teresa pada akhirnya

Jordan tersenyum miring pada gadis itu, lelaki itu terlihat senang

Teresa hendak meraih botol kaca yang terletak diantara mereka, namun Jordan menghalanginya dan merebut botol itu

"Nope" Tukas lelaki itu "Gak untuk hari ini Teresa, lu gak boleh mabok setiap saat waktu sama gue"

Teresa mencebik dan memawang wajah menyepelekan "Gimana gue gak mabok mulu kalo sama lu, lu nya aja toxic tingkat dewa" Saut gadis itu yang membuat Jordan memasang tampang kesalnya yang konyol

Siang itu cepat sekali berlalu dengan obrolan tentang Roy dan beberapa topik remeh yang mereka diskusikan di sana, langit sudah mulai meredup dan sore sudah diambang langit. Dengan malas mereka berdua bangkit dan kemudian berkendara kembali ke sekolah

Teresa turun di sebuah gang kecil dekat sekolahnya sementara Jordan dengan begitu saja tersenyum kepada satpam dan satpam itu kembali tersenyum padanya seraya membukakan gerbang untuk parkiran, tidak ada hal lain yang pria itu lakukan dan Teresa juga tidak melihat pria itu mengucapkan sepatah katapun, pria itu hanya tersenyum dan segalanya berjalan mulus untuk pria itu

Tidak lama setelah mereka tiba, bel sekolah berbunyi dan seketika bangunan yang sepi suram tidak ada kehidupan itu mendadak menjadi rimba belantara dengan berbagai teriakan orang utan yang memekik kegirangan. Teresa berjalan cepat menuju gerbang yang terbuka itu melawan arus orang yang bergerombol setengah berlari keluar sekolah dan gadis itu setengah berlari memasuki sekolah

Gadis itu berjaan cepat menuju koridor kelasnya dan meraih tasnya begitu saja, lalu dirinya teringat akan perkataan Jordan dan begitu saja gadis itu menundukan kepalanya melihat loker di bawah mejanya, berdebu dan ada sebuah map coklat di sana. Teresa begitu saja meraih map coklat itu dan menentengnya bersamaan dengan tasnya berlari menuju mobilnya

"Muter-muter aja pak jangan pulang" Tukas gadis itu setibanya di mobilnya yang baru saja tiba

Gadis itu membuang tasnya begitu saja sembarangan di sampingnya dan perhatiannya sepenuhnya tertuju pada map coklat itu, gadis itu membukanya dengan tergesa dan mendapati segalanya. Roy telah menyiapkan semuanya, adiah ulang tahunnya dan biaya pengobatan untuk lelaki itu sendiri, bagaimana bisa Roy yang secuek, semenyebalkan dan seonar itu bisa menyiapkan segalanya sendiri dalam kondisi sakit? Memikirkan itu membuat air mata Teresa begitu saja menetes dari matanya

Teresa menumpahkan semua yang ada pada map itu ke pangkuannya, ada sebuah kunci motor, dompet dan bingkai fotonya di sana, gadis itu membalik bingkai itu dan membuka framenya untuk mendapati semua yang pernah Roy katakan padanya, Tabungannya dan segala surat berharga milik pria itu, tidak ada surat atau apapun, pria itu benar-benar memberikan segalanya yang ia punya.

Rasanya sesak dan gadis itu menagis semakin keras sambil memeluk frame foto itu, Pak Bakti yang menyaksikan semuanya dari kaca tengah hanya diam, ia tau ini bukan saat yang tepat untuk berbicara dan pria tua itu hanya mengitari komplek sekolah berulang-ulang kali hingga tangis Teresa mereda dan mereka berkendara pulang