1 persimpangan.

Ruby menyesap lattenya. Matanya terpejam menikmati setiap tetes yang ia minum. Tangannya kembali menaruh cangkir. Matanya beralih ke sosok di seberang meja. Romeo. Mengingat nama itu Ruby menahan tawa. Antara lucu mengingat sosok Romeo dalam kisah Romeo dan Juliet, dan atau menahan sakit di dadanya yang ia kira sudah lama hilang.

Ternyata perihnya masih sama. Bisik batin Ruby.

Luka yang selama empat tahun ini ia rasakan. Luka yang selama empat tahun ini ia pendam. Ternyata, setelah bertahun-tahun menahan, sakit pada lukanya masih terasa hebat. Ruby kembali menyesap lattenya. Membuang wajahnya jauh ke arah jendela. Bagaimana mungkin? Setelah empat tahun tidak berjumpa, Ruby masi hafal punggung badan lelaki yang pernah –dan masih ia cinta.

***

Dada Romeo mendadak berdegup kencang. Entah karena kopi hitamnya yang terlalu kuat atau karena ia menyadari sosok di belakang punggungnya, Ruby. Mata Romeo berusaha memandangi barisan angka di laptopnya. Namun angka-angka itu rasanya berterbangan. Lehernya kaku dan kelu karena ia tahan agar tidak menengok ke belakang.

Dia sadar nggak ya gue di depannya? Bisik batin Romeo.

Empat tahun lamanya Romeo berusaha menghindar dari Ruby. Empat tahun lamanya ia mengabaikan rasa rindu yang menggerogoti hatinya. Dan selama empat tahun pula, ia berusaha melupakan perempuan yang dulu paling –dan masih sangat ia cinta. Kaki Romeo kelu. Namun kakinya bergerak seolah tau, perempuan di belakangnya adalah rumahnya.

***

Ruby mendongak. Wajahnya terkesiap namun berusaha biasa saja. Namun matanya…, manusia manapun bisa lihat kegaduhan rasa pada mata itu. Romeo berusaha tersenyum. Saking canggungnya, senyumnya terlihat bengkok dan tidak ikhlas. Tapi mungkin semesta mendengar degup hatinya yang begitu kencang. Ohh—

“Boleh duduk?”

Ruby termenung.

“Hai?”

Kembali mendapatkan kesadarannya, Ruby mengangguk kaku.

Romeo duduk di hadapan Ruby. Mata mereka mencari arah agar tidak bertemu pandang. Keduanya diam cukup lama.

“Apa—kabar?” tanya Ruby canggung. Romeo terkesiap.

“Baik. Kamu--?”

“Baik.”

Lalu hening lagi.

Romeo memanggil waiter dan memesan kopi hitam lagi.

“Nggak sehat kalau kebanyakan.” Kata Ruby pelan sambil memandang jendela.

Romeo memandang Ruby sejenak lalu tertawa kecil.

“Emang latte sehat?”

Ruby membuang muka. Romeo tersenyum.

“Lagi sibuk apa? Masih makeup-in orang?”

Ruby memandangi Romeo sejenak.

“Kadang, lagi sibuk ngurusin skripsi.“

Romeo tercengang.

“Kamu ambil kuliah lagi?“

“Iya.“

“Wow, jurusan apa?“

“Public relation.”

Romeo memandang Ruby penuh bangga. Ruby tersipu dan membuang muka lagi.

Lalu keheningan terjadi lagi. Kopi pesanan Romeo datang, ia cepat-cepat meneguknya.

“Pelan-pelan, Ro.”

Romeo tersedak.

“Udah dibilang, pelan…”

Romeo membersihkan sisa kopi di bibirnya sambil tersenyum.

Udah lama ya, By. Batin Romeo.

Ruby mengambil tissue kering lagi dan memberikannya ke Romeo. Wajahnya terlihat kesal namun juga geli karena melihat Romeo-nya yang masih sama seperti dulu.

Romeo-nya?

Ruby kembali menatap jendela. Tangannya tanpa sengaja menggenggam tissue dengan kencang. Romeo memperhatikannya. Keheningan terjadi lagi. Romeo menatap Ruby dalam-dalam sambil menahan mulutnya untuk tidak berbicara hal konyol.

“Kamu masih aja kayak dulu,“ kata Ruby setengah berbisik.

“Clumsy?“

Ruby tertawa. Romeo menikmati setiap detik tawa renyah Ruby.

“Inget nggak dulu waktu kita pertama kali nge-date? Di mall, aku pingin banget bikin kamu ketawa sampe aku pura-pura nabrak pintu mall, eh nabrak beneran! Hahahahahaha.“

Ruby tertawa mendengar kisah Romeo. Namun hatinya berdenyut perih mengingat bahwa semua itu tinggal kenangan.

“Aku paling ingetnya sih kalau kita lagi makan sih, Ro.“

“Yang aku selalu habisin makanan kamu? Dan kamu masih aja pesen-pesen lagi!“

“HAHAHAHAHAA“

“By, sumpah waktu itu aku kenyang banget! Tapi sayang gitu lihatnya…“

Ruby masih tertawa sampai memegangi perutnya. Lalu lama kelamaan tawa mereka semakin mengecil hingga akhirnya senyap lagi.

Romeo menatap Ruby.

“Udah lama ya, By…”

Ruby menatap Romeo. Ia tidak menyadari handphonenya berdering. Sebuah voicemail terputar otomatis;

‘Sayang, mau dijemput jam berapa?’

Ruby cepat-cepat mengambil handphonenya dan menggenggamnya kencang. Romeo melihat ke arah Ruby, pandangannya beralih ke jari manis Ruby. Semua mendadak jelas. Bayangan tentang mereka berdua hidup bersama yang sedari tadi terputar bagai kaset rusak di kepala Romeo mendadak kabur. Ruby memandang Romeo dengan tatapan yang tidak jelas. Kepalanya yang sedari tadi penuh dengan kalimat yang selama ini ingin ia ungkapkan mendadak sunyi. Seolah lupa, mereka lupa; empat tahun mereka menghindari satu sama lain, hanya untuk bertemu, dipersimpangan yang berbeda.

Keduanya beranjak dari kursi secara bersamaan. Canggung. Romeo mengerti. Kakinya tetap diam pada tempatnya. Tersenyum canggung pada Ruby. Ruby paham. Romeo mempersilahkan ia pergi. Ruby menatap Romeo untuk terakhir kali, lalu melangkah pergi.

Romeo memandangi punggung Ruby yang semakin menjauh. Seperti ditelan cahaya, Ruby menghilang. Dadanya berdenyut perih. Tangannya gemetar menahan rasa sesak yang ada di hati. Empat tahun lamanya ia mencoba pergi, namun saat ia kembali, Ruby-lah yang harus ia relakan pergi. Dadanya sesak sekali. Melihat rumahnya, mimpinya, cinta dan kasihnya, ditelan mati.

Empat tahun aku pergi dan berlari, dan aku masih hafal, punggungmu saat kau beranjak pergi.

***

Saat Ruby melangkah pergi, bayangan tentang Romeo berkelebat mengikuti. Ruby merasakan berat langkah kakinya saat ia memilih pergi, atau pulang? Ke rumah yang baru—namun satu hal yang Ruby dan—ia yakini Romeo juga tau—bahwa terkadang, cinta bertemu di suatu titik. Memberikan kehangatan dan harapan. Namun saat kita ingin melangkah bersama, ternyata titik itu adalah persimpangan. Jalan mereka berbeda. Dan akhirnya, tidak bisa bersama.

***

Kamu adalah persimpangan terindah, yang pernah aku lewati;

-Romeo

dan kamu adalah perih termanis, yang pernah aku rasakan.

-Ruby

avataravatar
Next chapter